11. lembaran masa lalu

61 7 11
                                    

Arga segera duduk di tepi ranjang setelah mengambil buku yang berada di bawah kasur. Berwarna biru dan tebal layaknya buku jurnal. Sejenak dia ragu dan urung membuka. Melihat buku yang diyakini sebagai milik ibunya. Apakah dia lancang jika membacanya? Keraguan menyelimuti hati, tapi rasa penasaran menguasai diri. Setelah kata maaf meluncur dari mulut, tangannya tergerak membuka lembar pertama, kosong. Lega. Tak ada tulisan apapun.

Namun, rasa ingin tahu membuat tangannya menyingkap lembaran kedua. Sebuah tulisan menarik atensinya.

"Ibu."

Kenapa wanita selalu disalahkan jika dalam rumah tangga terjadi perselingkuhan? Mengatakan tak pandai menjaga pernikahan. Sibuk dengan kehidupan luar dan lupa dengan kodratnya di rumah? Apakah aku salah bekerja di luar?

Mereka tidak pernah tahu. Aku tak mempermasalahkan jika gaji suamiku lebih rendah. Aku tidak marah kebutuhan rumah kutanggung sendiri. Tapi kenapa semua orang seenaknya mengumpat? Di mana empati mereka yang mengaku perempuan? Ah jangankan saudara, anakku sendiri mengatakan hal yang sama. Aku terlalu sibuk di luar. Siapapun orangnya butuh pelarian dari keringnya kasih sayang, begitu katanya. Bagaimana bisa anakku mentolerir sebuah perselingkuhan dan menyalahkan ibunya yang memperjuangkan segala hal untuk dirinya.

Bukankah menikah adalah berjuang bersama. Lalu mengapa harus mengatakan jarang di rumah sebagai alasan mencari pelampiasan di luar? Kenapa hanya aku yang berjalan pincang menyangga bahtera, sedangkan dirinya seenaknya berpindah haluan?

Aku terima semuanya. Hujatan juga kebencian, tapi masih bisakah aku menggenggam bahagia setelah hal ini terlewat? Sedangkan dirinya lebih memilih melepas diriku yang 'egois', katanya. Alih-alih meminta maaf dan merajuk meminta kesempatan kedua.

Benar yang ditulis Ibunya. Arga marah sudah sangat lama. Saat ibunya tak pernah hadir dalam pagi dan malamnya. Hangat tegur sapa menghilang berganti dengan kata 'tunggu sebentar' yang memuakkan. Walau saat itu dia sudah besar dan mempunyai dunianya sendiri. Dia masih membutuhkan ibunya kala pulang. Setidaknya bertanya basa-basi untuk hari yang dilalui. Mengapa tak paham? Bukankah ibunya dulu selalu melakukannya?

"Bukankah memang itu kenyataannya? Kenapa tidak instropeksi?"

Dia tak habis pikir dengan ibunya yang bertindak seperti korban. Bukankah tak ada asap jika tak ada yang memulai menghidupkan api. Sedangkan komunikasi tak pernah terjalin di antara mereka. Salahkah jika dia memilih pergi? Toh ada tidaknya dirinya bukan lagi masalah. Ibunya sudah memiliki dunia sendiri.

Arga menghela napas panjang. Dia membiarkan buku itu terbuka dan meletakkan di samping ranjang. Kesal, pikirannya terus bergumul di antara menyalahkan juga iba. Lalu pandangannya menyapu ruangan ibunya yang berukuran 7x6 meter.

Lurus dari tempatnya duduk, ruang kerja ibunya yang berada di sebelah kiri pintu atau persis menghadap kolam, dibatasi sekat kaca seakan menjadi pemandangan. Menempel di tembok, berjajar lemari kaca yang berisi buku dan jurnal. Setumpuk kertas yang telah menciptakan jarak di antara mereka. Lalu pandangannya beralih pada pernak pernik yang terdapat di atas meja. Hanya pulpen yang masih pada tempatnya, lampu baca juga foto kebersamaan saat mereka masih kecil. Hal yang memantik kembali memori.

Setelah jauh lebih tenang, dia berniat membuka buku secara acak. Mengira hanya lembaran ratapan penyesalan saja. Dia membuka perlahan hingga melihat namanya tertulis di atas kertas.

Arga, apa kabarmu, Nak? Ah, aku yakin kabarmu baik sampai tak ada waktu untuk menelpon. Kamu pasti sibuk dengan dunia barumu yang sudah pasti menyita waktu. Sekarang Ibu mengerti dan merasakan dengan apa yang kamu katakan dulu. Seharusnya aku paham dan bisa memberikan waktu lebih banyak. Sayang semua sudah terlambat.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें