20. di mana dirimu?

52 4 4
                                    

Aksa menarik tangan dengan kesal melihat kedatangan kakaknya.

"Aksa, apa yang terjadi?" Arga bersikap tenang, walau tak bisa dipungkiri ingin meluapkan emosi.

"Bukan urusanmu!" Aksa mendorong tubuh Arga hingga terjengkang dan jatuh ke lantai. Dia menoleh menatap lawannya yang sudah babak belur dihajar dengan. Sorot dipenuhi dengan dendam dan amarah.

"Kita selesaikan sekarang!" Aksa mengepalkan tangan dan bersiap melayangkan pukulan, tapi Arga dengan sigap bangkit, menghentikan kegilaan. Tubuh Aksa dipaksa menjauh dari lawan yang justru tertawa puas. Tentu saja dia berontak, tak terima.

Arga berusaha melerai perkelahian, sayang tangan Aksa justru mengenai wajahnya. Hal itu membuat kacamatanya jatuh dan pecah. Sontak dia berang melihat kelakuan adiknya dan mendorong hingga jatuh. "Chandra Angkasa! Hentikan tindakan bodohmu! Di mana kamu taruh akal sehatmu?"

Aksa tersadar dengan apa yang dilakukannya dan mendongak. Sorot tak percaya dia tunjukkan begitu menyadari tindakan kakaknya.

"Kenapa? Apa Kakak marah karena aku tak seperti keinginanmu? Atau karena aku membuat masalah dan menjadi beban bagimu?"

Lawan Aksa hanya tertawa puas melihat pertengkaran di hadapannya. Dia bangkit dan berjalan pergi. "Kamu pantas mendapatkannya, Sa. Harusnya lo gak usah hidup sekalian." Remaja itu pergi meninggalkan kedua kakak beradik yang masih terbakar amarah.

Aksa berusaha bangkit dan tak menghiraukan Arga yang terpaku dengan tindakannya yang keterlaluan.

Dalam kondisi seperti ini, seharusnya Arga lekas meminta maaf, tapi mengapa mulutnya justru terkunci begitu saja. Dia kesal mengapa Aksa tak pernah belajar dari kesalahan. Ah, bukannya dia juga sama saja? "Aksa, masuk ke mobil!" Suaranya melunak.

"Berhenti pura-pura peduli padaku!" Aksa berjalan tanpa memperdulikan keberadaan Arga.

"Aku memang peduli denganmu, Chandra Angkasa!" Walau berusaha tak menunjukkan kekesalan mendengar ucapan Aksa, nada bicaranya meninggi.

Aksa yang baru berjalan beberapa langkah, menghentikan langkah seraya tertawa. Dia memutar tubuh, menghadap kakaknya. "Peduli?! Kamu yakin apa yang Kakak lakukan itu bentuk kepedulian? Kakak hanya ingin menuruti ego dengan memasukkan diriku ke dalam kotakmu. Kamu tak ubahnya seperti Ibu!" Dia tak mau kalah. Dia sudah terlanjur kesal dan lelah bersamaan.

Deg. Kenapa ucapan Aksa sama seperti yang dikatakan Adi padanya? Apa benar dia sudah masuk terlalu jauh dan ingin menyetir Aksa?

"Lebih baik kita bicarakan di rumah." Arga berusaha membujuk agar adiknya tak lagi tersulut kemarahan.

"Rumah? Apa pantas kamu disebut rumah? Di depan kamu berbicara seolah pahlawan, tapi di belakang menusukku dengan kejam. Apa bedanya kamu dan Ibu?" Bola mata Aksa berkaca, tak lama dia tertawa getir. Perlahan tubuhnya menjauh dan menuruti perintah, berjalan menuju tempat parkir.

Setelah memastikan Aksa menuju ke mobil, Arga pun menyusul setelah mengambil kaca matanya yang pecah. Lebih tepatnya hanya retak sedikit, jadi masih bisa dipakai.

"Aku kecewa dengan ke--."

"Aku juga kecewa memiliki saudara sepertimu." Aksa memotong ucapan Arga seraya membuang muka begitu masuk ke mobil.

Arga menghela napas panjang. Kali ini dia tak boleh terbawa emosi atau semua akan runyam. Membiarkan Aksa mengatakan apa saja dan menebalkan telinga adalah hal yang harus dilakukannya sekarang. Dia tak boleh mengambil hati.

"Ada lagi yang ingin kamu katakan padaku?"

Tak mendapat jawaban, di segera memasukkan kunci dan menstarter mobil. Dari balik kaca mobil, dia melihat Fandi keluar dan celingukan dengan tas ransel Aksa di tangan. Berniat membiarkan adiknya menenangkan diri sejenak, dia keluar. Berjalan setengah berlari, menghampiri Fandi. Meninggalkan Aksa.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now