IX.1

245 111 0
                                    

Uang berkuasa.

Itu pepatah lama yang terbukti masih berlaku kebenarannya hingga kini. Terutama di Gateaway City yang sangat mengutamakan orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Menurut peraturan yang berlaku, tersangka pelaku kriminal berusia di bawah 21 tahun akan ditempatkan di Pusat Rehabilitasi Remaja sementara menunggu hasil persidangan. Jika nantinya divonis bersalah, mereka akan dimasukkan ke penjara remaja. Sedangkan jika terbukti tidak bersalah, mereka akan dipulangkan ke rumah.

Sesuai namanya, Pusat Rehabilitasi Remaja merupakan tempat untuk mendidik para remaja berkelakuan buruk. Di sana mereka harus mengikuti semacam seminar pengembangan diri setiap hari, dengan harapan dapat mengubah pola pikir mereka ke arah yang benar. Mereka juga diajari berbagai macam keterampilan agar dapat menemukan passion mereka.

Seharusnya Ian Davis berada di sana.

Namun, karena dia berasal dari salah satu keluarga paling kaya di Gateaway City, tentu saja dia mendapatkan perlakuan yang berbeda. Alih-alih berada di Pusat Rehabilitasi Remaja, pemuda itu malah tetap berada di rumah dengan penjagaan ala kadarnya. Aku hanya menyebutkan kalau kami teman sekolahnya, lalu pria berkumis tebal dengan seragam di pintu gerbang langsung memperbolehkanku dan Scar masuk tanpa bertanya apa-apa lagi. Berani taruhan, pria itu bukan dari pihak berwajib, sebab jika iya, aku yakin kami takkan diizinkan masuk begitu saja.

Begitu di dalam, kami disambut oleh seorang pria kurus yang meminta kami mengikutinya. Rumah Ian Davis, di luar dugaan, tidak semewah yang kubayangkan. Setahuku, orangtuanya memiliki bisnis di bidang perdagangan, dan cukup sukses, mengingat Ian dikenal sebagai bocah kaya yang harta keluarganya cukup untuk membiayai lima keturunan. Tapi rumah yang kami masuki ini tidak memiliki terlalu banyak barang ataupun pajangan megah. Tidak ada vas keramik mahal, patung-patung besar, atau lampu kristal seperti yang biasa kulihat di film-film. Perabotannya terlihat biasa-biasa saja, bahkan termasuk minimalis.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan alamatnya?" bisik Scar ketika kami diantar menyusuri koridor panjang. Ada beberapa pintu kamar di sepanjang koridor, tapi semuanya tertutup rapat.

Aku mengedikkan bahu. "Alamat kita semua dapat diakses di situs sekolah."

"Apa?" Sebelah alis Scar langsung terangkat tinggi. "Bukannya itu namanya melanggar privasi?"

"Entahlah. Kalau kau keberatan, kau bisa memberikan alamat palsu. Pihak sekolah tidak pernah memeriksa."

Dia tidak menyahut lagi. Barangkali lantaran pria yang mengantar kami berhenti di depan sebuah kamar. Dia mengetok pintu, membukanya, kemudian bergeser agar kami dapat masuk. Aku melangkah duluan, Scar di belakangku. Begitu berada di dalam, pintu menutup di balik punggung kami, dan kami pun berhadap-hadapan dengan Ian Davis--sosok yang beberapa hari lalu baru saja menembak mati teman-teman sekolahnya sendiri.

Pemuda itu tengah duduk di atas tempat tidurnya, bersandar pada kepala ranjang, dengan buku tergeletak di pangkuannya. Aku menyadari kalau tidak ada TV, ponsel, ataupun komputer di ruangan ini. Mungkin itu disengaja. Namun, hal yang paling menyita perhatianku adalah ekspresi wajahnya yang masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya pada hari penembakan itu. Penuh kepuasan, seakan baru saja melakukan tindakan heroik.

Terlepas dari penampilannya yang tampak kurus dan lemah, dia adalah seorang pembunuh. Namun anehnya, aku tidak takut kepadanya. Kalau boleh jujur, dorongan pertama yang timbul malah menghajarnya. Melihatnya baik-baik saja di sini sementara Cassie dan yang lainnya meregang nyawa benar-benar mendidihkan emosiku, sampai-sampai aku mengabaikan kemungkinan kalau dia bisa saja menyimpan pistol di bawah bantalnya dan dapat membunuh kami sewaktu-waktu. Aku benar-benar ingin memukulnya habis-habisan hingga dia babak belur. Aku ingin dia merasakan sakit yang sama, seperti yang dirasakan Cassie. Tidak, tak hanya itu. Aku bahkan ingin dia mati saja. Dia tak pantas tetap hidup setelah apa yang dia perbuat.

Tenangkan dirimu, Joseph. Tetap. Tenang.

Dengan susah payah, aku berhasil menahan diri. Pertama, bukan itu tujuanku datang ke sini. Kedua, tidak ada yang akan kuperoleh dengan membiarkan emosiku mengambil alih kendali. Itu hanya akan mengacaukan rencana kami. Apalagi, belum tentu kami akan mendapat kesempatan kedua untuk menemuinya lain kali. Dengan kata lain, barangkali inilah satu-satunya kesempatan yang kami miliki untuk mengorek informasi dari Ian Davis mengenai Pembawa Pesan.

"Siapa kalian?" tanyanya, dan aku heran karena dia tidak takut sama sekali. Padahal bisa saja kami datang untuk menganiayanya atau apa. Entah dia terlalu percaya diri dapat melawan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, atau tidak peduli sama sekali. Tidak, aku bahkan tidak mengerti kenapa keluarganya membiarkan dia ditemui tanpa penjagaan seperti ini. Pembunuh sepertinya berbahaya. Dan tidak semestinya dibiarkan begitu saja seperti ini.

"Aku Joseph," balasku, "dan ini Scar."

Ian menatap kami bergantian, kemudian tatapannya berhenti pada Scar. "Oh, kau anak baru yang ramai dibicarakan itu," katanya. Matanya kini berpaling kepadaku. "Berarti, kau juga dari SMA Gateaway. Pantas saja rasanya aku pernah melihatmu."

Fakta bahwa Ian tidak mengenalku bukan hal yang aneh. Ada beberapa orang yang memang populer lantaran kerap menjadi target utama perundungan, contohnya dia dan Mike. Ada juga orang-orang sepertiku, yang merupakan target sehari-hari tapi level perundungannya tidak terlalu berat. Umumnya kami tidak terlalu dikenal. Kurasa itu hal bagus.

Aku mengangguk. "Benar." Sangat sulit untuk berbicara dengan intonasi normal begini. Alih-alih berbicara baik-baik, sebenarnya aku sangat ingin memaki dan menyumpahinya. Aku menelan ludah beserta deretan makian yang sudah berada di ujung lidahku. "Kami datang menemuimu karena ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan."

Seringai mencemooh langsung muncul di wajah tirus Ian. "Ini semacam wawancara atau apa? Jangan-jangan, kalian berniat menyebarkan obrolan ini di media sosial agar bisa populer?"

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang