6. satu langkah maju

71 6 18
                                    

Setelah apa yang dilakukannya pada Aksa, Arga berpikir jika dia memang sudah keterlaluan. Sebagai seorang kakak seharusnya lebih sabar dan memahami adiknya yang sudah lama tak dijumpai. Bukan berlaku semena-mena dengan menceburkan ke kolam hanya karena kesal.

Arga sedari tadi di dapur membuat makan malam. Siang tadi Aksa belum mau bangun dan dia sengaja membiarkan istirahat di kamar ibu mereka.

Kali ini Arga memasak sop yang gampang dan menyegarkan. Di dalamnya dia sudah memberi potongan ayam, sosis juga bakso sehingga tidak perlu membuat lauk lagi.  Setelah menyiapkan semua di meja, dia menuju kamar ibunya. Membangunkan adiknya untuk makan bersama.

Lelaki yang memakai kaos berwarna merah dan celana jeans itu masuk dan menutup gorden. Tak lupa menghidupkan lampu.

"Sa, makan!" Arga menggoyang tubuh Aksa yang berbalut selimut.

Aksa masih meringkuk, sebuah dehaman menjadi jawaban.

"Sa, aku membuatkanmu sayur sop. Sudah kuberi brokoli kesukaanmu. Bangunlah!" Arga masih berusaha sabar walau ucapannya masih belum diindahkan. Aksa masih belum beranjak bahkan semakin menaikkan selimutnya hongga sebatas leher.

"Kutunggu di meja." Kali ini tidak ada lo gue. Arga menekan egonya agar tidak terjadi lagi perselisihan. Dia pun keluar, mengira Aksa akan segera bangkit dan menunggu kedatangan.

Jarum jam terus berputar dan sayur yang tadinya masih mengeluarkan uap panas berubah dingin. Kedua tangan Arga saling bertaut, bersabar untuk sikap Aksa kesekian kali. Berulang kali dia menghela napas agar tidak terpancing emosi mengingat kelakuan adiknya.

Pandangan Arga tertuju pada benda penunjuk waktu di dinding. Sudah hampir satu jam terlewat. Apa mungkin adiknya tidur kembali? Mau tak mau beranjak bangkit setelah menghabiskan jus buah yang sedari tadi menemani.

Begitu membuka pintu kamar, Arga hanya bersandar di pintu dengan tangan bersedekap. Berharap adiknya peka dan paham bahwa dirinya sudah menanti sedari tadi. Namun sepertinya tak berhasil. Kesabarannya mulai menguap. "Aku menyuruhmu makan. Apa kamu tidak dengar?" Arga berjalan mendekat dan menyingkap selimut.

Lelaki yang menaikkan ujung kaos itu menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Suara gemerutuk gigi Aksa juga lenguhan terdengar lirih. Bukannya bangun, justru Aksa semakin meringkukkan tubuh dengan tangan memeluk tubuh seolah kedinginan. Padahal suhu sudah diatur pada 25°. Panik. Jelas. Mengapa dia tak menyadari sebelumnya? Atau setidaknya memastikan sebelum keluar. Dia mendekat dan memegang dahi Aksa.

"Sa, kamu demam." Tentu saja ucapannya tidak akan didengar. Aksa dalam kondisi setengah sadar dan dia baru menyadari napas adiknya pendek juga tersengal. Tanpa pikir panjang, dia memapah menuju mobil dengan susah payah. Berulang kali dia berhenti di tengah jalan dengan kondisi Aksa yang tak kuat berjalan.

"Berat sekali kamu. Bisa-bisa punggungku patah." Dia mendudukkan Aksa di kursi depan dan mengatur punggung kursi agar bisa tidur dengan leluasa. Setelah memastikan memakai seat belt dan lainnya, dia duduk di kursinya lalu memasukkan kunci. Mendadak tangannya terhenti ketika mendengar igauan adiknya.

"Kakak janji akan cepat pulang. Bohong! Aku menunggumu setiap hari. Tidur di kamarmu bahkan berusaha menjadi sepertimu."

Arga menoleh ke arah Aksa. Selama ini dia tak pernah menghubungi adiknya yang kala itu masih terlalu kecil. Bahkan ketika beranjak remaja. Dia menenggelamkan diri dalam kesibukan agar tak lagi mengingat rumah.

"Ibu selalu bilang Kakak sibuk dan tak bisa diganggu. Padahal aku ingin bercerita banyak hal. Apa Kakak berniat ingkar janji? Kenapa orang dewasa bisa berbuat seenak hati dan anak kecil harus memahami?"

Arga menutup wajah dengan salah satu tangan. Jiwanya serasa ditampar kenyataan jika apa yang dilakukannya dulu adalah sebuah keegoisan dan dia adalah seorang pecundang. "Maaf, Sa."

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now