I.2

586 143 6
                                    

Memiliki pekerjaan paruh waktu bagi remaja seumur kami bukan hal aneh. Kurang lebih separuh remaja di Gateaway City melakukannya. Pekerjaannya macam-macam, tapi umumnya mereka bekerja di restoran cepat saji atau toko swalayan. Aku dan Cassie juga pernah merasakan bekerja di salah satu toko swalayan dekat sekolah selama setengah tahun, sebelum akhirnya berhenti karena jam kerja berlebihan serta gaji tak seimbang.

Kami berdua sudah berencana melamar kerja di restoran makanan Cina milik ayah teman Cassie, ketika tiba-tiba aku mendapat ide brilian. Ide itu kutemukan saat membaca berita tentang seorang lelaki paruh baya yang ketahuan berselingkuh akibat sang istri membajak ponselnya. Dalam ponsel itu si istri menemukan puluhan obrolan mesra suaminya dengan wanita lain. Hubungan pernikahan yang sudah berjalan tiga puluh tahun itu pun harus berakhir dengan perceraian.

Ketika membacanya, aku berpikir, Bagaimana jika obrolan mereka terjalin melalui surat-menyurat yang pengirimnya tidak mencantumkan nama? Cara itu pasti lebih efektif untuk menyembunyikan hal-hal yang ingin dirahasiakan. Selain itu, surat tidak meninggalkan jejak digital apa pun, serta dapat langsung dimusnahkan dengan mudah tanpa bekas setelah dibaca. Berbekal pemikiran itu, aku pun mencoba mengiklankan jasaku; mengirimkan pesan tanpa jejak digital. Sejujurnya, ini pekerjaan yang tidak masuk akal. Siapa yang mau repot-repot menulis dan mengirimkan surat di era teknologi seperti ini? Akan tetapi, sel-sel otakku yang sedikit gila mendorongku untuk mencobanya. Siapa tahu? Barangkali aku bisa mendapatkan uang dengan jumlah yang lumayan dari situ.

Awalnya, aku hanya mencetak brosur di kertas HVS biasa, kemudian menempelkannya pada setiap tiang listrik yang kutemui. Sistem kerjanya adalah, calon klien akan menghubungiku di nomor yang tertera pada brosur. Mereka pasti menyembunyikan nomor mereka ketika menelepon, tapi itu bukan masalah, malah lebih baik bagiku sebab aku juga tidak tertarik mengetahui identitas mereka. Selanjutnya, mereka akan meletakkan surat, catatan alamat penerima, serta bayaran untukku--yang nominalnya sudah kutetapkan--di tempat yang sudah kami sepakati. Jadi kami bahkan tidak perlu bertemu tatap muka sekali pun.

Pekerjaan ini sudah kulakukan selama kurang lebih tiga bulan, dan uang yang kudapatkan, di luar dugaan, lumayan. Nominalnya setara dengan gaji setengah tahun bekerja di toko swalayan, tapi dengan waktu kerja yang lebih sedikit. Kalau dipikir-pikir, mana ada orang waras yang mau membayar mahal hanya untuk mengantarkan surat. Tapi kenyataannya ada. Dan lebih dari satu orang. Hingga kini, total seluruh klienku mencapai hampir dua puluh lima orang. Itu berarti rata-rata delapan orang tiap bulannya.

Aku memasukkan buku Cassie ke dalam ransel. Gadis itu bergabung denganku di bulan kedua. Sejak saat itu, kami membagi tugas; dia mengambil surat sementara aku yang akan mengantarnya ke tempat tujuan. Untuk urusan uang, kami juga memutuskan untuk membaginya sama rata. Sebenarnya aku bisa saja bekerja sendiri tanpa Cassie. Tapi bekerja dengannya jauh lebih efisien, dan aku bisa menggunakan waktuku untuk hal lain. Misalnya, mengejar impianku sebagai pemusik.

