VI.1

245 121 5
                                    

Aku tidak yakin apa pikiran yang muncul sewaktu mendengarnya.

Kurasa, otakku memprosesnya sebagai lelucon. Semacam April Mop. Namun, raut wajah yang dipenuhi ketakutan di hadapanku saat ini--aku tidak ingat siapa namanya--menunjukkan kalau dia tidak sedang bercanda. Dia dan teman-temannya yang masih menggedor-gedor pintu pasti merupakan aktor yang sangat hebat jika hanya sedang berusaha menipu kami.

Masalahnya, peristiwa ini terjadi tak lama setelah kasus penembakan yang dilakukan Michael Ahn. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Hanya dalam waktu singkat, murid-murid sekolah kami tiba-tiba berubah menjadi pelaku kriminal. Ini situasi yang janggal.

Kemudian, aku teringat akan satu hal yang lebih gawat; Cassie masih berada di kafetaria.

Dengan panik, aku bergegas membalikkan tubuh dan berlari menuju kafetaria. Jarak ke sana dari koridor tidak terlalu jauh, tetapi aku harus melawan arus kerumunan murid yang merangsek menjauhi kafetaria. Rasanya seperti berusaha masuk ke lift saat semua orang sedang keluar dari dalamnya. Aku hampir-hampir tak bisa bergerak maju, dan saat akhirnya berhasil tiba di kafetaria, pintunya dalam keadaan tertutup rapat, tak bisa dibuka.

Saat itu, barulah aku mengerti apa yang terjadi.

Pihak sekolah pasti telah mengunci seluruh pintu secara otomatis melalui panel di ruang keamanan. Dulu kami pernah diberi tahu bahwa hal tersebut akan dilakukan saat terjadi peristiwa-peristiwa berbahaya, tapi baru hari inilah mereka melakukannya. Tak diragukan lagi, situasi saat ini benar-benar serius.

Dengan kalut, aku meraih ponsel dari dalam ransel untuk memeriksa kalau-kalau ada pengumuman di halaman utama situs SMA Gateaway. Dan ternyata memang ada. Pengumuman itu berbunyi seperti berikut :

Sehubungan dengan adanya seorang siswa yang ditemukan membawa senjata api berkeliaran di kafetaria, maka dengan ini kami mengumumkan bahwa seluruh pintu telah dikunci secara otomatis untuk meminimalisir kemungkinan pelaku menyakiti lebih banyak korban. Dengan ini, kami menghimbau seluruh murid untuk tetap berada di tempatnya masing-masing hingga pihak berwajib datang dan mengamankan pelaku.

Pantas saja tidak ada seorang pun terlihat. Ini konyol. Bukankah dengan melakukan itu mereka juga secara tidak langsung memastikan orang-orang di kafetaria tidak dapat melarikan diri ke mana pun? Itu sama saja artinya menunggu dibunuh.

"Cassie!" teriakku, menggedor-gedor pintu kafetaria sekuat tenaga, tapi tak ada hasil apa pun yang kuperoleh selain kepalan tanganku yang berdenyut-denyut nyeri. Aku akan mendobrak pintu jika bisa, tapi itu tidak mungkin lantaran pintunya terbuat dari besi.

Dari dalam mendadak terdengar bunyi letusan pistol beberapa kali, disusul dengan suara jeritan. Siapa--siapa yang dia tembak? Aku menelan ludah kuat-kuat dengan ketegangan melilit perutku. Rasanya aku mau muntah. Siapa pun itu, kuharap bukan Cassie. Jangan dia. Jangan dia.

"Kau sudah coba meneleponnya?" tanya seseorang dari balik bahuku, dan aku pun berjengit. Aku memutar kepala dan menemui tatapan serius Scar. Aku benar-benar tidak menyangka dia mengikutiku ke sini. Gadis itu mengedikkan bahu dan melanjutkan, "Siapa tahu dia tidak ada di dalam. Kalian bisa saja berselisih jalan."

Dia benar. Kenapa itu tidak terpikir olehku? Aku segera menelepon Cassie, tapi gadis itu, seperti yang sudah kukhawatirkan, tidak menjawab panggilan teleponku. Untuk suatu alasan yang tidak kuketahui hingga sekarang, Cassie tidak suka menjawab telepon. Sifatnya itu justru membuat situasi saat ini semakin pelik, sebab aku jadi tidak tahu apakah dia tidak menjawab karena tidak mau atau lantaran tidak bisa.

"Cassie! Kau di dalam?" teriakku, kembali menggedor pintu kafetaria.

Alih-alih jawaban, yang kembali terdengar malah letusan pistol--lagi. Aku hanya dapat membayangkan betapa besar kengerian yang mereka rasakan di dalam sana. Terperangkap bersama seseorang yang membawa senjata api dan tak segan menembakkannya. Aku tak tahu sudah berapa banyak orang yang dia tembak, tapi kuharap Cassie bukan salah satunya. Kuharap pihak berwajib segera datang sebelum Ian menghabisi semua orang di dalam sana. Itu pemikiran yang mengerikan, tapi bisa saja terjadi.

"Joseph," panggil Scar, dan aku terkejut karena dia ingat namaku. "Sepertinya kita harus pergi."

Aku menoleh dan mendapati sekuriti tengah berjalan ke arah kami. Dia dan beberapa orang sekuriti lainnya pasti ditugaskan untuk memastikan seluruh murid di luar kafetaria sudah berada dalam ruangan, bukannya berkeliaran untuk mengabadikan momen penembakan Ian menggunakan ponsel mereka--beberapa mungkin cukup gila untuk melakukan itu. Seperti yang diperkirakan Scar, pria itu mendekati kami dan berkata, "Kalian tidak boleh berada di sini, Nak."

Dia membawa kami ke ruang UKS, membuka pintu dengan menggunakan remote, kemudian menguncinya lagi setelah kami masuk. Scar langsung duduk di atas tempat tidur, sedangkan aku tetap berdiri di dekat pintu, dengan gelisah menatap keluar melalui jendela kecil di pintu. Aku sendiri tak yakin apa yang kutunggu, tetapi hanya duduk diam sementara Cassie dalam bahaya tidak membuatku nyaman.

"Apa ini pernah terjadi sebelumnya?" tiba-tiba Scar bertanya. Keingintahuan terdengar jelas dari suaranya.

"Tidak," jawabku tanpa menoleh. "Barangkali kau tidak tahu karena berasal dari ibu kota, tapi tingkat kriminalitas yang dilakukan remaja di sini tergolong rendah."

"Jadi kasus penembakan seperti ini merupakan pertama kalinya?"

"Yah, kurang lebih begitu."

"Kau tidak berpikir itu aneh? Hanya dalam rentang waktu yang singkat, dua murid di sekolah ini berubah menjadi pelaku tindak kriminal."

The MessengerWhere stories live. Discover now