7. satu tanya

67 5 12
                                    

"Kamu pecat Mak Ris juga Pak Tomo?" Arga bertanya saat makan malam. Sudah sejak lama dia ingin bertanya, hanya saja keadaan tak memungkinkan. Berbicara dengan adiknya seperti menyulut api peperangan. Dan sekarang, setelah kejadian yang setidaknya mendekatkan mereka. Dia pun menanyakan sopir juga pembantu yang selama ini mengurus rumah.

"Elo harusnya tahu alasan gue melakukannya." Aksa menjawab ala kadarnya. Siapa pula yang bisa mempertahankan dan menggaji pembantu sedang dirinya masih sekolah. Mungkin uang ibunya memang bisa membantu, tapi dia sendiri tidak tahu pasword atm. Hanya berbekal uang tabungan yang dia punya. Itu juga tak yakin akan menghidupi dirinya hingga lulus sekolah. Ah, jangankan untuk sekolah, melanjutkan hidup saja dia enggan sejak kepergian ibunya. Jika boleh meminta, dia akan bertahan dengan segala hal yang menyesakkan daripada ditinggal begitu saja.

"Lalu di mana ponselmu?"

Aksa diam, tak berani menatap kakaknya.

"Kamu jual buat mabuk?"

Aksa mengalihkan pandangan ke luar jendela. Melihat suasana malam yang sepi dan tak berniat menjawab. Napasnya yang tadinya teratur mulai tak beraturan, entah oleh apa.

Tak mendapat jawaban. Arga berdiri, mengambil piring Aksa dan menyatukan dengan miliknya lalu membawa ke wastafel.  Dia melirik adiknya yang masih bungkam dan berjalan menuju kulkas, mengambil minuman cola seraya menghela napas panjang.

Saat kembali ke meja makan, Dia membawa paper bag berisi ponsel yang baru dibeli dan menyerahkan pada Aksa.

"Kenapa tidak pulang saat pemakaman?" Aksa mendongak, menatap bola mata Arga yang melebar sedetik begitu pertanyaannya keluar.

Bukan ini yang ingin didengar oleh Arga. Apa tidak ada hal lain yang bisa dijadikan topik kecuali kematian ibu mereka.

Pertanyaan Aksa membuatnya tak bisa berkutik. Dia duduk dan meletakkan gelas cola seraya mendesah. Tak mungkin rasanya jika dia mengatakan alasan sebenarnya yang mungkin bagi adiknya terdengar bukan sebuah masalah besar.

"Aku sedang mengurusi berkas pengunduran diri." Arga beralasan lalu meneguk minuman dengan pandangan yang meyakinkan.

"Lo bisa izin cuti dahulu." Aksa masih tak terima dengan alasan yang dikatakan lelaki yang memakai kaos putih berlengan panjang itu.

"Tak semudah mengatakan, Sa."

"Apa susahnya?" Intonasi Aksa meninggi.

"Kamu belum tahu apa-apa tentang dunia kerja." Bukannya tenang, kini Arga kembali tersulut emosi.

"Gue memang gak tahu, tapi minimal telepon. Apa susahnya telepon. Jangan suruh gue yang harus memahami dan mengalah."

Lagi-lagi adiknya kembali mengungkit kesalahan. "Chandra Angkasa, kita tak perlu membicarakan hal seperti ini. Bukankah kita sudah menyudahinya. Lagipula aku sudah di rumah sekarang."

"Kita bahkan belum membahasnya!" Aksa memundurkan kursi, memilih pergi. Bukan ke kamarnya yang berada di lantai dua, melainkan kamar ibunya. Dia menghempaskan pintu dengan kesal tanpa berniat mengambil ponsel yang sudah dibelikan atau mengucapkan terima kasih untuk segala kepedulian.

Arga menyandarkan punggung ke kursi. Selalu seperti itu. Setiap mengira hubungan mereka lebih baik, nyatanya masih ada kebencian yang belum Aksa selesaikan. Pun dengan dirinya yang terkadang mudah tersulut amarah dan melampiaskan pada adiknya.

Kini dia sendirian di kamar makan. Padahal dia berharap sudah bisa berkomunikasi lebih baik. Setidaknya perbincangan yang lebih hangat juga akrab. Tanpa mengungkit cerita lama.

Apa memang sebaiknya dia beberkan semua. Alasan mengapa tak segera pulang. Ah, adiknya mana paham. Yang ada hanya buang tenaga. Sia-sia.

Waktu beranjak malam, sudah hampir satu jam dia duduk. Masih dengan harapan Aksa keluar dan mau berbincang seperti saat pulang dari rumah sakit. Seketika dia teringat jika Aksa belum minum obat. Ah, rasanya dia begitu malas jika apa yang dilakukannya berakhir menjadi pertengkaran. Terkadang terbersit pikiran untuk mengabaikan, tapi hati kecilnya selalu menolak keinginan. Sudah terlalu lama dia menuruti ego. Sekarang adalah waktu yang tepat membayar walau itu berarti harus bekerja lebih keras mengambil hati Aksa dan bersabar dengan segala kelakuan.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now