"Aku sudah dengar lagumu yang kau kirim kemarin," kata Cassie tiba-tiba. Mata birunya terlihat bersemangat. "Jauh lebih baik daripada lagu-lagu ciptaanmu yang lama. Ini bakal jadi hits. Biar kutebak, ini terinspirasi dari ayahmu."

Mau tidak mau aku menyeringai mendengarnya. Cassie adalah satu-satunya orang yang kuperdengarkan lagu-lagu ciptaanku. Sekaligus satu-satunya orang yang kuberi tahu impianku, yaitu pergi ke Metropolitan untuk menjadi musisi. Demi impian itulah aku mengumpulkan uang selama ini. Ayahku tidak merestui impianku. Dia bilang itu konyol, apalagi karena aku tidak pernah memenangkan setiap kontes musik yang kumiliki. Jika kau memang berbakat, pasti kau sudah akan memenangkan sesuatu. Serta, Jika kau memang berbakat, pasti sudah ada produser musik yang datang padamu. Itu kata-kata favorit ayahku. Dia sendiri lebih suka aku bergaul dengan anak-anak kaya di SMA Gateaway--untuk membangun koneksi. Entahlah koneksi apa yang dia pikir bersedia dijalin oleh anak-anak kaya dengan anak dari keluarga pas-pasan sepertiku.

"Yeah. Beberapa hari lalu, dia menasehatiku untuk mendekati Ruby," aku menyebut nama putri walikota Gateaway City. "Hanya karena aku pernah membedah katak bersama Ruby di kelas Biologi, dia pikir gadis itu akan mau nongkrong denganku."

Kukira Cassie akan mengiakan, tapi di luar dugaan, dia malah menelengkan kepala sembari berkata, "Kenapa tidak? Aku tahu kau tidak akan percaya ini, tapi kau benar-benar salah satu cowok paling tampan di sekolah kita. Dan ada beberapa cewek yang tergila-gila padamu, contohnya Joan dan Keira. Kemarin di kafetaria, mereka berdua terus menatapmu selama kita makan siang. Masa kau tidak sadar?"

Aku mendengus. Omong kosong apa yang dia bicarakan? "Menatap bukan berarti tergila-gila, Cassie."

Kini dia memutar bola mata. "Percayalah padaku, Joseph. Ini yang disebut intuisi perempuan."

Dengusan geli tanpa sadar terlepas dari mulutku. Bukannya apa, tapi mendengar Cassie mengatakan sesuatu seperti 'intuisi perempuan' atau hal-hal semacam itu cukup menggelikan. Masalahnya, dia sendiri tidak pernah berperilaku seperti kebanyakan gadis pada umumnya. Jadi apakah intuisi perempuan miliknya dapat dipercaya?

Di sisi lain, aku tak peduli apakah ada gadis yang menyukaiku atau tidak. Aku percaya bahwa menjalin hubungan romantis di masa sekolah merupakan hal yang sia-sia dan aku tidak ingin menginvestasikan waktuku di sana. Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang berpacaran, yaitu mengejar impian. Kekasih atau teman akan datang dan pergi. Namun impian akan tetap bersamamu hingga akhir.

Mr. Bowman memasuki ruangan kelas, dan obrolan para murid pun berhenti. Cassie mengeluarkan buku teks dan pulpen, siap untuk mendengarkan Mr. Bowman berbicara selama satu setengah jam. Dia memang murid teladan yang selalu meraih peringkat pertama sejak kelas 9, dan bertekad untuk mempertahankannya hingga kami lulus. Sedangkan aku? Pikiranku melayang pada buku Cassie yang berada dalam tasku. Jika kami bisa mendapatkan kurang lebih dua puluh klien lagi sebelum tahun ini berakhir, kami bisa berhenti dari pekerjaan ini untuk fokus menghadapi tahun senior kami.

Dan setelah tahun senior berakhir, aku akan siap untuk mengejar impianku.

The MessengerWhere stories live. Discover now