1.Pulang

136 10 6
                                    

Taksi berwarna biru berhenti di pinggir jalan perumahan Mutiara Gading, Sleman.

“Thank you.” Lelaki berusia 27 tahun segera tersadar dengan ucapannya dan meralat. “Terima kasih.” Dia menyodorkan uang pembayaran dan keluar dibantu sopir yang mengambil kopernya.

Begitu taksi menghilang dari pandangan, lelaki itu terpaku sesaat, melihat bangunan dua lantai yang berada di seberang jalan. Sejenak ragu meneruskan langkah menuju rumah bercat abu-abu juga putih. Berat seperti ada keengganan untuk melanjutkan walau kenyataan kakinya sudah menapak hingga depan gerbang.

Memantapkan diri akan tujuan awal. Dia pun memencet bel. Sekali. Dua kali. Tak ada tanggapan. Pandangan beralih pada jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul dua.

“Apa aku salah rumah?” Lelaki itu memastikan nomor rumah sudah seperti dugaannya. “Ke mana Simbok?”

Lelaki itu mencoba peruntungan dengan meraba dari lubang gerbang bercat hijau muda. Tak terkunci.

Tak lama, dia masuk dan mendapati pemandangan yang jauh dari bayangan. Rumput liar sudah menggantikan tanaman bunga yang mulai layu. Belum lagi daun-daun kering yang berserakan. Air mancur yang berada di pojok taman sudah tak lagi mengeluarkan air. Menyisakan kerak.

Semilir angin bergesekan dengan dedaunan pohon Mangga, memecah kesunyian bangunan dua lantai yang sekilas tak berpenghuni. Namun juga menciptakan kesan angker.

Dia berjalan seraya mengedarkan pandangan. Memperhatikan bangunan yang menarik ingatan. Jendela tertutup rapat oleh gorden berwarna beige.

Sampai di teras, lampu depan masih menyala. Tanpa pikir panjang, dia mencoba peruntungan kedua kali dengan memutar knop pintu. Tak terkunci seperti dugaannya.

Lelaki yang memakai kaca mata itu melenggang masuk disambut aroma yang bercampur aduk. Hampir saja dia muntah jika tidak segera membuka jendela yang berada di samping pintu.

Begitu mendengar suara, sesosok lelaki yang tertidur di sofa tak jauh dari pintu mendongak. Matanya sayu dengan kantong hitam. Dia menguap sebelum kembali ke posisi semula.

“Ah, mengganggu saja!” umpatnya kesal.

Arga Satya Pratama terkesiap. Bukan sebuah sambutan yang diterima tapi umpatan karena telah mengganggu tidur nyenyak. Dia masih terpaku di depan pintu ketika lelaki berseragam SMA mencoba berdiri tegak dengan baju dan rambut acak-acakan.

Berjalan mendekat dengan sempoyongan, Chandra Angkasa melengos tak memperdulikan keberadaan lelaki yang baru saja datang. Arga dianggap makhluk tak kasat mata yang mengganggu kenikmatan yang baru didapatkannya.

“Aksa?”

Aroma pengar menguar begitu lelaki yang dipanggil Aksa melewatinya. Tentu Arga tahu pertanda apakah itu. Mabuk. Dia mundur selangkah, menghalau aroma yang dibencinya.

“Siapa Aksa? Gue gak kenal. Keknya lo salah masuk rumah.”

Mendengar hal itu, Arga mengedarkan pandangan. Melihat beberapa bingkai foto yang terpajang di ruang tamu. Benar. Dia tak salah rumah. Masih ada foto ibu, adiknya juga dirinya. Apa mungkin sudah disewakan? Rasanya tak mungkin.

Bukannya naik ke lantai dua, lelaki bermata sipit itu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi di dekat tangga, memuntahkan isi perut. Berkali-kali hingga aroma yang memualkan mulai menyapa indera penciuman Arga yang sontak ikut mual.

Masih dengan tubuh sempoyongan, Aksa berusaha naik ke lantai dua. Berulang kali dia berhenti di anak tangga karena tak mempunyai daya. Terkadang menertawakan hal yang tidak lucu sama sekali bagi Arga.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now