9. rumor yang baru didengar

57 5 8
                                    

Arga tak langsung pulang. Dia berhenti di alun-alun kota. Menepikan kendaraan, ingatannya dibawa mengelana saat dirinya masih kecil. Waktu di mana keluarganya masih lengkap dan adiknya baru saja lahir. Benar-benar indah. Lalu waktu merangkak cepat hingga kekecewaan menganga di dadanya. Ibunya mulai sibuk. Awalnya semua demi Aksa yang masih kecil, lalu berlanjut dengan kesibukan yang lain. Hangat dekapan mulai hilang dan hanya gigil setiap harinya.

"Kenapa tak ada kebaikan yang bisa kuingat, Bu?"

Satu kesalahan telah membuat seribu kebaikan yang pernah dilakukan ibunya mengabur. Kini dia bersusah payah mengingat apa yang bisa mencairkan kebekuan hatinya dan mengembalikan raut yang dulu begitu selalu dirindukan.

Arga menghela napas panjang dan melajukan kendaraan pulang. Menghalau segala pikiran dengan menyibukkan diri hingga waktu menjemput Aksa.

Meraih kunci mobil, dia segera pergi. Belum juga turun ketika sampai di depan sekolah, matanya tertumbuk pada kerumunan siswa. Dua orang yang tengah bersiteru berusaha dileraikan oleh teman-temannya. Umpatan juga terdengar.

Begitu keluar dari mobil, dia mendengar dengan jelas suara Aksa yang memaki. Segera saja dia mendekat dan benar. Aksa kembali membuat ulah dengan anak sekolah lain. Terlihat dari seragam yang berbeda. Satpam berusaha menjauhkan pihak lawan yang juga terus memberontak. Sedang teman-teman Aksa menahan tubuh adiknya yang merangsek ke depan.

Arga yang melihat hanya menghela napas panjang. Dia pikir masalah sudah selesai, tapi kenyataannya tidak. Apa lagi sekarang?

Segera dia menghampiri adiknya yang masih belum bisa mengendalikan diri sembari mengumpat.

"Hentikan, Sa!" Ucapan Arga sama sekali tak digubris.

Aksa terus mendesak maju. Dia harus membalas perlakuan yang diterima. Sebuah pukulan sudah mendarat di wajahnya, tentu dia harus melakukan hal yang sama.

"Kenapa selalu lo? Setelah orang tua gue, sekarang crush gue juga suka ma lo. Memang brengsek lo! Senang lo udah menghancurkan hidup gue? Nyesel gue punya teman kek lo."

Rasa tak terima telah menghilangkan logika Aksa. Hanya ada amarah. "Yang paling menyesal mempunyai teman kek lo, itu aku. Dasar pengkhianat! Bisa-bisanya aku percaya begitu saja denganmu!"

Arga maju, berusaha melerai pertengkaran. Beruntung tak menjadi sasaran hajaran kedua belah pihak yang sudah ditahan. Lalu satpam membawa pergi lawan yang terus menuding, menjauh.

"Sa, tenanglah!" Salah satu teman Aksa yang bernama Bayu berusaha meredam kemarahan Aksa yang masih berkobar-kobar. Lelaki kurus itu masih mencekal lengan.

Melihat suasana mulai kondusif, Arga mendekat ke Aksa yang justru membuang muka.

"Aksa! Masuk ke mobil!" Dia berusaha melunak, tak ingin suasana hati adiknya kembali memanas.

Aksa melepaskan cengkraman temannya dan berlalu menuju mobil. Beberapa pasang mata yang melihat menatap punggung Aksa lalu membubarkan diri. Sudah tak ada yang menarik. Menyisakan beberapa teman yang ditakini sebagai rekan tim Aksa.

Pandangan Arga beralih pada beberapa pasang mata yang menantinya buka suara. "Terima kasih."

"Kenapa Aksa kumat lagi?" Fandi, lelaki yang pernah meminta bantuannya buka suara. Lelaki dengan pandangan tajam itu menatap temannya yang kini menenangkan diri di mobil.

Arga sendiri juga tidak paham, mengapa Aksa menjadi seperti sekarang. Apakah efek remaja atau faktor lainnya. "Mungkin ini efek kehilangan dan dia masih belum bisa berdamai sampai sekarang." Sebenarnya itu hanya alasan yang dibuat-buat. Kenyataan dia tak tahu apa-apa. "Memang tadi masalah apa hingga dia semarah itu? Sepertinya dia juga bukan anak sekolah sini."

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now