V.1

287 119 5
                                    

"Anak baru itu sedang bermain sebagai detektif."

Itu yang dikatakan Cassie kepadaku saat jam makan siang di kafetaria, tiga hari setelah kedatangan si anak baru. Pada beberapa kesempatan, dia mendapati Scar berkeliling dengan buku catatan kecil di tangan, menanyakan sesuatu kepada semua orang yang dia temui. Hanya saja, dia tidak tahu apa yang sedang berusaha dicari tahu oleh si anak baru.

"Aku penasaran," gumamnya. "Apa yang sedang dia selidiki?"

Aku mengangkat kepala dari ponselku untuk mengamatinya. Cassie mengerutkan kedua alis dalam-dalam dan bibirnya mengerucut. Itu adalah ekspresi yang dia perlihatkan setiap kali tengah berpikir keras mengenai sesuatu. Artinya, dia memang penasaran setengah mati mengenai apa yang sedang diselidiki si anak baru.

Aku bersandar di kursi dan ikut mengerutkan alis. Beberapa bulan terakhir ini, tepatnya sejak kasus kematian Gemma, sahabatku itu berubah menjadi sosok yang selalu 'penasaran'. Masalahnya, dia penasaran dengan hal-hal yang tidak penting. Dia mengikuti setiap pembicaraan di grup obrolan--meski tidak pernah meninggalkan komentar--serta berusaha tahu apa saja hal-hal yang tengah berlangsung di sekolah. Contohnya seperti sekarang. Aku sendiri tidak terlalu ingin tahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Scar, semata-mata karena itu tidak ada hubungannya denganku. Dia dapat melakukan apa pun yang dia mau selama itu tidak menggangguku. Dan dulu Cassie juga seperti itu.

Jadi aku benar-benar tidak mengerti ada apa dengannya.

"Kenapa kau penasaran?" tanyaku, heran. "Itu bukan urusan kita."

Dia balas menatapku, kemudian mengedikkan bahu. "Yah, memang. Tapi dia sedikit aneh. Dia anak baru dan tidak punya keluarga di kota ini, jadi apa yang sedang dia cari?"

"Tidak ada yang membicarakannya di grup?"

Cassie menggeleng.

"Barangkali nanti dia akan menanyaimu juga. Saat itu, kau akan tahu apa yang dia cari." Alarm ponselku berbunyi, menandakan sepuluh menit lagi kelas berikutnya akan dimulai. Aku selalu menyetel alarm ponselku agar berbunyi sepuluh menit sebelum jam makan siang berakhir. Tujuannya, agar kami--terutama Cassie--tidak terlambat masuk ke kelas berikutnya.

Aku beranjak bangkit, tapi Cassie berkata, "Kau duluan saja. Aku perlu ke toilet."

Selagi menyusuri koridor seorang diri, aku memasang headset dan mendengarkan rekaman beberapa lagu ciptaanku yang terbaru. Tadi pagi aku telah mengirimkan tiga di antaranya via surel ke salah satu perusahan rekaman terbesar di ibu kota. Mereka sedang mengadakan kontes untuk mencari bibit-bibit baru di industri musik, jadi siapa pun yang berminat dapat mengirimkan lagu terbaik mereka. Dari sepuluh lagu yang kuciptakan baru-baru ini, tiga lagu itulah yang menurutku pantas untuk dikirim. Cassie sependapat.

Aku mengencangkan volume. Ini salah satu hal yang baru dapat dilakukan setelah kematian Sean. Ketika dia masih ada, sangat berbahaya untuk berjalan di koridor sambil mendengarkan musik. Kau tak pernah tahu kapan tiba-tiba dia akan muncul di belakangmu dan 'secara-tidak-sengaja' menyenggolmu keras-keras hingga kau terjatuh. Untunglah aku tidak pernah mengalaminya, tapi murid lain sering.

Jadi, yah, sejujurnya, memang lebih banyak hal baik yang muncul dari kematian Sean daripada kerugian yang ditimbulkan.

Atau... barangkali tidak, jika memikirkan Michael Ahn. Kudengar dia sudah resmi ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan Sean, dan diduga itu merupakan alasan terkuat di balik tindakannya mengakhiri hidupnya sendiri. Aku tidak tahu apakah itu benar. Barangkali tidak akan ada yang pernah tahu, sebab Michael tidak meninggalkan catatan bunuh diri apa pun.

Kemarin pagi, aku melewati rumah ayah Michael. Pada dinding rumahnya ada coretan kata 'PEMBUNUH' yang ditulis besar-besar dengan cat merah. Entahlah siapa pelakunya, sebab Sean bukan termasuk sosok yang dicintai di kota ini. Semua orang tahu kalau dia itu cuma pembuat onar. Aku ragu kalau bahkan keluarganya berduka atas kematiannya, jadi kemungkinan besar pelakunya Jennifer--kekasih Sean. Jennifer lebih muda dua tahun daripada kami, tapi dia sudah tidak bersekolah sejak menamatkan SD. Tanpa alasan yang jelas, gadis itu tergila-gila pada Sean. Paling tidak, itulah yang kudengar. Jadi kurasa dia pasti benci setengah mati pada Michael karena sudah membunuh Sean.

Aku tidak yakin bagaimana pandangan masyarakat kota kami terhadap aksi yang dilakukan Michael. Pembunuhan adalah sesuatu yang salah, tapi tidak dapat dipungkiri banyak pihak yang pasti merasa lega--aku merupakan salah satunya--karena Sean sudah tidak ada. Dan, kurasa juga banyak yang 'senang' lantaran tidak perlu repot-repot mengotori tangan mereka. Ibaratnya, Michael sudah membantu banyak orang melenyapkan salah satu sumber masalah permanen di Gateaway City. Barangkali itu sebabnya ada belasan buket bunga diletakkan di depan rumah Michael, terlepas dari statusnya sebagai pembunuh.

Di depan loker, aku berhenti untuk mengambil buku teks. Ketika menutup pintu loker, tahu-tahu Scar si anak baru sudah berada di hadapanku, dan aku pun terhenyak kaget. Entahlah dia muncul dari mana, sebab aku tidak melihatnya melintas tadi. Dia berdiri bersedekap, dengan mata hazel-nya menatapku lekat-lekat. Sorot matanya tidak ramah dan terasa mengintimidasi, membuatku tidak nyaman. Aku tidak punya bayangan sama sekali kenapa dia berdiri di situ, tapi yang jelas sepertinya bukan untuk beramah-tamah.

"Ada waktu sebentar?" tanyanya. Suaranya sedikit serak dan bernada rendah, tidak cempreng berisik seperti suara sebagian besar siswi di sini.

Aku melirik ponsel. Masih ada kurang lebih tujuh menit sebelum kelas dimulai. "Beberapa menit," balasku.

Gadis itu membuka buku catatan kecil di tangannya. "Siapa namamu?"

Alisku berkerut. Apakah dia berkeliling menanyakan nama kami semua? Cara yang cukup 'unik' untuk berkenalan.

Gadis itu mengangkat kepala dari bukunya. "Namamu. Please?"

Masih dengan alis berkerut, aku menyahut, "Joseph Carson."

Dia menulis di bukunya, kemudian bertanya lagi, "Kau kenal Michael Ahn?"

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang