2. Kakak?

110 12 18
                                    

Arga menerka siapa lelaki yang datang ke rumahnya kali ini. Memakai baju coklat khas pegawai negeri dengan badge sekolah, sudah cukup membuatnya tahu siapa yang datang.

"Silahkan masuk." Arga membuka pintu lebih lebar.

"Saya tidak akan lama karena hanya mengantarkan surat, jadi lebih baik duduk di depan saja.

Arga mempersilakan lelaki kurus itu duduk di teras. "Surat apa kalau saya boleh tahu?"

Lelaki itu gegas membuka tas ransel dan mengeluarkan sebuah amplop. "Maaf sebelumnya, apa hubungan Mas dengan Ananda Aksa?" Lelaki itu menatap Arga penuh selidik mengingat ini kali pertama melihatnya.

"Saya Kakaknya."

"Alhamdulillah kalau begitu." Lelaki itu tersenyum penuh makna seraya menyodorkan. Begitu sudah berpindah tangan, raut wajah mendadak berubah. "Kami turut berduka cita dengan kepergian Ibu ananda Aksa, tapi saya selaku perwakilan dari sekolah mengharapkan kejelasan Ananda untuk datang ke sekolah."

Arga yang tidak tahu duduk perkara hanya bisa mengernyitkan dahi. "Maksudnya bagaimana, ya, Pak? Kejelasan apa yang dimaksud?" Dia tak bisa menerka arah pembicaraan kali ini.

Lelaki itu tak kalah terkejut mendengar pertanyaan Arga yang tidak paham dengan apa yang terjadi pada adiknya. "Jadi begini. Aksa sudah sebulan tidak masuk sekolah tanpa kabar. Awalnya kami pikir Ananda hanya berduka. Beberapa temannya juga sempat datang ke sini, takut terjadi sesuatu dengan ananda, tapi rumah selalu dalam keadaan kosong." Menjeda omongannya dengan menarik napas panjang. "Berhubung tidak ada kabar, saya datang sebagai perwakilan untuk mengantar surat pemanggilan."

Sekarang Arga paham apa yang terjadi. "Baik, saya dan Aksa akan ke sekolah memenuhi undangan."

"Terima kasih." Lelaki dengan nama Nur Wachid yang tertulis di baju kerjanya itu bangkit dan pamit pulang. "Saya harap Aksa bisa segera masuk kembali ke sekolah mengingat ananda termasuk anak yang berprestasi."

Arga menunduk paham lalu mengantarkan sampai ke gerbang. Dia membuka lalu memandangi kertas yang ternyata berisi pemanggilan. Dia tidak habis pikir dengan yang terjadi. Adiknya tidak pergi sekolah dan memilih mabuk setelah kehilangan ibu mereka.

"Sialan! Baru juga datang." Gigi Arga bergemerutuk memandang kertas yang baginya sudah seperti aib itu.

Berulang kali dia menata kesabaran yang roboh, mengacak-acak rambut dan mengusap wajah dengan kasar. Begitu lebih tenang, dia memilih menyingkir ke dapur, rasanya dia ingin menggelontorkan kalimat yang ingin diluapkan dengan air dingin. Sayang tak ada apa pun di kulkas. Hanya bunga es yang memenuhi freezer selebihnya botol kosong.

"Sialan! Bagaimana bisa anak itu masih hidup dengan kondisi seperti ini?" Arga semakin geram.

Setelah lebih tenang, dia teringat mobil ibunya yang berada di garasi. Ingatan menuntun untuk menemukan di mana keberadaan kunci yang ternyata tergeletak di lemari ruang makan. Tanpa keraguan, dia memutuskan pergi, mencari makan. Meninggalkan Aksa di rumah sendiri.

Jalanan Jogja tak mengalami banyak perubahan, kecuali kemacetan yang terjadi di rambu lalu lintas. Setengah jam dia sampai di sebuah kedai franchise dan memesan menu kesukaannya.

Setelah mengisi perut, dia mampir ke supermarket. Tentu saja mengisi persediaan kulkas. Cukup banyak hingga kepayahan saat memasukkan ke bagasi mobil. Seharusnya dia tak perlu belanja, tapi kenyataan tak ada pembantu di rumah.

"Kenapa seperti ini?" Arga memukul stir berulang. Kesal karena harinya sudah dihancurkan oleh masalah yang ditimbulkan adiknya.

Setelah lebih tenang, dia melajukan mobil. Pulang. Sesampai di rumah, dia kembali ke lantai dua setelah menata barang belanjaan ke dalam kulkas.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now