16. kembali ke tim

46 4 16
                                    

"Kakak berencana mengubah halaman belakang menjadi lapangan basket. Bagaimana menurutmu?" tanya Arga keesokan paginya.

Mereka tengah sarapan dengan roti panggang, telur mata sapi juga sosis. Tak lupa buah potong, jus buah dan kopi.

"Apa itu tidak terlalu berlebihan? Aku bahkan belum mengatakan akan kembali masuk tim." Raut terkejut masih tersisa di wajah Aksa mendengar rencana kakaknya. Namun, dia berusaha menguasai keadaan walau jauh di dalam hatinya ada perasaan aneh yang tak terungkapkan.

"Gak masalah. Setidaknya kita bisa lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersama." Arga mengambil kopinya dan menyesap pelan.

Aksa memilih melanjutkan sarapan. Sesekali menjawab pertanyaan juga melirik Arga yang terus mengatakan idenya. Dia tak menyangka kakaknya akan melakukan banyak hal untuk memahami dirinya.

"Kenapa lama sekali makannya? Cepatlah!"

Aksa mendorong kursinya mundur dan berjalan ke kulkas, mengambil air putih.

"Kamu bawa air putih ke sekolah?"

"Kenapa kamu bawel sekali? Sudah macam emak-emak!" Bukannya meminum di tempat, Aksa justru membawanya ke kamar.

Arga tersadar jika dirinya sekarang memang lebih cerewet, persis emak-emak dengan anaknya. Ah, tidak apa-apa. Bukankah ini pertanda baik? Jika dia memberikan lebih banyak kepedulian pada adiknya.

"Jangan lama-lama. Aku tunggu di mobil."

Tentu Aksa tak akan menjawab, sedang Arga sendiri menuju garasi. Membuka gerbang dan mengeluarkan mobil. Pagi ini pikirannya dipenuhi berbagai rencana. Setelah mengantar Aksa, tentu dia akan bertanya pada Adi di mana tempat yang menyediakan jasa tukang. Jika sudah sepakat mengenai harga, berbelanja adalah tujuan berikutnya.

Ah, mengapa sekarang dia ingin memberikan yang terbaik untuk adiknya? Mengapa dia tak menyadari hal ini sejak dulu? Haruskah dia menyesali sesuatu baru bertindak lebih?

Aksa masuk ke mobil memakai hoodie putih yang dibelikan Arga kemarin.

"Bukankah itu belum dicuci?"

"Ya."

"Jorok!"

"Bawel! Aku suka mencium aroma barang baru. Apalagi ini pertama kalinya kamu membelikannya untukku." Aksa mencium lengan hoodienya.

Mengalihkan dari rasa aneh yang menyerang mendengar ucapan adiknya. Entah bahagia atau bangga, dia geleng-geleng kepala. "Fetishmu sangat aneh." Arga tak paham apakah maksud adiknya. Aroma buku baru memang menyenangkan, tapi tidak mungkin baju baru dipakainya tanpa dicuci terlebih dahulu.

"Semua orang menyukainya. Tak terkecuali aku."

"Seperti anak kecil."

"Aku memang anak kecil yang tidak pernah tumbuh." Aksa mengalihkan pandangan. Dia tak mau Arga menatapnya dengan berbagai pertanyaan.

Dan benar saja, Arga menatap seolah tahu apa yang dimaksud. "Kalau begitu, tumbuhlah sekarang. Akan kubelikan pupuk urea-nya."

****

Beberapa hari kemudian Arga sudah mengeksekusi idenya. Menyulap sedikit ruang di samping kolam renang menjadi lapangan basket mini. Tak besar memang, tapi setidaknya dapat dipakai Aksa untuk berlatih. Hanya berukuran 5x3 meter.

"Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Arga ketika pengerjaan sudah selesai beberapa hari kemudian.

Hari ini Minggu dan Arga membawa adiknya ke belakang melihat hasil jadinya. Dia tersenyum puas melihat hasil yang persis diinginkan. Ring basket tanam dengan lantai polypropylene berwarna hijau. Tak apa merogoh kocek lebih dalam jika hubungan mereka semakin akrab.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang