Chapter 16

3.1K 193 9
                                    

Saat Damian mengatakan akan mengajaknya jalan-jalan keluar, Lucca nyaris berpikir bahwa Paris akan segera dilanda badai salju hari ini. Ia bahkan tidak bisa menahan diri menyaksikan acara ramalan cuaca untuk memastikannya. Lucca melirik pada Damian yang berdiri di sampingnya. Tubuh tinggi tegap itu kini tidak dibalut dengan jas resmi seperti biasanya, kini ia mengenakan kemeja putih, rompi sweater bermotif wajik dan dilengkapi dengan trench coat coklat. Damian terlihat lebih santai dan relax, juga waspada tentunya.

Dan tampan… tambah Lucca saat memperhatikan wajah Damian.

Pria itu memiliki rahang kokoh dengan bulu-bulu pendek yang menambah kesan seksi hingga digilai para kaum Hawa. Rambut coklat pendek yang berantakan terlihat keemasan saat ditimpa cahaya mentari. Mata abu-abu yang terlihat keperakan tiap kali menatapnya, memacu adrenalinnya lebih keras. Dan jangan lupa bibir indah yang… oh, shit! Lenyapkan fantasi liarmu, girl!

“Kau kenapa?”

Lucca berhenti mengetuk-ngetuk kepalanya di tiang pegangan dan menoleh ke arah Damian yang menatapnya bingung. Begitu juga dengan para penumpang metro. Ah, sedikit tambahan lagi yang mengejutkannya, seorang CEO sekaligus dokter juga seorang ketua mafia kini sedang berada di metro bersamanya menuju tempat kencan mereka yang entah berada dimana. Bisa percaya seorang yang sering mengendarai mobil mewah terlihat biasa saja menaiki kereta bawah tanah? Sejujurnya sampai detik ini Lucca masih tidak percaya.

“Tidak apa. Hanya berpikir… kau benar-benar tidak memikirkan acara kencan ini dengan baik untuk membuatku terkesan.”

Sarkasme, diucapkan dengan tenang namun menohok keras layaknya tinju fisik, tapi anehnya Damian hanya tertawa menanggapinya. Tak tersinggung sedikit pun.

“Aku ingin kita saling mengenal dengan baik. Sesekali kita perlu berbicara santai tanpa perlu menarik urat masing-masing.”

Mereka turun ketika metro berhenti di stasiun Abesses. Dahi Lucca mengerut saat menyadari tempat mereka tiba. Ternyata Damian tidak membawanya ke pusat kota. “Montmartre?”

“Distrik para seniman di Perancis. Seperti halnya Florence bagi para seniman di Italia.” Damian tersenyum kecil melihat wajah terkejut Lucca. “Gemilang pusat kota Paris pasti sudah biasa kau dengar atau lihat lewat internet. Lagipula sudah lama sekali aku ingin ke sini, tapi tidak pernah ada kesempatan. Baru sekarang sempat.”

“Terlalu sibuk dengan semua ‘obat-obatanmu’, ya?” tanya Lucca sinis sambil menggerakan kedua tangannya membentuk tanda kutip pada kata obat-obatan.

Damian mengangkat sebelah alisnya dan dibalas Lucca dengan melengos kesal sambil memalingkan wajahnya. Ia bisa melihat wanita muda itu sedikit merintih karena hembusan angin musim gugur yang lebih dingin. Yah, musim dingin segera tiba. Sepertinya Lucca yang dulu hidup di negara tropis belum terbiasa dengan perubahan di negara empat musim. Damian meraih tangan mungil Lucca hingga wanita itu tersentak kaget.

“Apa yang kau lakukan?” desis Lucca layaknya ular berbisa yang siap mematuk dengan taringnya.

“Tanganmu dingin seperti es.”

“Aku tahan dengan udara dingin.”

“Kau lebih suka kugenggam tanganmu seperti ini atau kubiarkan kau membeku lalu kupeluk semalaman dalam keadaan telanjang saat pulang. Pilih?”

Mengancam lagi, geram Lucca dalam hati. “Terserah kaulah!”

Sepanjang pengetahuannya mengenal Damian, pria itu arogan, dingin, tukang ancam, selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi… dia orang yang selalu menepati janji. Karena buktinya, pria itu belum menyentuhnya secara seksual. Maksudnya? Mereka belum pernah bercinta. Bahkan melakukan malam pertama pun belum. Dalam tantangan sialan yang gagal dimenangkannya, Damian hanya bilang ingin menikahinya. So, Lucca tidak akan membiarkan pria itu mendapatkan semuanya. Biar saja pria itu bosan dan menceraikannya, dengan begitu dia bisa menjadi wanita bebas lagi.

When The Darkness Calling BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang