Chapter 13

2.5K 212 26
                                    

Kau tidak bisa melindunginya

Kelopak mata Desna sontak terbuka. Tubuhnya yang banjir peluh spontan terduduk, dadanya naik turun seiring nafasnya yang terengah. Lagi-lagi ia bermimpi buruk, mimpi yang sama sejak insiden kecelakaan Seroja. Kejadian saat Seroja berusaha mengulurkan tangan dari dalam mobil yang terjun ke jurang dan suara laki-laki yang Desna yakini milik Kira mengakhiri mimpi itu.

Aku memang tidak bisa melindunginya, batin Desna sambil menunduk dan meremas rambutnya frustasi.

Desna melirik bantal yang menyembul di balik selimut lalu memeluknya erat. Itu bantal Seroja. Sudah seminggu lebih – nyaris dua minggu malah – Desna selalu tidur sambil memeluk bantal itu, menghidu aroma Seroja yang masih tertinggal di sana. Kini aroma itu sudah hampir hilang. Biasanya setiap kali membuka mata, Desna akan mendapati tubuh mungil Seroja dalam dekapannya jika ia terbangun terlebih dulu. Lalu saat mata hitam kelam bersemburat biru itu terbuka menatapnya, gadis itu akan tersenyum dan menyapanya dengan suara serak khas bangun tidur.

“Pagi, Aingeal-ku. Aishiteiru…”

Matanya kini tertuju pada lukisan buatan Damian, lukisan dirinya dan Seroja di hari pernikahan ketika ia mengecup kening gadis itu. Desna menatap lukisan itu beberapa lama sebelum akhirnya beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Di bawah air pancuran, Desna menengadahkan kepalanya lalu menunduk sambil mengusap wajahnya. Saat ujung jarinya menyentuh tahi lalat di sudut mata kirinya, ia terdiam mengingat ucapan Seroja.

“Ibuku bilang, kalau punya tahi lalat di dekat mata berarti gampang nangis.”

“Aku tidak cengeng, tuh.”

Air mata kembali lolos dari pelupuk matanya, menyatu dengan rintik air dari shower. Tangan kirinya mengusap wajahnya kembali sedangkan tangan kanannya mencari-cari botol shampoo. Ia menoleh saat tangannya menangkap sebuah botol kecil. Botol shampoo bayi milik Seroja.

“Iih, jangan pakai shampoomu. Rambutku gatal kalau tidak pakai shampoo yang biasa.”

“Cerewet. Dasar bayi.”

“Biarin!”

Desna menuang isi botol itu ke tangannya, cairan hijau beraroma apel itu kemudian diusapkan ke rambutnya hingga berbusa. Tak hanya itu, ia juga memakai semua perlengkapan mandi milik Seroja. Ia menghembuskan nafas keras-keras setelah selesai membersihkan diri, menyadari betapa menyedihkan dirinya karena begitu merindukan gadis mungilnya. Istrinya.

Ia keluar dari kamar tiga puluh menit kemudian, sudah rapi dengan kemeja hitam lengan panjangnya dan dasi abu-abu yang sewarna celananya. Aroma nasi goreng tercium dari arah dapur. Ia melangkah menuju tempat itu dan melihat Anggraeni menyajikan tiga piring nasi goreng di meja makan. Sejak kematian pak Yana dan istrinya, Desna mengambil alih hak asuk mereka karena tidak memiliki kerabat dekat. Desna tersenyum kecil menatap kedua anak yatim piatu itu. Mereka sudah mampu mengatasi kesedihan karena ditinggal mati orang tua mereka dan kembali menjalani hidup.

Hidup terus berjalan, pikir Desna. Dan dia harus tegar untuk mereka.

“Pagi, kak Desna,” sapa Anggraeni menyentak lamunan Desna.

“Pagi, Raini,” balas Desna memanggil nama kecil Anggraeni. Gadis itu biasa dipanggil seperti itu oleh kedua orang tuanya. Desna menghampiri meja makan lalu mengacak-acak rambut Atila yang sudah duduk rapi dengan seragam putih merahnya. “Pagi, jagoan. Tidur nyenyak semalam?”

Atila tersenyum sambil mengacungkan dua jempolnya. Sejak insiden itu, Atila tidak pernah bicara. Psikiater bilang itu efek trauma yang dialaminya. Seiring berjalannya waktu, dengan perhatian orang-orang sekitar, bocah malang itu pasti akan kembali bicara.

When The Darkness Calling BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang