4. Egois

77 9 8
                                    

Aksa sudah bersiap berangkat sekolah. Sejak pukul lima, Arga sudah menyeretnya ke kamar mandi. Tak lupa menjejali dengan setumpuk ocehan yang menjadi sarapan. Berhubung kekuatannya belum pulih sepenuhnya, dia memilih mengalah. Meski diam-diam sudah merencanakan sebuah ide gila.

Arga menatap Aksa penuh tanya. Mengingat adiknya sama sekali tak membalas ucapan atau marah-marah tak jelas seperti hari sebelumnya. Dia pikir jika Aksa sudah paham dan berusaha menerima niat baiknya. Sarapan juga sudah disentuh tanpa banyak bicara. Setidaknya sudah ada kemajuan dalam hubungan mereka walau belum ada kata-kata keluar. Tak apa, perlahan.

"Aku tidak tahu berapa uang sakumu. Apa segini cukup?" Arga mengulurkan uang berwarna merah.

Aksa belum juga buka suara, tapi tangannya terulur mengambil pemberian. Tak ada ucapan terima kasih. Dia langsung beranjak bangkit, mengikuti Arga yang berniat mengantarkan ke sekolah.

Dengan diamnya Aksa, Arga sudah tak seemosional kemarin. Kali ini dia mencoba lebih lunak mengingat sudah terlalu lama mereka tak pernah bicara. Mencoba mengambil hati adiknya walau dia sendiri tidak tahu harus memulai percakapan dari mana.

"Jam berapa pulang?"

"Gak usah. Gue bisa pulang sendiri." Aksa turun dari mobil dan langsung disambut oleh teman-temannya.

Arga memperhatikan adiknya yang perlahan menjauh. Masih tak ada senyuman di raut wajahnya seolah menghilang bersama kepergian ibu mereka.

Setelah memastikan adiknya sudah masuk, dia menunggu hingga bel pelajaran dimulai. Berjaga-jaga jika Aksa membolos. Namun, dugaannya tak terbukti.

Merogoh saku celana, dia membuat panggilan ke salah satu temannya. Tak menunggu lama, sambungan sudah terhubung.

"Aku tidak tahu di mana tempatnya. Kamu kirimkan lokasinya dan aku akan menunggu sampai makan siang. Atau kujemput jam dua belas?"

Setelah cukup berbasa-basi, dia mematikan ponsel dan menuju lokasi. Menemui salah satu temannya di sebuah cafe. Dia berharap adiknya tak lagi membuat masalah karena sekarang banyak sekali yang harus dipikirkan.

Meski uang tabungannya masih cukup banyak, tidak mungkin selamanya dia menganggur. Tentu dia harus mencari pekerjaan atau bisa saja membuka usaha. Ya, walau dia juga belum yakin akan melakukan mengingat baru saja datang. Namun, membuat rencana juga tidak ada salahnya.

Arga tiba di sebuah rumah joglo. Dia segera masuk begitu sampai dan mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan teman kuliahnya yang sudah lama tak dijumpai. Ya, meski begitu dia masih bisa mengenali dan segera menghampiri, tak lupa memberi sebuah pelukan.

"Orang Inggris apa masih doyan makanan Jogja?" Lelaki yang memakai jaket kulit itu melepaskan dekapan dan menepuk bahu Arga.

"Harus kuakui. Mengalami culture shock di negeri sendiri rasanya aneh."

Lelaki dengan kumis tipis itu tertawa. "Kapan datang? Aku kaget saat kamu bilang sudah di Jogja dan mengosongkan jadwal demi kamu. Apa kamu berencana menetap di sini?"

"Kamu berlebihan, sudah seperti presiden saja. Rencananya begitu, Adikku masih sekolah. Lagipula aku sudah keluar dari kerjaan."

Perbincangan mereka mengalir begitu saja. Awalnya hanya membicarakan cerita pekerjaan, nostalgia lalu merembet rencana ke depan. Saat makan siang, mereka beralih tempat. Tak disangka Adi -teman Arga- menawarinya untuk bekerja sama masuk ke bisnis kontraktor milik keluarganya yang juga akan segera merambah ke bisnis properti.

"Besok kukabari. Aku mau istirahat dulu." Arga memberi jawaban. Dia masih belum bisa memutuskan apakah akan merintis usaha atau menerima tawaran.

"Mentang-mentang isi atm masih banyak."

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now