12. menggulung jarak

55 7 8
                                    

Aksa termenung di tepi ranjang pagi ini. Setelah semalam mendengar permintaan maaf kakaknya secara tidak langsung, dia tak tahu harus bagaimana bersikap nantinya. Haruskah ikut melunak atau seperti sebelumnya. Yang diinginkan hanya sederhana, permintaan maaf dan semua yang terjadi di antara mereka akan dianggapnya berakhir. Walau tak sepenuhnya.

Tas ransel sudah disiapkannya, pun dengan dirinya yang sudah memakai seragam sekolah. Hanya turun dan berpura-pura tak mendengar, apa masalahnya?

"Sa, apa kamu sudah siap?" Arga membuka pintu setelah mengetuk. Mendapati Aksa sudah bersiap tanpa dimintanya. "Sarapan sudah siap. Makanlah."

Aksa membuang muka, tak ada sepatah kata yang keluar.

Kali ini tak lagi ada emosi. Arga harus lebih sabar dalam memahami adiknya. Benar yang dikatakan Adi jika harus bekerja lebih ekstra untuk meluluhkan hati yang sudah kecewa dan sakit. "Kakak tunggu di bawah."

Arga memutar tubuh dan kembali ke dapur. Menyibukkan diri mencuci peralatan masak hingga adiknya datang beberapa menit kemudian. Setelah selesai, dia menuangkan jus juga susu ke gelas dan meletakkan di depan Aksa. "Kamu harus lebih banyak minum susu."

Aksa masih diam, tapi tangannya tergerak menyendok sarapan. Kali ini menunya adalah nasi goreng komplit. Porsinya juga jauh lebih banyak dari milik kakaknya.

Menit demi menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Arga berusaha mencari topik pembicaraan, sedang Aksa sendiri tak berniat membuka percakapan.

"Bagaimana kalau sepulang sekolah kita pergi ke makam Ibu?"

Pertanyaan Arga sukses membuat lelaki berseragam itu terbelalak. Kunyahannya memelan dan pandangannya tertuju pada lelaki yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih itu.

"Untuk apa?" Akhirnya Aksa buka suara.

Arga menyandarkan punggung dan tertawa kecil mendengar pertanyaan adiknya. "Mukbang."

Aksa akhirnya tersadar dengan pertanyaan bodohnya. "Maksudku--." Ah, kenapa dia mendadak tidak tahu apa yang akan dikatakannya.

"Sejak datang, aku belum ziarah ke makam Ibu. Bagaimana kalau kita pergi bersama?"

Aksa tak meneruskan makan, tampak menimang-nimang penawaran kakaknya.

"Aku belum tahu letaknya. Tak mungkin aku mengajak Pak RT menemaniku."

Aksa berulang kali melirik kakaknya. Dia tak suka harus duduk berlama-lama bersama, apalagi jika hanya ceramah atau sindiran yang keluar. Namun, entah mengapa mulutnya berkata yang sebaliknya. "Baiklah." Sepertinya memberi satu kesempatan untuk memperbaiki hubungan tak masalah. Dia harap kakaknya memang berusaha memahaminya.

"Terima kasih, Sa."

Lagi-lagi Aksa terkejut mendengarnya. Dia melihat Arga yang melanjutkan makan. Ada sesuatu yang menyelusup dalam dadanya. Hangat. Sudah lama dia tak mendengar.

"Bagaimana kalau setelah ke makam ibu, kita makan di luar?"

"Apa rencana lo?"

"Hanya ingin menghabiskan waktu dengan Adikku saja."

Aksa terpaku untuk kedua kali. Sungguh jauh di dalam hati dia senang melihat kesungguhan kakaknya, tapi tak bisa mengatakan begitu saja. Rasanya canggung mengingat dia bukan lagi anak kecil yang mudah disogok. Akan tetapi hal-hal sederhana seperti itu yang selalu dinanti. Lalu mulutnya menjawab dengan dehamam sebagai tanda persetujuan.

Jawaban Aksa sudah cukup membuat Arga tersenyum senang. Satu langkah menggulung jarak sudah diterima tanpa ada perselisihan.

"Kita makan di mana? Apa kamu punya alergi?" Mendadak Arga heboh sendiri ketika gayungnya disambut dengan tangan terbuka oleh Aksa.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now