Chapter 19

2.7K 218 37
                                    


Cahaya mentari yang menyilaukan membuat Lucca enggan membuka mata. Tubuhnya yang pegal menggeliat malas lalu berbalik memunggungi jendela. Ia bergelung mencari kehangatan dari tubuh lain yang kini sedang dipeluknya dan balas memeluknya. Bibirnya tersenyum merasakan kehangatan itu mendekapnya erat, bahkan disusul dengan sentuhan-sentuhan lembut menyerang wajah dan bahunya.

Merasa tidurnya terganggu, Lucca membuka matanya perlahan. Ia melihat Damian tersenyum padanya, telanjang, berbaring di atas tempat tidur dan di bawah selimut yang sama dengannya. Suasana hening seketika, hanya terdengar derak api yang berasal dari perapian.

“Pagi…” sapa Damian sambil mengecup bibirnya singkat.

1 detik.

2 detik.

3 detik.

“Kyaaaa!!!” jerit Lucca sambil beringsut mundur, mengangkat tangannya dan…

PLAK! PLAK!

DUAGH!

GUBRAK!

*_*_*

Seroja memeriksa wajahnya lewat cermin kamar mandi. Wajahnya baru selesai direkonstruksi untuk kedua kalinya. Masih ada sisa-sisa memar, tapi setidaknya tulang pipi dan rahangnya sudah diperbaiki. Damian benar-benar berniat menghancurkan wajahnya. Tapi itu adalah bukti bahwa Lucca sangat berarti bagi Damian dibanding yang lain. Seroja mensyukurinya, meski sedikit syok juga karena tubuhnya yang diremukkan.

Tapi itu wajar karena dia lengah.

Seroja keluar dari kamar mandi dan melihat Silvar duduk di ranjangnya, sedangkan Rangda masih tertidur pulas di sofa.

“Kau masih punya waktu tiga hari sebelum jatah istirahatmu habis.”

Seroja tersenyum miring mendengarnya. Liam memang hanya memberikan waktu dua minggu untuk beristirahat, waktu yang lebih singkat hanya karena dia memiliki kemampuan pemulihan diri.

“Aku sudah lebih baik. Rusukku juga sudah tidak sakit. Lagipula, aku janji pada Rangda untuk mengajaknya jalan-jalan.”

“Kau terlalu memanjakannya.” Silvar menatap Seroja yang mengelus Rangda. “Tapi mungkin itulah yang membuatnya menurut padamu.”

Setelah mengurus beberapa hal, mereka pun meninggalkan rumah sakit menuju mansion Damian. Kepala pelayan menyambut mereka dan menawarkan makan siang, yang diterima dengan senang hati oleh Rangda. Seroja dan Silvar memilih untuk menemui Damian lebih dulu di ruang kerja. Mereka mendapati Damian duduk membelakangi mereka, menghadap jendela besar yang menampilkan pemandangan taman yang berselimut salju.

“Jadi… kau sudah kembali seperti semula?” tanya Damian tanpa mengubah posisi duduknya.

“Ya, monsieur.”

“Bagus. Tapi untuk berjaga-jaga, sebaiknya kau selesaikan waktu istirahatmu.”

Damian memutar kursinya menghadap lawan bicaranya. Seketika mata Seroja dan Silvar membulat melihat hal yang tidak biasa di wajah Damian. Bekas tamparan di kedua pipi dan memar di mata kirinya. Seroja dan Silvar membuka mulut juga mengangkat tangan ragu, namun aksi mereka terhenti saat Damian memberikan tatapan tajam. Meski terlihat lucu karena sebelah matanya bengkak.

“Jangan tanya,” desis Damian penuh ancaman. Membuat mereka berdua menutup mulut rapat-rapat. “Silvar, aku menginginkan laporan pengiriman barang dari Michael. Kudengar dia sudah datang semalam. Siapkan tiga puluh menit lagi.”

Silvar membungkuk singkat lalu berbalik meninggalkan ruangan. Tinggal Seroja dan Damian di dalam ruangan itu. Mereka terdiam sejenak sebelum akhirnya Damian bangkit dari kursinya dan mengajak Seroja keluar menuju taman belakang.

When The Darkness Calling BackWhere stories live. Discover now