XIV.1

211 109 6
                                    

"Apa kau mengatakan itu ke semua orang?"

Sambil menyeruput milkshake-nya, Scar mengangkat sebelah alis. "Apa maksudmu?" tanyanya, meletakkan gelas di atas meja. Entah sejak kapan, tahu-tahu Scar sudah menjadi teman makanku sehari-hari, menggantikan Cassie.

"Yang kau katakan pada Liam kemarin. Tentang pekerjaan paruh waktumu."

Matanya mengerjap. "Oh, itu. Aku tidak berbohong, kok," tukasnya, mengedikkan bahu. Hari ini rambutnya tergerai lepas dan sedikit berantakan seperti tidak disisir. Dalam hal itu, dia mirip seperti Cassie, dalam artian sama-sama tidak memedulikan soal penampilan. Aku menyadari kalau dia juga tidak mengenakan riasan. Sangat berbeda dari para siswi di sekolah kami yang sebagian besar gemar mengenakan riasan tebal. "Aku memang pernah bekerja paruh waktu di perusahaan asuransi. Tepatnya, saat musim panas tahun lalu."

Aku menyeringai. "Yang benar saja. Itu tidak menjadikan seluruh cerita sebagai kebenaran."

Bibirnya menyunggingkan seulas senyum miring. Ini pertama kali aku melihatnya tersenyum begitu, dan sejujurnya, wajahnya tampak sangat memikat saat dia tersenyum seperti itu.

"Memang. Tapi siapa yang peduli? Entah cerita benar atau bohong, tidak ada bedanya untuk Liam, kan? Dia tidak mendapat keuntungan atau kerugian apa pun dari ceritaku. Jadi di mana masalahnya? Dan untuk menjawab pertanyaanmu, tidak. Aku mengarang cerita yang berbeda-beda, tergantung dengan siapa aku berbicara."

"Termasuk saat berbicara denganku?"

Alih-alih menjawab, Scar menelengkan kepala. "Coba kupikir-pikir," ujarnya, mengerutkan kening, seakan tengah berpikir keras. "Sepertinya aku belum pernah membohongimu, sih."

Aku mendenguskan tawa kecil. Ada sesuatu pada Scar yang selalu membuatku merasa lebih santai, hanya saja aku tidak tahu apa itu. "Jadi, apa pendapatmu soal Liam?" tanyaku.

Scar mengaduk-aduk sedotan dalam gelas milkshake. "Jika kita menganggap dia tidak berbohong, kurasa kecil kemungkinannya dia Pembawa Pesan. Dia bilang itu tidak layak. Pernyataan itu berlawanan dengan prinsip Pembawa Pesan yang justru menganggap itu layak dilakukan demi kepentingan orang banyak."

"Itu, jika dia tidak berbohong. Bisa saja dia curiga kalau kita sedang mencari Pembawa Pesan."

"Seharusnya tidak. Aku cenderung berpikir Pembawa Pesan menganggap posisinya sangat aman. Dia pasti sangat percaya diri dan menganggap tidak ada seorang pun yang tahu soal dia. Michael sudah mati dan Ian tidak menyimpan suratnya. Bahkan kalaupun Ian membuka mulut, siapa yang akan memercayainya? Bahkan kau juga tidak akan percaya seandainya aku tidak menunjukkan surat-surat itu, kan?"

Memang. Jika tadinya hanya mengandalkan pernyataan Ian Davis, aku hanya akan menganggapnya mengada-ada. Saat melakukan sesuatu yang buruk, akan jauh lebih mudah menimpakan kesalahan pada pihak lain, baik itu orang lain ataupun lingkungan.

Aku menghabiskan kopi hitam di gelasku dalam sekali teguk. Kopi itu sudah dingin dan rasa pahitnya berubah menjadi cukup menyeramkan, sangat berbeda dari saat kopi itu masih hangat.

"Baiklah. Jadi sekarang kita akan mencoba menyelidiki 'kandidat' selanjutnya?" tanyaku.

Scar melirik buku catatan yang terbuka di atas meja. "Biar kutebak. Kau pasti juga tidak tahu apa pun soal Tom Hudson," ujarnya, dan pipiku langsung menghangat. Wajahku yang memerah pasti terlihat jelas, sebab gadis itu buru-buru melanjutkan, "Aku bukan bermaksud membuatmu merasa buruk. Tidak ada yang salah tentang itu, kok. Hanya karena satu sekolah, bukan berarti kau harus tahu segalanya tentang teman-teman sekolahmu. Manusia hanya mencari tahu hal-hal yang mereka sukai. Kurasa itu juga berlaku untuk hubungan antar-manusia. Paling tidak, aku juga begitu."

