31. Terima kasih, Kak

66 4 5
                                    

"Berhentilah berpura-pura, Sa. Aku sudah tahu penyakitmu."

Aksa terpaku, hanya beberapa detik saja sebelum tawanya pecah. "Apa-apaan ucapanmu, Kak. Aku gak sakit. Lihat! Aku sehat. Jangan mengada-ada!" Dia mengambil gelas dan segera menghabiskan wedang jahe yang jelas-jelas membuat lidahnya kepanasan.

Arga melihat dengan jelas tingkah adiknya yang berusaha menghindari pembicaraan.

"Kenapa kamu gak mau mengakuinya? Apa kamu berniat bunuh diri dengan membiarkan penyakitmu menggerogoti tubuh?" Intonasi Arga meninggi dan langkah Aksa tertahan.

"Itu karena aku gak sakit, Kak. Untuk apa menjawabnya."

Aksa tak berniat bersitatap dengan kakaknya dan memilih pergi. Baru juga dua langkah, raganya kembali tertahan.

"Lalu ini apa, Sa?" Arga mengeluarkan wadah obat dan meletakkan di meja. Hal itu membuat Aksa memutar tubuh. Sedetik wajahnya berubah pias. Mati-matian dia bersikap seolah tak terjadi apapun.

"Duduk! Kali ini penting dan kita harus membahasnya."

Mau tak mau Aksa kembali duduk. Dia menunduk, tak ingin memperlihatkan raut wajahnya. "Jadi Kakak sudah tahu? Sejak ka ... pan?" Sedetik kemudian dia sudah tahu jawabannya lalu tawa getir terdengar lirih.

"Memang susah berhadapan dengan pemain pro sepertimu, Kak. Pasti kalah."

"Lalu kenapa kamu harus menyembunyikannya?"

Aksa menghela napas panjang. "Aku gak mau menghabiskan sisa waktuku di ranjang rumah sakit."

"Lalu kamu berniat mati perlahan?"

Tawa getir Aksa kembali terdengar. "Untuk apa berjuang jika akhirnya sia-sia? Bukankah kematian adalah keniscayaan?"

Arga diam, tak membantah. Memang semua makhluk hidup akan menemui ajal, tapi mengetahui waktu di dunia tak lagi banyak rasanya sangat menyakitkan. Bukankah lebih baik membiarkan tetap menjadi rahasia itu jauh lebih baik? Siapa bilang dia akan lebih siap?

Tak ada pembicaraan di antara mereka. Arga yang dulu pongah mengatakan jika kematian adalah hal yang lumrah, sekarang mulai merasakan sakitnya menyerah dengan takdir Tuhan. Hatinya yang dulu membatu hingga tak bisa merasakan cinta juga kasih sayang, akhirnya mencair bahkan menghanyutkannya dalam kesedihan yang mendalam.

"Aku masih ingin bersamamu, Sa. Berjuanglah sekali lagi dan aku akan mendampingimu hingga kamu bisa memenangkannya."

Sejenak Aksa tertegun mendengar ucapan Arga. Tanpa sadar matanya berkaca. "Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Entahlah." Sekuat tenaga Aksa menahan air matanya. Entah karena kepedulian kakaknya atau hal lainnya.

Arga diam. Baginya ini adalah pengalaman yang berbeda. Sejak memutuskan keluar dari rumah. Kesendirian adalah teman terbaiknya. Hidup asing di negeri orang. Bertemu kawan baru maupun lama tak akan mengobati sebuah lubang besar di hatinya. Dan ketika menyadari bahwa perlahan satu titik di hidupnya tertutup oleh kebersamaan dengan Aksa. Akhirnya, dia mengerti ada banyak kebahagiaan kecil yang selalu diabaikan sejak dulu.

Dia terlalu fokus pada lubang dan titik gelap hingga tidak menyadari cahaya hangat yang selalu menanti.

"Jadi apa itu berarti kamu mau berjuang sekali lagi?"

Aksa mengangkat kepalanya dan tersenyum penuh makna sebelum mengangguk sebagai jawaban. "Tapi ini akan benar-benar merepotkanmu."

"Sejak aku datang memang kamu selalu merepotkan. Aku sudah mulai kebal."

Aksa tertawa kecil mendengarnya dan mereka habiskan malam itu bersama.

Keesokan hari, Arga segera membawa adiknya ke dokter dan menyanggupi operasi yang akan dilakukan. Namun, sebelumnya Aksa harus melakukan CT-SCan ulang juga menemui beberapa dokter spesialis sebelum menentukan jadwal operasi.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα