13. segenggam kebersamaan

49 8 12
                                    

Arga sudah sampai di depan gerbang, tapi tak kunjung keluar. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Dia melihat Aksa yang tidur dengan nyenyak selama perjalanan pulang. Mengapa adiknya mudah saja tidur? Tak di rumah, tak di mobil. Dia tahu sekolah memang melelahkan, tapi sepertinya tidur bukan lagi menjadi kebutuhan bagi adiknya. Yang ada sudah mirip hobi.

Lelaki berkacamata itu ragu membangunkan, jadi dia memutuskan tetap berada di mobil sembari memperhatikan wajah Aksa.

Tak lama, adiknya terbangun. Seolah tengah membawa jiwanya kembali, dia terdiam sesaat. Pandangannya lurus ke depan lalu beralih ke kakaknya. Tak ada pertanyaan yang meluncur dari mulut. Mengapa tak membangunkan? Oh, ya dia sudah tahu jawabannya. Kepalanya menoleh ke tasnya yang berada di jok tengah dan tangan sudah mengambil dengan susah payah. Begitu mendapatkannya, dia keluar tanpa sepatah kata disusul Arga.

"Apa kamu masih butuh tidur lebih lama?" Arga yang menyusul bertanya pada Aksa yang masih setengah sadar ketika membuka pintu teras.

Aksa terdiam, baru saat masuk ke rumah dia menjawab. "Gue mandi dulu." Seraya menenteng tas ranselnya, dia menaiki tangga tak bersemangat.

"Baiklah. Habis itu kita makan di luar." Arga mengikuti langkah Aksa dan berhenti kala Aksa masuk ke kamar.

Kebahagiaan yang sederhana. Melewatkan waktu tanpa ada debat kusir juga urat. Ditambah Aksa masih ingat dengan permintaannya untuk makan bersama di luar.

Tanpa menunggu lama, dia pun bersiap. Membersihkan diri dan berganti pakaian. Seperti biasa, hanya kaos lengan panjang dan celana jeans.

"Sa, apa kamu sudah siap?" Arga mengetuk-ngetuk pintu kamar Aksa yang langsung terbuka.

Aksa keluar dengan celana panjang jeans juga kaos lengan pendek. Tangannya menenteng jaket hoodie berwarna orange.

"Jangan terlalu ganteng, nanti Kakak tidak laku. Kalah sama kamu."

Arga mendekat, menepuk bahu Aksa dan menyunggingkan senyum bahagia.

"Ayo." Dia mempersilahkan turun terlebih dahulu disusul dirinya yang suka memperhatikan punggung adiknya.

Waktu belum terlalu malam, jalanan masih ramai lancar. Aksa menyadari, sedari tadi hanya berputar-putar saja. Meski begitu, dia tetap memilih diam.

"Aku masih belum bisa memutuskan apakah kita makan all you can eat atau di restoran." Akhirnya Arga buka suara.

"Sudah gue bilang gak masalah mau makan apa."

Arga tampak menimang-nimang. Padahal itu hanya pura-pura. Sedari awal dia sudah memesan tempat di restoran. "Baiklah, sekarang kita ke restoran saja. Sekali-kali makan mahal." Dia memutar kemudi menuju Jalan Colombo dan berhenti di sebuah restoran Jepang.

Aksa mengikuti langkah kakaknya. Begitu di dalam, aroma yang nikmat benar-benar menggugah selera. Duduk di pojok ruangan, dia memindai tempat bercat warna putih cerah, dengan dekorasi dari kayu. Mulai dari meja, kursi juga lemari. Hanya saja tak ada lampion atau aksesoris khas Jepang. Terlihat seperti restoran biasa jika tidak ada tulisan dengan huruf Jepang di depan bangunan.

Tak berselang lama, seorang pelayan datang menyodorkan buku menu. Aksa menerima dan membuka. Mengingat sebelumnya tak pernah makan di restoran, dia bingung harus memilih apa. Apalagi kali ini Kakaknya justru memilih restoran Jepang. Ah, seharusnya dia bilang kalau tidak suka makanan mentah. Membayangkan saja dia sudah mual duluan.

"Pesanlah!" Arga melirik adiknya yang sedari tadi belum memutuskan. "Atau biar Kakak yang pilih."

Melihat adiknya hanya membolak-balik buku menu, Arga mengambil alih dan berkata, "Snow white salmon roll, neko roll, sesame salad, cuka wakame, salmon and beef ramen dan teishoku."

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now