I.1

1.2K 181 15
                                    

Aku menunduk, tepat pada waktunya untuk menghindari bola bisbol yang melesat ke arahku. Hari masih pagi--bahkan jam pelajaran ketiga belum dimulai, tapi geng Sean sudah mulai melancarkan serangan hariannya. Bola bisbol itu melewatiku, kemudian menubruk pintu loker yang terbuka di belakangku sebelum menggelinding jatuh.

Aku mengacungkan jari tengah pada mereka sambil berseru keras-keras, "Coba lagi lain kali, pecundang!" Sementara para murid lain yang berada di koridor bersorak-sorai. Interaksi rutin antara aku dan geng Sean pasti sangat menyenangkan untuk ditonton. Sepertinya, bagi mereka ini sama saja seperti menonton drama Korea yang tengah digandrungi sebagian besar siswi di SMA Gateaway.

Yeah, memang menarik selama mereka bukan pihak yang terlibat.

Sean dan gengnya berjumlah sebanyak empat orang. Mereka semua pecundang menyedihkan dari kelas 12 yang akan lulus setengah tahun lagi. Kendati semuanya berasal dari keluarga miskin, anehnya tidak ada seorang pun dari mereka berempat yang giat belajar ataupun bekerja paruh waktu. Yang lebih aneh lagi, mereka bahkan dapat menghindari ancaman dikeluarkan dari sekolah selama ini dan malah bertahan hingga kelas 12. Melihat orang-orang seperti mereka tidak pernah absen sekolah sejujurnya sangat mengherankan.

Mereka balas mengacungkan jari tengah padaku, kemudian berlalu pergi. Hanya seperti itu. Salah satu hal yang bagus--atau mungkin janggal--dari sekolah kami adalah peraturan yang melarang kekerasan fisik dalam bentuk apa pun. Entahlah apa yang dimaksud dengan 'apa pun'. Yang jelas, itu keuntungan bagiku--dan murid lain sepertiku--lantaran para pejabat sekolah benar-benar serius menerapkannya. Tahun lalu, ada seorang siswa kelas 10 yang kedapatan menghajar teman sekelasnya hingga babak belur. Korban mengalami patah rusuk dan memar di sekujur tubuhnya. Aksi pemukulan itu terekam kamera pengawas, yang tersebar di titik-titik strategis, dan berujung pada dikeluarkannya si pelaku dari SMA Gateaway.

Dikeluarkan dari SMA Gateaway sama saja artinya menghancurkan masa depanmu sendiri. Itulah peraturan tidak tertulis di Gateaway City--kota terakhir yang harus dilewati oleh orang-orang yang ingin pergi ke Metropolitan melalui jalur darat.

Metropolitan adalah kota impian sebagian besar remaja di Gateaway City. Aku dan geng Sean bukan pengecualian. Kota itu merupakan kota yang megah. Tempat para selebriti bernaung. Tempat yang, katanya, memberi peluang kesuksesan yang sama bagi setiap orang. Tempat yang dapat mengubah nasib siapa pun, terutama orang-orang dari golongan ekonomi menengah ke bawah seperti kami.

Masalahnya, kota itu hanya menerima pendatang yang sudah lulus dari SMA. Kudengar penjagaan di perbatasan sangat ketat; petugas akan memastikan setiap pendatang dapat menunjukkan ijazah SMA. Dan mereka akan memeriksa bar code yang tertera di ijazah untuk memastikan keasliannya. Jika ketahuan memberikan ijazah palsu, orang yang bersangkutan akan dilarang untuk masuk ke Metropolitan. Selamanya.

Jadi itulah alasan kenapa bahkan bajingan seperti Sean berusaha untuk lulus dari SMA Gateaway yang merupakan satu-satunya sekolah menengah atas di kota kecil kami.

Aku membuka loker dan menarik keluar sejumlah buku teks tebal. Pada sampulnya masih tertera coretan spidol dengan huruf kapital "PECUNDANG". Itu ulah Sean. Sekaligus bukti kreativitasnya lantaran sekolah melarang kekerasan fisik. Sebagai gantinya, kekerasan verbal serta keisengan semacam ini--bahkan yang lebih parah--merajalela bagaikan pandemi, terutama karena loker kami tidak dapat dikunci sehingga dapat diakses oleh siapa pun. Entahlah kenapa pihak sekolah tidak memberi kami loker yang dapat dikunci.

