27. kenyataan yang disembunyikan

51 4 3
                                    

Dengan tangan gemetar juga jantung berdebar tak karuan, Arga mengambil tempat obat dan membukanya perlahan. Di dalamnya, pil sama dengan yang pernah ditanyakan pada apotek terlihat. Dia segera mengeluarkan untuk memastikan. Benar. Sama seperti dugaannya.

"Jadi obat itu bukan milik Ibu, tapi Aksa."

Tubuh Arga langsung lemas. Dia tak pernah menyangka jika adiknya yang sakit selama ini. Kecurigaannya mengenai beberapa sikap juga ucapan Aksa terjawab sudah. Lalu ingatannya pun berputar saat terakhir melihat lelaki yang mirip Aksa di rumah sakit.

"Itu benar kamu, Sa?" Seketika bola matanya berkabut. Menyadari apa yang menimpa adiknya terlalu menyakitkan. "Kenapa harus kamu?"

Seketika pikirannya buyar. Jika bukan karena alarm yang kembali berbunyi, dia akan terdiam entah berapa lama. Ingin meyakinkan sekali lagi jika semua bukanlah mimpi, dibukanya pesan di aplikasi berwarna hijau milik adiknya.

Nama kontak yang jelas menunjukkan profesi segera dibuka dan dibacanya. Seperti dihantam kenyataan, mulutnya ternganga membaca isi pesan. Padahal dia merasa sudah cukup mengenal adiknya selama ini, kenyataan dia tak tahu apa-apa. Bahkan penyakitnya.

Pembicaraan demi pembicaraan yang telah terlewat juga menyadarkannya jika sejak awal Aksa sudah mengatakan bahwa dirinya tengah berjuang melawan penyakitnya. Dan dia tak menyadari sama sekali.

Tak tahan dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, dia segera keluar mencari Aksa. Takut terjadi sesuatu karena belum juga kembali. Berlari menuju samping Gor, dia tak mendapati kamar mandi. Berjalan agak tergesa, dia mendapati petunjuk arah dan segera berlari menuju belakang gedung.

Langkahnya melambat, melihat Aksa tengah jongkok seraya memegang kepala.

"Kumohon, beri aku waktu lebih banyak, Tuhan. Aku masih ingin hidup lebih lama."

Arga melihat Aksa yang berusaha meredam rasa sakit kepala yang mendera dengan mengatur napas seraya menggigit bibir.

"Bisakah Kamu memberiku waktu setahun lagi? Masih banyak yang ingin kulakukan dengan Kakakku." Suara Aksa berubah serak.

Arga tahu adiknya terisak. Terlihat dari tubuh yang bergetar menahan kesedihan. Entah karena waktu yang tak lagi banyak atau sakit yang dirasakan sekarang.

Mata Arga langsung mengembun melihat adiknya. "Sa." Kalimat yang ingin diucapkan tertahan di tenggorokan. Tubuh yang awalnya ingin menghampiri justru berbalik pergi.

Kali ini dunianya mendadak suram. Bahkan lebih gelap saat kematian ibunya. Mengapa di saat dia berusaha memperbaiki kesalahan justru kematian menjadi penghalangnya?

Arga berjalan gontai kembali ke mobil dan segera menghapus sisa air matanya. Dia tak mau Aksa tahu. Pasti ada alasan mengapa adiknya masih menyembunyikan penyakitnya.

Melihat barang Aksa masih berantakan, dengan segera dengan memasukkan kembali dan meletakkan di tempat semula. Tak lupa mencatat nomor dokter yang menangani dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Melihat adiknya berjalan ke arah mobil, mata Arga kembali berkaca. Melihat senyum yang ditampilkan, pertahanannya perlahan mulai roboh. Sekuat tenaga dia menahan perasaan yang membuat sisi sensitifnya bangun.

"Apa batu yang kamu keluarkan?" Dia berusaha sebiasa mungkin saat menanyakan, walau kenyataan tenggorokannya seakan tercekik.

Sisa merah di mata Aksa masih kentara, tapi tersamarkan oleh senyuman paksa. "Ya, seperti erupsi Gunung Merapi. Semua keluar."

Arga berpura-pura tertawa walau sedetik kemudian dia mengalihkan pandangan, tak mau air matanya jatuh. "Di mana kita merayakan kemenangan ini?" Dia melajukan kendaraannya keluar gor.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now