XIX.1

204 107 8
                                    

Rasanya seperti menghadapi jalan buntu.

Di satu sisi, kami mendapatkan informasi baru yang berharga. Korban Pembawa Pesan ternyata bukan hanya Mike dan Ian. Namun, di sisi lain, informasi itu juga tidak membawa kami ke mana-mana. Malah bisa jadi menghapuskan kemungkinan tiga kandidat kami sebagai Pembawa Pesan.

Scar mengetuk-ngetukkan jemari di meja. Kami baru saja selesai makan siang di kafetaria sekolah. "Seseorang yang terhubung dengan semuanya. Dia membenci Gemma, Sean, dan para senior yang ditembak Ian," gumamnya. "Itu berarti dia perempuan, tapi kalau dia perempuan seharusnya dia tidak pernah berurusan dengan Sean. Dan sebaliknya."

"Bagaimana jika kita mengubah cara pandang kita?" usulku, dan mata hazel-nya sontak menemui tatapanku. "Bagaimana jika, misalnya, Pembawa Pesan adalah perempuan. Dia salah satu korban perundungan Gemma, dan dia memiliki teman yang menjadi korban perundungan Sean. Kalau begitu, semuanya masih sesuai dengan teori kita, kan?"

Scar mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Keningnya berkerut penuh pemikiran. "Jadi maksudmu, dia sekaligus membalaskan dendam temannya? Kalau begitu, bisa juga dia laki-laki yang membalaskan dendam temannya yang dirundung Gemma."

"Ah." Aku mengangguk. "Kau benar juga."

Scar mengembalikan perhatian ke buku catatan yang terbuka di atas meja. "Sekarang... apakah tiga kandidat kita memiliki teman perempuan? Atau, barangkali seseorang yang mereka sukai? Bisa saja mereka benci melihat orang yang mereka suka mendapat kesulitan akibat ulah Gemma."

Aku berpikir sejenak. "Untuk teman perempuan, setahuku tidak ada. Mereka bertiga hampir selalu sendirian. Tapi kalau seseorang yang disukai, tentu saja aku tidak tahu."

Scar menghela napas. "Dan kalaupun kita bertanya pada mereka, mustahil mereka bersedia memberitahu kita."

"Benar. Itu topik yang terlalu personal."

"Kita harus mencari cara lain." Scar menutup buku catatan, memasukkannya ke dalam ransel, kemudian berdiri. "Kita harus mencari petunjuk lebih banyak tentang Pembawa Pesan."

Aku ikut berdiri. "Apa maksudmu?"

"Surat-surat yang dia kirim ke Gemma. Kita harus mencarinya." Dia menoleh ke sekeliling, kemudian menemui tatapanku. "Loker. Aku yakin surat-surat itu masih ada di lokernya."

Mataku mengerjap. "Maksudmu, kau ingin memeriksa lokernya? Tapi--"

"Ada banyak mata yang memantau, aku tahu," potongnya, tidak sabar. "Makanya kita akan kembali ke sini nanti malam. Jam sembilan. Bagaimana?"

Aku mengiakan, meski itu berarti lagi-lagi aku harus mengarang kebohongan lainnya untuk Ayah. Sebenarnya, aku bisa saja membiarkan Scar memeriksanya sendiri. Namun, pertama, aku merasa perlu mendampinginya. Kedua, aku juga penasaran apakah selama ini seluruh surat itu memang masih berada dalam loker Gemma. Loker Gemma--seperti halnya loker Ryan, Mike, serta Ian--memang masih dibiarkan apa adanya. Anggota keluarga dipersilakan datang untuk mengosongkan loker mereka, tapi setahuku tidak ada anggota keluarga Gemma yang pernah datang untuk melakukannya. Fakta bahwa putri mereka bunuh diri sudah cukup memalukan, jadi aku rasa mereka tidak akan mau repot-repot datang.

Di Gateaway City, kasus bunuh diri memang dianggap sebagai aib sekaligus hal yang mencoreng nama baik keluarga. Tidak lebih buruk daripada menjadi pelaku pembunuhan. Umumnya, keluarga yang ditinggalkan cenderung lebih fokus pada dampak yang ditimbulkan terhadap 'wajah' mereka, sebab bunuh diri dianggap sebagai peristiwa yang memalukan. Oleh sebab itulah, masyarakat gagal menelusuri penyebabnya yang utama. Kenapa mereka bunuh diri? Sebenarnya, itulah pertanyaan yang paling penting.