Saat dia mengatakannya, aku baru sadar kalau Scar tidak pernah menceritakan apa-apa soal kehidupannya. Dia hanya pernah membahasnya sekali, saat kami makan siang di atap sekolah kemarin. Tapi hanya itu. Dia tidak pernah membahas soal teman-temannya. Atau soal kehidupan sosialnya di ibu kota. Aku jadi bertanya-tanya, seperti apa hidup yang dia jalani di ibu kota? Dia memang tidak terlihat seperti orang yang dapat dirundung, tapi dia juga tidak terlihat seperti orang yang memiliki banyak teman.

Aku menatapnya. "Ini berbeda dari topik yang sedang kita bahas, tapi seperti apa rasanya hidup di ibu kota? Apakah di sana benar-benar menyenangkan seperti cerita yang banyak beredar?"

Sambil menopang dagunya dengan sebelah tangan, Scar balas menatapku. "Menyenangkan atau tidak, itu relatif, kan? Tergantung apa yang kau cari di sana. Tidak ada tempat yang benar-benar indah, Joseph. Sesuatu yang terdengar bagus terkadang cenderung dilebih-lebihkan."

"Kudengar ada banyak kesempatan emas di sana."

"Kesempatan? Memang, sih. Tapi lebih banyak kesempatan bukan berarti lebih mudah. Persaingannya juga lebih ketat. Dan kau tak pernah tahu apa saja yang rela dilakukan seseorang demi memperoleh sesuatu. Mereka bahkan rela menjatuhkan orang lain dengan segala cara--yang tak dapat kau bayangkan, hanya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan." Nada bicaranya pahit, jadi kurasa dia berbicara dari pengalaman.

"Sepertinya kau pernah mengalaminya."

Gadis itu mengedikkan bahu. "Bukan hal yang membanggakan untuk diceritakan. Kenapa memangnya? Kau kepingin pergi ke Metropolitan?"

Aku mengangguk. "Itu impianku dan Cassie. Dia ingin menjadi desainer, sedangkan aku ingin menjadi musisi."

"Desainer dan musisi. Impian yang ambisius." Dia mengalihkan pandangan ke jendela di sebelah kami, menatap ke luar dengan tatapan menerawang. "Mike selalu mengatakan dia ingin bergabung dengan studio animasi di ibu kota. Kau masih ingat film animasi yang sempat populer waktu kita kecil?" tanyanya, menyebutkan sebuah judul film animasi. 'Sempat populer' merupakan istilah yang kurang tepat. Film tersebut, yang menceritakan petualangan seorang bocah laki-laki mencari anjingnya yang hilang, sangat populer.

"Ya, aku ingat film itu. Salah satu yang terbaik."

"Setelah menontonnya, Mike membicarakan film itu selama berhari-hari. Dia bilang suatu hari nanti dia ingin menjadi animator yang membuat film-film menakjubkan seperti itu. Kau tahu, jenis film yang menginspirasi orang-orang yang menontonnya untuk bermimpi setinggi mungkin. Itu impian terbesar Mike." Sekilas, mata hazel-nya tampak berkaca-kaca. "Tapi kini dia takkan pernah meraih impiannya."

Kalau dipikir-pikir, ada banyak sekali impian yang terkubur hanya karena perbuatan orang-orang yang tak bertanggung jawab seperti Sean, Ian, termasuk si Pembawa Pesan. Meskipun, aku tak yakin siapa sebenarnya yang patut disalahkan. Apakah Mike, yang tidak sanggup bertahan? Atau Sean dan para perundung lainnya yang tidak tahu kapan saatnya berhenti menjadi bajingan? Atau bahkan Pembawa Pesan, yang memanfaatkan kemarahan terpendam orang-orang seperti Mike dan Ian? Siapa pun yang sebenarnya patut disalahkan, pada akhirnya orang yang paling menderita justru adalah korban dan orang-orang lainnya yang tidak bersalah.

Contohnya Cassie.

Scar mengerjapkan mata, kemudian menghela napas. "Sepertinya kita sudah melenceng terlalu jauh dari topik awal." Dia mengembalikan perhatian pada buku catatan di atas meja. "Sekarang... apa saja yang kau tahu mengenai Tom?"

"Memang tidak banyak sih," aku mengakui. Aku meraih ponsel, membuka halaman situs sekolah, kemudian memperlihatkan foto Tom yang terpampang di halaman profilnya. "Ini Tom. Dari melihatnya saja, kurasa kau sudah dapat menebak alasan terbesar kenapa dia kerap dijadikan target."



The MessengerWhere stories live. Discover now