15. perbincangan hangat

52 3 14
                                    

Belum sempat menjawab, Arga sudah mendekat dan merangkul Aksa. "Ayo, kita main."

Aksa bingung menanggapi situasi kali ini, tapi tak ada emosi seperti sebelumnya. Dia jauh lebih tenang.

Mereka berjalan menuju lapangan yang belum terlalu banyak orang dan dikelilingi pagar besi yang cukup tinggi. Lampu penerangan menyorot dari sisi kanan ring basket. Arga mengambil bola basket yang berada di tangan Aksa. "Rebutlah." Dia berlari mendrible menuju ring, sedang Aksa masih terpaku di tempat semula.

Sebuah shot dilakukan sang kakak, sayang meleset. Melihat kegagalannya, dia tertawa kecil seraya menggaruk rambutnya yang tak gatal sama sekali. Pandangannya beralih pada Aksa yang justru duduk di bangku besi. Tanpa antusias sama sekali. Wajahnya juga tak semangat. Menghela napas panjang, dia mengambil bola dan duduk di samping adiknya.

"Aku mau pulang."

Baru juga pantat Arga menyentuh bangku dan kalimat itu yang justru keluar. Dia tak hanis pikir dengan adiknya.

"Kamu bahkan belum berkeringat." Arga memberikan bola pada adiknya.

Aksa menerima tapi bukannya menuruti permintaan untuk bermain. Dia justru meletakkan di lantai. Tak ada gairahnya untuk berolahraga. "Untuk apa Kakak memintaku bermain basket?"

Bola mata Arga membulat. Dengan wajah tak percaya dia menoleh adiknya dan menatap lekat. Sebuah ucapan yang dinantinya terdengar, membuat hatinya diserang perasaan aneh. Apa benar Aksa menyebutnya sebagai kakak? Apakah dia sudah bisa menerima hubungan yang sempat retak?

Melihat adiknya yang tidak memperhatikan perubahan ekspresinya, dia segera menatap lurus ke depan dan berpura-pura tidak dengar. "Kamu tanya apa?"

"Aku tidak suka mengulang pertanyaan. Kamu hanya berpura-pura tidak dengar, Kak." Aksa menunduk, menatap bola basket di bawahnya dengan lengan tangan di paha.

Mendengar kedua kali ucapan Aksa yang berarti telah merobohkan tembok di antara mereka, dia tersenyum. Kebahagiaan kecil menyelusup di hatinya. Tanpa kompromi, dia merapatkan tubuh dan memberi sebuah rangkulan.

"Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan. Masa muda itu hanya sebentar. Jangan sampai kamu menyesalinya suatu saat." Arga mengeratkan rangkulan, sedang Aksa sendiri masih menatap lantai. Dia membiarkan tangan sang kakak berada di bahunya.

"Bukankah kamu menyukai basket? Kalau begitu bermainlah. Aku ingin melihatnya." Arga mengusap bahu Aksa lalu bergantian menepuk ringan.

"Aku gak bisa." Aksa menegakkan punggung dan melepaskan rangkulan.

"Come on. Yang perlu kamu lakukan hanya berlatih saja. Lagipula kamu baru beberapa bulan tidak bermain." Arga bangkit dan mengambil bola. Dia berdiri di hadapan Aksa yang masih tak tertarik. Berharap adiknya segera mengikuti dirinya, dia berlari seraya mendrible lalu melemparkan ke ring. Meleset lagi.

Tawa sinis terukir di wajah Arga. Tak menyadari jika kemampuan berolahraga sangat payah. Bahkan sekedar membujuk juga tak bisa. "Kamu tahu, ternyata olahraga itu jauh lebih susah daripada pelajaran." Arga mengalihkan pandangan kembali pada Aksa yang masih bergeming di tempat semula.

Arga menghembuskan napas panjang sebelum berjalan  mengambil bola yang menggelinding ke pinggir lapangan. "Apa kamu tak mau bermain bersamaku? Satu shot saja."

Arga mendekat seraya mendrible bola.  "Bagaimana?" Kini Arga sudah berada dua meter di depan adiknya.

"Gak." Aksa menjawab tegas seraya berdiri. Dia keluar dari lapangan tanpa memperdulikan kakaknya yang menelan kecewa.

Menyadari adiknya keluar, dengan segera Arga menangkap bola. Suara helaan napas terdengar berat. Walau sudah menduga akan mendapat penolakan, tapi dia tak marah. Ya, seperti kata Adi. Harus perlahan dan tak bisa memaksakan keinginan. Butuh waktu tak sebentar juga kesabaran ekstra.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now