Sorenya, aku pergi mengunjungi Cassie. Aku sengaja pergi lebih cepat beberapa jam lantaran jam sembilan akan kembali lagi ke sekolah untuk memeriksa loker Gemma. Kondisi sahabatku itu masih sama saja seperti kemarin. Tidak lebih baik. Tidak lebih buruk. Kuharap itu kabar bagus. Selama kondisinya tidak memburuk, bukankah itu berarti masih ada harapan?

Harapan. Bersama dengan mantra kami--demi masa depan yang lebih baik--satu kata itulah yang kerap menjadi 'bahan bakar' Cassie untuk bertahan selama ini. Hanya aku yang tahu betapa keras dia sudah berjuang untuk bertahan. Bahkan untuk tetap waras saja sudah sangat sulit. Mayoritas penduduk Gateaway City memang berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah, tapi kehidupan Cassie benar-benar satu dari beberapa jenis yang paling buruk.

Tidak hanya miskin, dia juga tidak memiliki ibu, dan ayahnya yang mantan kriminal hanyalah seorang pengangguran. Sejak kecil, bahkan sewaktu ibunya masih bersama mereka, Cassie tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua. Hari-harinya diisi dengan pertengkaran kedua orangtuanya. Masalah utamanya, tentu saja uang. Di kota kami, masalah keuangan menjadi penyebab terbesar perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, serta pembunuhan.

Yah, aku yakin itu juga masalah utama di negara-negara lain.

Aku tidak tahu bagaimana rasanya berada di keluarga yang kondisinya seperti itu. Dan aku juga tidak tahu bagaimana cara Cassie bertahan selama ini.

Namun, begitulah. Dengan hebatnya, dia bertahan.

Cassie tetap waras. Dia tidak berubah menjadi bajingan yang dibenci seisi kota seperti Sean. Dia tidak berubah menjadi bajingan seperti Gemma. Dia tidak dipenuhi oleh kebencian seperti Ian Davis. Dia tetap menjadi Cassie, gadis yang bermimpi untuk meninggalkan kota ini dan menggapai hidup yang lebih baik di ibu kota.

Itulah Cassie. Dan aku bangga padanya.

Aku menatap Cassie yang terbaring di ranjang rumah sakit. Aku tidak tahu lagi sudah berapa hari berlalu sejak terakhir kali aku mendengar suaranya, dan dari hari ke hari aku semakin merindukan suaranya. Aku juga merindukan senyumnya. Segalanya. Aku ingin melihat Cassie yang baik-baik saja, bukan Cassie yang seperti ini.

"Kapan kau akan bangun, Cassie?" bisikku.

Aku pernah membaca entah di mana, kita perlu terus-menerus mengajak berbicara orang yang berada dalam keadaan koma. Menurut artikel itu, mereka sebenarnya tetap mendengarkan kita meski tidak sadarkan diri. Aku ragu itu benar. Jika memang itu benar, kenapa dia tak kunjung bangun? Dia pasti mendengarku yang memintanya untuk bangun setiap hari.

"Apa kau hanya sedang mempermainkanku? Apakah ini caramu untuk membalas dendam padaku karena sering mengatai suaramu berisik?" bisikku lagi. Tawa frustrasi terlepas dari mulutku. "Ini benar-benar tidak lucu. Oke, aku memang pernah beberapa kali mengatakan suaramu berisik. Tapi aku hanya bercanda, dan kau tahu itu. Aku berjanji, kalau kau bangun, aku tak akan mengejek suaramu lagi. Jadi, please, bangunlah."

Tetap tidak ada respons. Sama seperti kemarin-kemarin.

"Aku akan menemukan orang yang membuatmu menjadi seperti ini. Aku berjanji," kataku pelan. "Makanya kau harus bangun. Kau mengerti? Kau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri siapa orang yang mencelakaimu."

Aku meninggalkan kamar Cassie dan menyusuri koridor rumah sakit dengan kepala tertunduk. Kalau boleh jujur, hari demi hari aku semakin takut. Aku takut pada akhirnya akan kehilangan dia. Aku takut dia takkan pernah membuka matanya lagi. Setiap kali rasa takut itu muncul, setiap kali itu juga aku akan mengatakan pada diriku sendiri kalau Cassie akan bangun. Dia juga pasti tak rela pergi begitu saja, sebelum mencicipi kehidupan yang dia impikan.

Namun, ketakutan itu tetap ada.

Dan aku tak tahu bagaimana melenyapkannya.

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang