31. Terima kasih, Kak

Mulai dari awal
                                    

"Bagaimana bisa kamu begitu santai? Apa kamu gak takut? Aku yang menemanimu saja begitu tegang," tanya Arga ketika selesai menjalani pemeriksaan dan kembali ke kamar.

Aksa yang duduk di tepi ranjang menggeleng sebagai jawaban. "Untung apa aku takut? Mati kan sama seperti tidur." Raut wajahnya mendadak sendu. "Yang kutakutkan, aku gak lagi mempunyai kenangan tentang siapapun dan melupakan semuanya, Kak."

Arga menunduk. Menahan kesedihan yang tanpa diminta datang begitu saja. Sudah lama dia tahu ke mana cerita akan bermuara, lalu kenapa dia begitu berat merelakan? Apakah cinta sudah mengambil alih logikanya sekarang?

"Kamu berhak melakukannya. Aku gak akan marah. Bukankah aku juga melakukan hal yang sama denganmu? Anggap saja ini karma yang harus kuterima." Arga tertawa getir dengan tangan terkepal. Padahal dia sudah berjanji akan lebih tegar di hadapan Aksa, tapi kenyataan tidak demikian. Air mata yang disimpan sepuluh tahun lamanya, seolah membludak.

"Hentikan! Pembicaraan macam apa ini!" Arga berusaha mencairkan suasana walau tak mendapat respon dari adiknya yang berbaring di ranjang.

"Jika nanti aku kalah. Kakak jangan sepertiku. Aku yakin seorang Arga Satya Pratama gak akan secengeng Adiknya."

"Kamu akan menang, seperti sebelumnya. Aku ...." Arga tak sanggup melanjutkannya. Semua kata tercekat di tenggorokan. Dia menggigit bibir, menahan serangan kesedihan yang bertubi-tubi menghajar.

"Gak usah sering datang ke makam. Aku gak akan mendengar apapun atau melihatmu. Jangan melakukan hal bodoh sepertiku."

Seketika pertahanan Arga roboh. Air mata yang ditahan seketika keluar tanpa diminta. Tubuhnya bergetar dan dengan segera dia menutup wajahnya.

Bola mata Aksa pun menghangat melihat kesedihan yang ditunjukkan kakaknya. "Kenapa menangis? Katamu aku akan hidup lebih lama."

"Ya, benar ... ini cuma ... sifat cengengmu yang menular padaku." Arga tersenyum paksa dan memperlihatkan wajahnya yang benar-benar berantakan. "Ini benar-benar bahaya kalau diteruskan. Bisa-bisa sifat bodohmu berpindah padaku." Dia mencoba berkelakar yang disambut dengan senyum tipis Aksa.

"Bisakah kita menyudahi pembicaraan ini? Ini terlalu berat untukku yang kurus."

Aksa tertawa kecil. Pandangannya beralih pada jendela. Hari mulai beralih senja.

"Ada ingin kuberi tahu sebelum aku lupa."

"Hentikan!" Dia tahu ucapannya percuma. Aksa akan terus mengoceh hingga kelelahan.

"Aku yang membunuh Ibu."

Sontak bola mata Arga membulat. Setelah dirinya tahu jika Aksa yang menderita kanker, dia tidak lagi memikirkan penyakit apa yang diderita ibunya selama ini. "Apa maksudmu?"

Aksa tak berani menatap Arga yang meminta penjelasan. "Operasi adalah jalan pertama yang harus dilakukan begitu aku tahu mengidap penyakit ini. Sayangnya aku gak berani mengatakannya pada Ibu."

Sesuai dugaan Arga, Aksa tak berani mengatakan pada ibunya, tapi apa alasannya?

"Aku gak tahu harus bagaimana, jadi aku membiarkannya hingga ... suatu hari Ibu masuk ke kamarku dan mengetahuinya."

Meski berusaha biasa saat menceritakan kisah lalu, nyatanya bola mata Aksa berkaca-kaca.

"Ibu yang mengetahui penyakitku, menangis semalaman. Keesokan hari, saat akan memastikan dengan dokter yang menanganiku, Ibu jatuh di kamar mandi." Aksa menunduk.

"Padahal aku tahu Ibu tengah sakit melawan penyakit jantungnya, tetapi aku membiarkannya tahu mengenai kondisiku." Aksa menggigit bibir untuk mengalihkan kesedihan yang hadir.

Sekarang semua sudah jelas bagi Arga. Kepingan puzle telah terpasang sempurna. Aksa keluar dari tim bukan karena mengetahui penyakit sang ibu, tapi karena sadar ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Dia tak berani mengatakan karena kesehatan ibunya yang memburuk. Namun, kenyataan berkata lain.

"Aku gak bisa berhenti menyalahkan diriku sejak kematian Ibu dan aku juga takut mengatakannya padamu."

Arga membayangkan bagaimana hancurnya Aksa kala menelpon saat itu. Menghadapi penyakit yang mendera dan kehilangan ibu secara bersamaan. Sedang dirinya tak peduli dengan apa yang terjadi.

"Aku sudah pasrah jika kematian menjemputku, tetapi aku gak menyangka jika kamu memutuskan pulang. Bahkan berbuat sejauh ini untukku."

Arga juga tidak paham mengapa dirinya memutuskan pulang. Berpikir Aksa akan terus melanjutkan hidup dengan uang dari ibunya sebagai anak kesayangan. Namun, setiap malam dia akan terbangun dan mendengar tangisan adiknya. Berkali-kali hingga membuatnya menyerah dan memutuskan kembali ke Indonesia.

"Ini gak akan terjadi jika sejak awal aku membuang hasil pemeriksaan."

Seketika Arga menunduk dalam. Tubuhnya bergetar mendengar permintaan maaf Adiknya. "Bukan salahmu, Sa."

"Semua salahku. Jika saja aku lebih memilih diam saat Ayah berselingkuh. Keluarga kita gak akan seperti sekarang."

"Jika ada yang lebih menyesal, harusnya itu Ayah. Karena dia yang memulai semuanya." Arga tak mau adiknya terlarut dalam rasa bersalah. Dan setelah mengetahui jika ayahnya menuduh Aksa sebagai anak hasil selingkuhan, dia cukup yakin bukan ibunya yang salah. Hanya ego orang tua yang mencari pembenaran. Setidaknya itu adalah spekulasi sementara, karena tak ada bukti DNA Aksa adalah anak kandung. "Apa itu alasanmu diam dan gak memberitahuku?"

"Aku bingung ... aku gak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, aku ingin hidup lebih lama, tapi aku takut kondisi Ibu memburuk."

Arga terdiam. Tentu saja semua saling berhubungan dengan masa lalu yang menimpa mereka. Adiknya memiliki trauma yang begitu dalam hingga tanpa sadar mempengaruhi tindakannya dan diam menjadi pilihan terbaik.

Arga meraup wajahnya dengan kasar seraya menghela napas panjang. Mengatur emosi yang bercampur aduk. Dia bangkit dan mengusap rambut Aksa dengan penuh kelembutan.

"Semua sudah terjadi. Gak ada yang perlu disesali, Sa. Karena kita juga gak bisa kembali untuk mengubah masa lalu."

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang