28. berperang dengan waktu

54 5 3
                                    

Arga keluar ruangan dengan sempoyongan. Berjalan menuju kursi yang disediakan dan duduk. Pandangannya kosong. Jiwanya belum kembali setelah dihajar dengan kenyataan jika adiknya menderita tumor otak.

Sekarang dia bisa melihat dengan jelas, sebuah tirai tipis yang membatasi dirinya dengan Aksa. Kematian. Sebuah vonis yang menjadi akhir dari perjalanannya mengembalikan hubungan saudara. Tidak! Semua bisa salah, termasuk dokter yang menanganinya.

Tanpa pikir panjang, Arga merogoh saku celana. Menghubungi nomor sahabatnya.

"Aku akan bekerja denganmu. Terserah kamu akan menempatkanku di mana, asal pinjami aku uang." Tanpa basa-basi Arga langsung mengatakan tujuannya.

Terdengar tawa menggelegar dari seberang sambungan. "Apa seorang Arga Satya Pratama sudah jatuh miskin?"

"Aku serius."

Ada keheningan sejenak dalam panggilan.

"Berapa yang kamu butuhkan?" tanya yang di seberang.

"Berapa yang bisa kamu pinjamkan? Aku butuh banyak."

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin meminjam uang? Apa ada masalah?" Bukannya menjawab, yang di seberang penasaran apa yang terjadi sebenarnya.

Mulut Arga mendadak bungkam. Jawaban yang dinanti kembali mengingatkannya dengan vonis yang baru saja didengar. "Adikku ...  sakit. Aku butuh banyak uang untuk ...." Arga tak sanggup melanjutkannya.

Tak ada pertanyaan meski Arga tak melanjutkan ucapannya  Yang di seberang panggilan terdiam beberapa saat seolah paham. "Baiklah. Katakan berapa yang kamu butuhkan dan kapan aku harus mentransfernya?"

Sekuat tenaga Arga menahan napas agar air mata tak lolos dari pelupuknya. "Aku akan membayarnya, aku tidak akan lari. Thanks buat kebaikanmu."

"Tenang saja. Jagalah Adikmu baik-baik dan katakan jika kamu siap masuk ke perusahaan."

Panggilan terputus dan Arga segera memijit pangkal hidungnya setelah mencopot kacamata. Mendadak tubuhnya bergetar hebat. Menggigit bibir, mengalihkan dari rasa sakit yang mencekram erat hatinya.

"Adik Anda menderita kanker otak stadium dua saat pertama kali datang. Untuk sekarang, saya tidak tahu apakah sudah berubah menjadi stadium tiga atau tidak karena belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut."

Penjelasan dokter yang menangani Aksa membut dunia Arga seketika gelap. Bagaimana tidak? Kanker stadium dua yang berada di otak, sudah pasti tak banyak waktu yang dimilikinya. Adiknya sudah sangat jelas menunjukkan penurunan kemampuan tubuh.

"Saat Adik Anda datang dan mengetahui kondisinya, kami juga sudah menjadwalkan jadwal operasi. Dia mengatakan akan memberi tahu walinya untuk memastikan. Tentu saja tentang biaya juga prosedurnya." Lelaki itu menjeda sejenak ucapannya. "Adik Anda datang dan menolak operasi beberapa bulan yang lalu, tanpa mau melakukan pemeriksaan lanjutan apakah sel tumor mengganas atau tidak, tapi mendengar cerita Adik Anda. Sepertinya sel tumor sudah bermutasi menjadi kanker."

Arga ternganga. Mengapa adiknya bersikap bodoh. Bukannya lekas mengatakan padanya agar segera melakukan tindakan, tapi justru berpura-pura tidak terjadi apa-apa. "Lalu apa sekarang masih memungkinkan untuk operasi?"

Dokter dengan nama Samuel Antono itu mengangguk pelan. "Tentu saja. Semakin cepat akan lebih baik. Lagipula Adik Anda juga masih mengonsumsi obat untuk mengurangi gejala. Namun, sebelumnya kita harus melakukan pemeriksaan lagi sudah sejauh mana sel kanker menyebar." Lelaki itu mengambil foto rongsen kepala dan menunjukkan pada Arga letak kanker Aksa.

Arga bisa melihat dengan jelas kanker yang dimaksud oleh dokter dan sekuat tenaga menelan ludah. "Sampai berapa lama Adik saya bisa bertahan hanya dengan mengonsumsi obat?"

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now