21. maaf

54 5 6
                                    

Arga segera melajukan mobil menuju daerah perbatasan Sleman-Magelang. Tentu saja kali ini tujuannya adalah ke pemakaman ibunya. Dia yakin Aksa di sana dan harus segera membuktikan.

Saking tak sabar, dia mengemudikan mobil terlalu cepat. Ketika sudah di gang desa, wajahnya semakin tegang. Tak sampai lima menit sudah sampai di tujuan. Gegas dia keluar dan berjalan menuju makam ibunya.

Langkahnya melambat, melihat sosok yang dicarinya sedang duduk memeluk lutut.

"Aku akan menemanimu, Bu."

Suara serak Aksa menyapa indra pendengaran Arga. Dia mendekat perlahan.

"Sa."

Aksa diam, tak menjawab panggilan. Masih berbalut kaos jersey, dia memeluk nisan ibunya dan menenggelamkan wajah.

Arga mendekat. "Kenapa tidak pulang?"

"Beban sepertiku hanya akan menyusahkanmu."

Arga menghela napas panjang. "Sa, kamu salah paham."

Aksa memutar kepala, menatap kakaknya. Senyum sinis terukir di wajah. Dia berusaha bangkit dengan susah payah. "Apa yang salah? Sudah jelas kamu mengatakannya."

"Tidak baik kita berdebat. Ibu pasti sedih jika melihat kita seperti ini." Arga paham, Aksa begitu menghormati ibunya. Dan cara seperti ini dinilai akan cukup efektif. Sayang caranya tak mengubah keadaan.

"Ibu sudah mati. Tak akan mendengar apapun dari sini. Aku saja yang bodoh berbicara seolah menganggap Ibu masih ada dan mendengarkan."

Arga mendekat dan memegang lengan Aksa untuk bangun. "Aku tahu kamu masih belum bisa menerima kehilangan, tapi Ibu tak menginginkan kamu seperti ini, Sa."

Aksa yang awalnya menurut untuk bangkit, seketika mendorong tubuh kakaknya menjauh ketika mendengar nasihat. "Itu karena Kakak tidak merasakan apa itu kehilangan!"

Tubuh Arga terdorong beberapa langkah.

"Itu karena hatimu sudah mati, Kak." Tubuh Aksa kembali merosot dan jatuh bersimpuh. Sudah pasti dia kelelahan juga kelaparan.

Arga menatap adiknya. Dia harus menjelaskan kesalahpahaman kali ini. "Kupikir Ibu sudah tidak membutuhkanku ... apalagi selama di luar negeri, hanya kamu yang selalu dibicarakan."

Giliran Aksa yang terkejut. Dia mendongak, menatap kakaknya meminta penjelasan.

"Sama seperti yang Ibu lakukan padamu. Dia juga yang melakukannya padaku. Awalnya aku biasa, lalu entah mengapa semakin muak. Itu mengapa aku berpikir untuk tidak pulang."

Aksa masih bungkam.

"Kupikir setelah perceraian Ibu akan sadar dan mulai membenahi diri. Aku sadar menginginkan Ibu seperti yang kulakukan padamu." Arga menjeda ucapannya. "Dan saat pulang, aku mengetahui kebenarannya. Akan kuberitahu padamu. Ayo kita kembali ke rumah."

Aksa tertawa getir. "Buat apa Kakak harus repot-repot membujukku pulang? Tanpaku hidupmu akan damai dan berjalan sesuai keinginan bukan?"

Arga melihat wajah Aksa yang memerah. Kemungkinan demam mengingat semalam hanya tidur dengan memakai kaos jersey. "Ya, Kakak akui. Aku pernah menganggapmu seperti beban. Merepotkan. Menyusahkan. Kamu membuat hari-hariku dipenuhi amarah."

Pandangan Aksa mengabur mendengar Arga mengatakan kebenarannya.

"Aku meninggalkan pekerjaan dan pulang karena terpaksa. Tapi aku sadar, kamu adalah adikku. Ini bukan lagi tentang kewajiban, melainkan kasih sayang."

Aksa tertawa getir. "Kasih sayang? Apa itu? Kamu bahkan tak pernah membalas pesanku atau sekedar berbasa-basi dan sekarang mengatakan kasih sayang."

Arga menghela napas panjang. Kenyataan memang demikian. Sepuluh tahun dan sejak Aksa mengenal ponsel, tak sekalipun dirinya menanyakan kabar atau membalas pesan. Hari-hari disibukkan dengan bekerja atau pergi ke manapun yang bisa mengalihkan pikiran dari ibu juga adiknya.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now