X.1

236 114 1
                                    

Aku dan Scar memutuskan untuk bertemu keesokan harinya di restoran burger dekat sekolah. Entah sejak kapan, tempat nongkrong favoritku dan Cassie tersebut kini juga menjadi lokasi favorit kami untuk berdiskusi. Tentu saja alasannya lantaran tidak ada murid SMA Gateaway yang mengunjunginya selain kami.

Yah, aku hanya tidak menyangka akan mengunjungi tempat ini dengan orang lain. Dan kalau boleh jujur, rasanya sedikit aneh melihat gadis yang duduk di hadapanku merupakan si anak baru, bukannya Cassie.

Kemarin, Ian Davis menceritakan beberapa hal tambahan, misalnya isi surat yang dikirim Pembawa Pesan. Dia memang tidak mengingat seluruh detailnya, tapi garis besarnya iya. Sama halnya seperti surat yang dikirim untuk Michael Ahn, Pembawa Pesan juga menyebutkan beberapa kasus perundungan yang dialami Ian dalam suratnya. Sebagai contoh, ketika Ian dimintai uang oleh Richard--murid senior kelas 12 yang juga menjadi salah satu korban penembakan. Peristiwa itu cukup menghebohkan lantaran setelahnya Richard menyodorkan sekotak susu basi pada Ian dan menyuruh pemuda itu meminumnya. Hanya seperti itu.

Tanpa paksaan. Tanpa kekerasan fisik.

Sejak hari itu, cara yang digunakan Richard menjadi populer dan kerap digunakan oleh para bajingan SMA Gateaway. Tak perlu repot-repot menyiramkannya, cukup menyodorkannya kepada orang yang ditargetkan. Seakan-akan itu adalah hadiah. Dan para korban tidak pernah dapat menolak sebab mereka tahu apa yang akan menunggu mereka sepulang sekolah jika mereka menolak. Bagaimanapun, pihak sekolah tidak menyediakan perlindungan setelah jam sekolah berakhir.

Lantas, dari mana aku tahu kalau susu yang diminum Ian sudah basi?

Sebab keesokan harinya dia tidak masuk sekolah lantaran diare. Tidak perlu sekelas dengannya untuk tahu. Ada beberapa murid kelas 10 yang dengan senang hati membagikan kabar itu di grup obrolan.

Peristiwa lain yang disebutkan Pembawa Pesan dalam suratnya kepada Ian yaitu ejekan yang seringkali diterima Ian akibat tubuhnya yang terlalu kurus. Ian Davis memang dikenal memiliki eating disorder. Fakta semacam itu, tentu saja, tak mungkin dilewatkan begitu saja oleh para bajingan SMA Gateaway.

"Ini," ujar Scar, menggarisbawahi salah satu kalimat di buku catatannya, "seharusnya hanya kalian yang tahu, kan?"

Kemarin malam, rupanya gadis itu langsung mencatat semua informasi yang diperolehnya dari Ian. Harus kuakui, Scar memiliki ingatan yang bagus. Aku hanya mengingat sembilan puluh persen dari pembicaraan kami, tapi dia mengingat semuanya. Tulisannya juga rapi, tidak seperti Cassie yang tulisannya menyerupai cakar ayam.

Aku sering menertawakan tulisan Cassie yang jelek dan sulit dibaca. Anehnya, dia sendiri tidak pernah kesulitan membaca catatannya. Tapi guru-guru sekolah kami iya. Makanya Cassie sering mengetik PR-nya, terutama PR yang mengharuskan kami merangkum isi satu bab tertentu dari buku teks. Dia tidak mau mengambil risiko mendapatkan nilai C hanya karena guru kami tidak dapat membaca tulisannya.

Mataku memicing, membaca kalimat yang digarisbawahi Scar, tapi layar ponselku tiba-tiba menyala, dan perhatianku pun teralihkan. Itu panggilan telepon dari kurir yang mengantarkan barang pesananku. Aku bergegas menjawabnya.

"Tolong letakkan saja paketnya di teras rumah," kataku.

"Kau membeli sesuatu?" tanya Scar. Nada bicaranya, harus kuakui, terdengar sangat kasual. Menakjubkan. Hanya dalam waktu beberapa hari, tiba-tiba kami sudah menjadi teman.

"Keyboard eksternal. Buat temanku. Tapi, aku tidak yakin kapan dia bisa menggunakannya."

"Oh." Sorot memaklumi berkelebat di mata hazel Scar. "Temanmu yang di rumah sakit itu?"

Aku mengangguk sambil meneguk minumanku. Sesungguhnya, aku tak mengerti untuk apa aku mengatakan semua ini padanya. Namun, anehnya, bercerita padanya terasa nyaman. Hampir-hampir sama nyamannya seperti mengobrol dengan Cassie.

"Kalian berpacaran?" tanya Scar lagi, dan kali ini aku nyaris tersedak minumanku. Gadis itu tertawa ketika melihatku terbatuk-batuk. "Hubungan kalian terlalu dekat untuk hanya disebut teman biasa."

Aku menyayangi Cassie, tapi berpacaran dengannya merupakan sesuatu yang mustahil. Kami sudah terlalu dekat, hampir-hampir seperti saudara, hingga ide memiliki hubungan romantis dengannya bahkan terdengar sangat janggal. Meskipun, aku yakin kalau banyak murid lain yang juga mengira kalau aku dan Cassie menjalin hubungan. Memang seperti itulah dilema yang muncul ketika pria dan wanita bersahabat.

"Kami sudah saling mengenal sejak kecil," jelasku.

Mata Scar yang menemui tatapanku jelas-jelas meragukan pernyataanku barusan. "Lantas? Sudah saling mengenal sejak kecil bukan berarti kalian tidak berpacaran. Aku tidak percaya kalau laki-laki dan perempuan bisa murni hanya bersahabat."

Aku sudah sering mendengar omong kosong semacam itu. Barangkali itu benar untuk sebagian besar orang, tapi tidak demikian halnya dengan aku dan Cassie. Aku membalas tatapan Scar. "Terserah saja kau mau percaya atau tidak, tapi itulah faktanya."

Alih-alih menyahutiku, Scar hanya mengedikkan bahu kemudian mengembalikan perhatiannya ke buku catatan yang masih terbuka di atas meja. Dia menambahkan beberapa tulisan di sana, lalu menyodorkannya ke arahku. "Well, apa pendapatmu tentang ini?" Untunglah dia tidak berniat melanjutkan obrolan tentang hubunganku dan Cassie.

The MessengerWhere stories live. Discover now