19.melawan

55 4 3
                                    

Arga baru kembali selepas magrib. Keluyuran tak tentu arah. Mencari ketenangan dan mencoba memahami ucapan sahabatnya. Walau di hadapan dia mengakui kesalahan, tapi harga dirinya tidak terima. Apakah salah jika dia ingin Aksa seperti harapannya? Bukankah itu berarti dia bertanggung jawab?

Begitu sampai rumah keadaan sudah sepi. Tubuh Arga yang lelah memaksa untuk menaiki tangga dan memastikan adiknya tidur seperti biasa. Sayang dugaannya meleset. Tak ada siapapun di kamar. Kembali turun ke lantai satu, dia hanya ingin meyakinkan jika adiknya berada di kamar ibu mereka.

Kenapa juga dia harus sepanik itu saat melihat adiknya tak berada di kamarnya? Apa benar dia memang menyayanginya? Ah, bukankah itu hal yang wajar, setidaknya itu yang dikatakan Adi padanya.

Entah mengapa saat membuka pintu dan melihat Aksa tidur di ranjang ibunya, dia bernapas lega. Setidaknya tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Seperti mabuk atau hilang tanpa kabar. Tersenyum tipis, dia mendekat melihat earphone masih menempel di telinga adiknya.

"Apa yang kamu dengarkan?" Dia mengambil earphone yang berada di sebelah kanan dan menempelkan di telinganya. Alunan lagu sendu menyapa telinga Arga.

I'm sorry, don't leave me, I want you here with me
I know that your love is gone
I can't breathe, I'm so weak, I know this isn't easy
Don't tell me that your love is gone
That your love is gone

Arga tertegun sejenak, menyadari arti lagu itu bagi adiknya dan mengembalikan lagi. Di nakas, layar ponsel menyala memperlihatkan foto Aksa dengan ibu mereka. Jika dilihat dari pakaian yang dikenakan kemungkinan potret diambil saat lebaran. Senyum menghiasi wajah keduanya. Sayang, tak ada dirinya.

"Siapa yang sebenarnya tidak bisa menerima perubahan?"

Dia tersenyum getir dan melihat Aksa yang menggeliat.

"Kakak?" Aksa terperanjat begitu membuka mata dan melihat Arga berdiri di samping ranjang.

"Biasa saja. Aku bukan hantu."

Aksa langsung bangkit dan mencopot earphonenya.

"Kakak berniat membangunkanmu untuk mengajak makan, tapi sepertinya kamu--."

"Hanya ketiduran ketika mendengarkan musik saja." Aksa beralasan.

Jujur, Arga sedikit kikuk harus memulai pembicaraan dari mana. "Kita sudah lama tak makan di luar. Bagaimana kalau--"

"Baiklah. Aku cuci muka dulu." Aksa bangkit dan keluar kamar.

*****

Aksa masih setia berlatih dan Arga hanya bisa memperhatikan perkembangannya dari kamarnya setiap malam. Sebuah kemajuan yang cukup signifikan membuatnya merasa bangga bahwa adiknya memang bersungguh-sungguh bangkit dari keterpurukan.

"Kapan pertandingannya?" Setelah kejadian babak penyisihan, dia berpura-pura tidak tahu.

Kali ini mereka tengah makan malam bersama. Tidak di luar tapi di rumah seperti biasa dengan masakan sederhana. Tumis kangkung dengan ikan goreng.

Aksa yang mendengar pertanyaan kakaknya memelankan kunyahan. "Besok."

Arga tersenyum dengan ekspresi terkejut. Dia tak menyangka dengan kejujuran adiknya kali ini. "Oh, ya. Di stadion mana? Lawannya dari SMA mana?"

"Stadion Amongrogo, lawannya SMA dari Sleman juga."

"Aku pasti datang."

Aksa mencuri pandang Arga yang rautnya tampak antusias.

"Jam berapa pertandingannya?"

"Jam sembilan."

"Apa kamu turun bertanding?"

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin