III.1

380 129 4
                                    

SMA Gateaway masih membicarakan kematian Michael dan Sean hingga beberapa hari setelah kejadian naas tesebut. Di grup obrolan, topik mengenai apa penyebab Michael akhirnya membunuh Sean masih menjadi perbincangan hangat. Lucunya, ada yang berteori sekolah kami sedang terkena kutukan. Murid kelas sepuluh itu mengaitkannya dengan tiga kasus kematian lain yang baru-baru ini terjadi di sekolah kami. Meskipun, sebenarnya, dari tiga kasus itu hanya Gemma yang mati. Sementara dua kasus lainnya, satu orang merupakan pelaku dan yang satunya merupakan keluarga korban.

"Tiga kasus yang dibicarakan Lacey itu maksudnya kasus Gemma, Ryan, dan Hayden?" Cassie mengangkat kepala dari ponsel, menatapku dengan pandangan bertanya. Dia mengikuti klub yang sama denganku, sehingga secara otomatis juga berada di grup obrolan yang sama. Berbeda denganku yang hanya membaca obrolan di grup itu sesekali, Cassie memantau setiap hal yang mereka bicarakan. Baginya, grup obrolan kami tak ubahnya sumber gosip yang menyenangkan untuk diikuti, tanpa harus terlibat secara aktif di dalamnya.

"Kurasa begitu," jawabku, meneguk habis minuman di gelasku. Setelah menyelesaikan pekerjaan, Cassie mengajakku makan siang di restoran burger yang menawarkan diskon separuh harga untuk pembelian kedua. Gadis itu memang pecinta diskon. "Memangnya kasus yang mana lagi?"

Sebetulnya, wajar saja kalau ketiga kasus tersebut cukup menggemparkan sekolah kami. Tidak, tak hanya SMA Gateaway, tapi juga seantero kota. Kasus bunuh diri Gemma Brown mencatat sejarah sebagai kasus ketiga dalam sepuluh tahun terakhir. Fakta itu saja sudah menunjukkan betapa jarang kasus bunuh diri terjadi di sini. Walaupun, tidak ada penyelidikan lebih lanjut mengenai apa yang memicu gadis itu untuk melompat dari atap sekolah. Gemma tidak menuliskan penyebabnya dalam catatan bunuh diri yang dia tinggalkan dalam tasnya, dan sepertinya juga tidak ada yang penasaran akan hal itu. Baik SMA Gateaway maupun teman-teman Gemma menerima kematiannya dengan sangat baik. Mereka membicarakannya selama seminggu penuh kemudian melanjutkan hidup seperti biasa.

Seolah Gemma tidak pernah ada.

"Jika Ryan West bisa membunuh orang, kenapa Michael Ahn tidak bisa?" Cassie membacakan salah satu pesan di grup obrolan. Hingga hari ini memang masih banyak yang tidak percaya kalau Michael membunuh Sean. Tapi kudengar rekaman kamera pengawas di tempat kejadian menunjukkan secara terang-terangan kalau memang dia pelakunya. Cassie meletakkan ponsel dan menghabiskan sisa soda di gelasnya dalam sekali teguk. "Langsung hening begitu ada yang menyebut nama Ryan," katanya, memutar bola mata.

"Tidak semua orang suka membicarakan Ryan," tukasku. "Lagi pula, tidak adil untuk membandingkan Ryan dan Michael."

Aku tidak pernah berurusan dengan Ryan. Tapi seluruh murid sekolah kami tahu kalau Ryan West bukan tipe yang dapat kau usik--sangat bertolak belakang dengan Michael Ahn. Ryan adalah murid pendiam serta penyendiri yang kerap menebarkan aura suram ke mana pun dia pergi. Bahkan geng Sean--yang tidak takut pada siapa pun--tahu sebaiknya tidak mencari masalah dengannya. Namun, terlepas dari karakternya yang menakutkan bagi sebagian besar orang, Ryan sendiri tidak pernah membuat masalah di sekolah. Dia tidak pernah mengganggu siapa-siapa. Dia tidak pernah merundung seorang pun. Dia menjalani hari-harinya di sekolah dengan tenang, tanpa memedulikan siapa pun.

Kemudian, pada suatu hari Ryan West diamankan oleh pihak berwajib atas aksi penikaman yang berujung pada kematian korbannya.

Peristiwa itu bahkan lebih menggemparkan lagi daripada kasus Gemma. Tidak ada seorang pun yang percaya kalau Ryan membunuh orang. Tapi, buktinya tak dapat dibantah dan ada banyak saksi mata yang menyaksikan dia menikam korban berulang-ulang hingga korban tewas di tempat. Setelah dilakukan penyelidikan, terungkap bahwa korban merupakan wanita yang menjalin hubungan gelap dengan kakak ipar Ryan. Jadi diduga motifnya merupakan dendam karena korban telah menghancurkan pernikahan saudari Ryan.

Cassie tergelak. "Memang. Mereka berdua itu bagai bumi dan langit," akunya. "Aku sendiri lebih suka tipe seperti Ryan."

"Maksudmu, tipe yang dijauhi semua orang?"

"Bukan." Dia mengibas tangan dengan gerakan tak sabaran. Kukira dia akan menjelaskan, tapi dia hanya menggeleng sambil mengeluarkan desahan panjang. "Ah, sudahlah. Kau tak akan mengerti."

Kendati bersahabat, harus kuakui kalau ada beberapa hal tentang Cassie yang tidak akan pernah dapat kupahami. Seleranya soal pria adalah salah satunya. Cassie cenderung mengagumi para badboy. Dia selalu bilang mereka itu keren. Untung saja dia tidak berakhir naksir Sean. Aku pernah menyinggung hal itu sekali. Begitu mendengarnya, Cassie langsung membuat ekspresi jijik yang dibuat-buat. Kau bercanda? Sean bukan badboy. Dia itu cuma bajingan yang suka bergaya sok keren. Itulah pendapat Cassie tentang Sean.

"Sayang sekali Ryan harus menghabiskan seumur hidupnya di balik jeruji besi," Cassie kembali membacakan komentar di grup obrolan. "Dia pernah bilang padaku ingin pergi ke Metropolitan untuk menjadi sutradara. Kini dia tidak akan pernah meraih impiannya."

Bahkan tanpa membacanya pun, aku sudah tahu siapa yang berkomentar. Itu pasti Jack. Senior kami itu satu-satunya orang yang bisa mengobrol dengan Ryan. Mereka tergabung di klub film pendek--satu dari beberapa klub yang diikuti oleh Jack. Kemunculan Jack di grup obrolan langsung menarik perhatianku. Terutama karena dia berkomentar soal Ryan. Sejak Ryan ditetapkan sebagai pelaku, dia tidak mau membahas Ryan sama sekali. Entahlah karena apa.

"Hingga sekarang, aku masih berpikir kalau ada seseorang yang mendorongnya melakukan aksi keji seperti itu. Ryan mungkin bukan orang yang suka bersosialisasi atau apa. Tapi yang jelas dia bukan seseorang yang akan membunuh tanpa berkedip. Ryan West yang kutahu bukan sosok seperti itu."

Membunuh tanpa berkedip. Kalimat itu ramai menghiasi berbagai media pemberitaan selama berminggu-minggu setelah aksi pembunuhan yang dilakukan Ryan. Menurut keterangan saksi yang berada di TKP saat kejadian, Ryan memang membunuh korbannya dengan tenang. Dia tidak melakukannya disertai amarah yang berapi-api atau semacamnya. Dia melakukannya seolah-olah menusuk orang merupakan hal yang biasa-biasa saja. Seakan itu bukan kali pertama dia melakukannya.

Baik menikam ataupun menembak, bagiku keduanya sama-sama bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Kecuali, mungkin, kalau kau benar-benar membenci seseorang setengah mati. Aku sangat paham Ryan mungkin sangat membenci sosok yang sudah menghancurkan kebahagiaan saudarinya. Tapi kenapa sampai harus mengorbankan masa depannya sendiri? Aku yakin saudarinya juga takkan menginginkan itu. Bagaimanapun, Ryan sudah menginjak tahun seniornya di SMA. Hanya beberapa bulan lagi dan dia akan bisa meninggalkan kota kecil ini. Jadi kenapa dia sampai memutuskan untuk membuang kesempatannya?

"Mungkin kau saja yang tidak terlalu mengenalnya," tukas Darcy di grup. Gadis itu memang dikenal kerap berbicara blakblakan tanpa memedulikan perasaan orang yang mendengarnya. "Faktanya, Ryan West adalah pembunuh."

The MessengerOnde histórias criam vida. Descubra agora