"Kau perlu mengganti sampulnya dengan yang baru," kata seseorang dari balik bahuku.

"Untuk apa?" sahutku, menutup pintu loker, kemudian mengedikkan bahu ke Cassie. "Toh kita hanya akan memakainya setengah tahun lagi."

Gadis itu menyejajarkan langkahnya denganku. Aku selalu berjalan dengan langkah cepat, dan hanya Cassie yang dapat mengimbanginya sejauh ini. "Yah, kata 'pecundang' tidak terlalu enak dilihat. Nanti dikira orang itu namamu," tukasnya, kemudian terkekeh geli akibat ucapannya sendiri. Dia memang punya kecenderungan untuk menganggap lucu kata-katanya. Masalahnya, sering kali hanya dia yang berpikir itu lucu.

Selagi berjalan, aku memasukkan sebelah tangan ke saku jaket. "Hanya orang tolol yang akan mengira itu sebuah nama," sahutku.

Cassie mengulurkan sebungkus permen karet padaku. Aku menggeleng, kemudian dia mengambil sebuah dan langsung mengunyahnya dengan suara berisik yang dibuat-buat. Aku menoleh sambil mengernyit jijik, tapi dia hanya menyeringai lebar. Gadis itu tidak jelek, serius. Cassandra Hart terlahir sebagai bocah yang cantik. Dia pernah memperlihatkan foto sewaktu dia masih berusia dua tahun. Dan bocah dalam foto itu benar-benar menggemaskan. Matanya biru seperti langit yang cerah di musim panas, sedangkan rambutnya pirang keemasan dengan hint kecokelatan. Siapa pun yang melihatnya akan setuju kalau bocah itu kelak akan tumbuh menjadi wanita yang cantik dan anggun.

Anggun? Bleh.

Alih-alih anggun, Cassie tumbuh menjadi gadis tomboy yang selalu memotong pendek rambutnya. Alih-alih mengikuti kelas ekstrakurikuler piano di sekolah, dia malah mengikuti kelas bela diri dan menggunakannya untuk memberi pelajaran pada siapa saja yang berani mengganggunya. Setahuku, dia satu-satunya gadis yang tidak pernah diajak berkencan oleh pemuda mana pun. Bukan karena dia jelek. Bahkan dengan rambut pendek yang selalu acak-acakan, dia masih tergolong cantik. Masalahnya, pemuda di Gateaway City tahu kalau Cassie di luar jangkauan mereka.

Dengan kata lain, Cassie terlalu hebat untuk mereka.

Kami tiba di kelas berikutnya untuk jam pelajaran ketiga dan keempat. Setelah mengambil tempat duduk di sebelah jendela--tempat favoritnya--Cassie langsung menyambar buku teks di atas mejaku. Dia mengeluarkan buku kecil dari dalam tasnya, lantas merobek sesuatu dari situ dan menempelkannya di atas tulisan 'pecundang' yang ditorehkan Sean. Sedetik kemudian, dia menyeringai puas sambil mengembalikan buku itu padaku.

"Begini seharusnya."

"Kau. Melakukan. Hal. Yang. Sia-sia," sahutku datar. Aku menatap stiker nama 'Joseph Carson' yang ditempelnya. Dia punya lebih dari selusin stiker namaku dan namanya sendiri. Stiker namanya berukuran kecil, sementara stiker namaku berukuran besar, lantaran dia ingin memastikan ukurannya cukup untuk menutupi coretan-coretan yang kerap ditinggalkan Sean di bukuku.

"Tidak ada hal sia-sia untuk teman baikku," balasnya dengan raut serius. Seakan dia baru saja melakukan hal besar untukku. Cassie meletakkan buku teks miliknya di atas meja, kemudian mendorongnya ke arahku. Bahkan tanpa dia mengatakannya pun, aku sudah tahu apa itu. Pekerjaan baru.

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang