10 ~ You're Fine, Love?

12.6K 782 126
                                    

Hilma menghembuskan nafas panjangnya. Daren sudah kembali Belanda dua hari lalu dan tentu Hilma tidak bisa mengantarkannya karena ia harus sekolah. Sekarang ia tengah melihat kepala ranjang kamar Daren, lelaki itu sedang ke kamar mandi. Perbedaan waktu 5 jam membuat mereka berdua kadang susah untuk berkomunikasi. Kadang Hilma yang senggang, Daren yang tengah ada kelas. Daren yang sedang tidak ada kelas, Hilma yang masih sekolah.

Ternyata hubungan jarak jauh dengan perbedaan waktu membuatnya dilatih untuk segalanya. Untuk sabar, untuk percaya, untuk selalu mengutamakan quality time dan obrolan yang bermanfaat untuk hubungan keduanya, dan selalu mengerti satu sama lain. Seperti sekarang, Daren baru saja pulang dari kuliahnya dan lelaki itu sedang mandi. Yang bisa Hilma lakukan ya diam sambil melihat dinding kamar apartemen Daren dan memikirkan apa topik yang akan mereka bicarakan nantinya.

Hilma mulai mengerti Daren, lelaki itu pasif, jadi kalau tidak Hilma yang hajar, Hilma yang mencontohkan, Daren akan  diam saja atau mungkin menanyakan topik yang sama berulang kali. Mengubah lelaki itu menjadi hot ternyata susah-susah gampang, terkadang Daren langsung paham, tetapi terkadang harus beberapa kali Hilma memberi arahan baru lelaki itu paham. Gwenchana, sepertinya lebih seru dengan hubungan seperti ini, karena sekali lelaki itu bertindak sesuai nalurinya sendiri dan tidak Hilma suruh, akan terasa lebih sweet.

Senyum Hilma mengembang saat suara kekasihnya terdengar. "Maaf lama, say-"

"Papa!" Hilma langsung berdiri dan senyumnya langsung luntur saat pintu kamarnya terbuka begitu saja menampilkan pria 40 tahunan yang masih memakai jasnya.

"Tumben kamu di rumah? Gak ikutin jejak mama mu yang gak pernah pulang itu?"

Tangan Hilma mengepal. "Papa ngaca! Kalian berdua sama! Hilma gak ada kalian juga jarang keluar." Baru ini papanya pulang setelah beberapa hari yang lalu juga pulang, saat Hilma meminta tolong Daren untuk menjemputnya di taman.

"Lima hari yang lalu kamu gak pulang, kan? Kata kamu yang kamu mau orang tua kamu di rumah? Kamu malah hilang, gak pulang."

Hilma terkekeh remeh, apa yang kemarin itu yang disebut papa dan mamanya sebagai pulang ke rumah? Pulang yang buat mental anaknya hancur iya."Yang Hilma mau akur! Pulang ya pulang! Anak kalian di sini nunggu momen itu, tapi yang ada kalian malah berantem! Sekarang, Hilma gak pengen mama atau papa ada di rumah ini bareng, Hilma malah pusing, pa. Hilma bisa gila kalau kalian pulang cuma berantem."

"Kamu yang nyari duit mau?"

Hilma menggeram, lelaki tua di depannya ini semuanya selalu di kaitkan dengan duit. "Hilma cuma mau ngerasain punya keluarga yang akur, pa ... Apa salahnya kalau Hilma cuma mau itu?"

"Terserah. Yang mau papa tau, kamu lima hari yang lalu ke mana kok gak pulang?"

"Hilma di ru-"

"Jadi simpenan om-om terus nginep di rumahnya dia?"

Darah Hilma naik mendengar itu. Ini siapa sih yang ngomong begitu? Papanya? Hilma tidak paham lagi apa yang ada di pikiran papanya. "PAPA! PAPA MACAM APA YANG TEGA BILANG GITU KE ANAKNYA?"

"Marah berarti iya. Oke."

"PAP-" Teriakan Hilma terhenti dan tubuhnya meluruh saat suara pintu yang tertutup dengan keras terdengar. Hilma terisak, hatinya sakit mendengar tuduhan sang papa yang seperti itu.

"Sayang ...."

Hilma mengangkat kepalanya mendengar suara itu. Ia meneguk ludahnya sambil menghapus air mata yang masih mengalir. Dengan perlahan ia kembali duduk di depan layar laptopnya. "Dah biasa, kak."

***

"Dah biasa, kak."

Tangan Daren mengepal mendengar itu. Ia kira masalah rumah Hilma tidak sampai segila ini. Ia baru mendengar kali ini dan rasanya hatinya sudah sakit, bagaimana dengan gadisnya yang sering diginikan?

My DarenWhere stories live. Discover now