XI.1

253 112 1
                                    

Sepuluh hari setelah kepindahan Scar ke SMA Gateaway, dia membuktikan kalau kesan pertamaku sewaktu pertama kali melihatnya benar; dia bukan tipe orang yang akan diam saja jika seseorang mengusiknya. Pagi itu, aku baru saja tiba di sekolah dan hendak mengambil buku dari loker ketika mendengar suara cempreng milik Darcy. Aku menoleh dan mendapati gadis itu berdiri di depan loker Scar, sedang berusaha untuk 'berbincang' dengan si anak baru.

"Jadi, kenapa kau pindah ke sini? Ibu kota terlalu membosankan?" tanya Darcy sambil mengunyah permen karet. Sebelah tangannya memegang pintu loker Scar yang masih terbuka. Aku yakin kami semua dapat mendengar nada separuh mengintimidasi yang sengaja dia gunakan dalam nada bicaranya. Dia pasti penasaran setengah mati dengan alasan kepindahan Scar, tapi tahu ada kemungkinan Scar tidak akan memberitahunya. Makanya dia bersikap seakan dia berada pada posisi yang lebih tinggi daripada Scar.

Namun, ketika mengamati raut wajah Scar, aku langsung tahu kalau harapannya tidak akan terwujud.

Scar menunduk sedikit untuk menemui tatapan Darcy. Dia lebih tinggi setidaknya sepuluh sentimeter daripada Darcy yang memang tergolong pendek. "Bukan urusanmu," jawabnya singkat. Dia menepis tangan Darcy yang berada di atas pintu lokernya, kemudian menutup pintu lokernya hingga menimbulkan bunyi keras--sebenarnya itu bahkan boleh dibilang membanting. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia berjalan menjauhi Darcy yang terdiam dengan wajah merah padam, kemudian berhenti di depanku.

"Kau tidak pergi ke kelas?"

Gadis itu bersikap sangat tenang, seolah barusan tidak terjadi apa-apa. Atau, dia hanya tidak peduli. Mustahil dia tidak menyadari keheningan yang menggelayuti koridor. Sepertinya dia tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan, yang mana sangat wajar. Dia anak baru dan tidak ada seorang pun--termasuk aku--yang memberitahunya seberapa buruk kemarahan seorang Darcy. Tingkah laku gadis itu biasa saja, sebetulnya, selama kau tidak mencari masalah dengannya (yah, siapa yang tidak?). Tapi begitu kau membuatnya marah... sebaiknya kau bersiap-siap menjadi bahan pembicaraan seantero SMA Gateaway. Tidak hanya itu. Darcy juga akan mencari seluruh hal buruk yang dapat dia temukan tentangmu.

Paling tidak, itulah yang dulu dikatakan Cassie.

Untungnya, boleh dibilang Darcy menganggap Cassie nyaris tidak ada. Bagus bagi Cassie, sebab itu menghindarkannya dari terlibat masalah dengan Darcy.

Sayangnya, tidak demikian halnya untuk Scar si anak baru, yang sejak awal kedatangannya sudah memancing rasa penasaran seluruh murid SMA Gateaway. Barangkali karena dia dari ibu kota. Atau karena dia menggunakan barang bermerek. Apa pun itu, dia sudah menjadi target sejak awal. Aku malah heran karena dia berhasil melewati sepuluh hari di sekolah ini dengan aman.

Barangkali karena mereka pikir dia orang kaya.

Sudah menjadi rahasia umum kalau ada 'perlakuan khusus' bagi orang-orang kaya. Terkadang, mereka memang menjadi sapi perah, contohnya Ian. Tapi, bisa juga mereka mendapatkan perlakuan istimewa, dalam artian apa pun yang mereka lakukan akan selalu dibenarkan, terutama di kota kecil seperti Gateaway City. Cassie sering membicarakan itu, sampai-sampai dia membuat ungkapan 'orang kaya selalu benar'. Di sisi lain, orang-orang seperti kami sangat rentan berada di posisi yang tidak mengenakkan.

Itu jugalah salah satu alasan Cassie begitu ingin melarikan diri dari kota ini. Dia ingin berjuang di tempat yang bersedia memberi orang-orang sepertinya kesempatan, tanpa melihat latar belakangnya. Aku dapat memahami itu. Dengan status ayahnya, memang akan sulit bagi Cassie untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti orang lainnya di kota ini.

"Siapa gadis brengsek tadi?" tanya Scar selagi kami menyusuri koridor.

Aku menoleh ke belakang sekilas. Darcy masih mengamati kami--bukan hal bagus. Bisa jadi dia sedang merencanakan sesuatu di kepalanya. Mungkin rencana pembalasan dendam ala Darcy.

"Darcy. Tipe orang yang harus dijauhi supaya masa SMA-mu aman."

Scar merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebungkus permen karet. Dia mengambil sebuah, lalu menyodorkannya padaku. Ketika aku menggeleng, dia menyimpan kembali permennya setelah melempar sebuah ke dalam mulutnya. "Sudah terlambat, sepertinya," tukasnya di sela-sela mengunyah.

"Memang," aku membenarkan, dan gadis itu terbahak.

"Bukannya seharusnya kau mengucapkan sesuatu untuk membesarkan hatiku?"

"Untuk membohongimu, maksudnya?"

"Kurang lebih."

Aku mengedikkan bahu. "Tidak ada gunanya, kan? Lagi pula, aku tidak pintar berbohong. Lebih cepat kau tahu bahaya seperti apa yang mengintaimu, lebih baik."

"Masuk akal."

Hari ini aku terpaksa duduk di deretan paling depan lantaran seluruh deretan belakang sudah penuh. Scar duduk di sebelahku selama jam pelajaran berlangsung. Selama itu pula aku dapat merasakan kalau seisi kelas mengamati kami. Kendati tidak melihat secara langsung, tatapan mereka membuat punggungku seakan ditusuk-tusuk oleh puluhan jarum. Mereka pasti sangat penasaran kenapa si anak baru mengakrabkan diri denganku yang bukan siapa-siapa ini, tapi masa bodoh. Kami memiliki alasan tersendiri dan aku yakin mereka tidak akan dapat memahaminya. Mereka bahkan tidak peduli dengan nasib para korban penembakan Ian. Yang mereka pedulikan hanyalah keselamatan mereka masing-masing. Selama mereka sendiri baik-baik saja, tidak masalah jika orang lain terluka.

Atau bahkan mati.

Bel yang menandakan jam istirahat berbunyi nyaring memekakkan telinga. Aku dan Cassie sama-sama membenci bel itu. Kami berdua sepakat kalau bunyinya terlalu berisik dan seringkali mengagetkan, terutama bagi Cassie yang kerap berkonsentrasi penuh sewaktu di kelas. Aku melirik Scar di sebelahku. Berbeda dengan Cassie, gadis itu tidak tampak terganggu sama sekali dan malah membereskan bukunya dengan tenang.

Hari ini kami tidak pergi ke kafetaria lantaran membawa bekal. Tepatnya, aku berbaik hati membelikan Scar makan siang berupa bento dari supermarket ketika pergi ke sekolah tadi pagi. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah seorang gadis dari ibu kota akan menyukainya, tapi itu makanan terbaik nomor dua di kota ini setelah roti lapis. Menu bento di supermarket berbeda-beda setiap harinya, dan untuk hari ini menunya terdiri dari nasi dengan potongan katsu yang dituangi mayones. Ada juga beberapa helai selada dan tomat.

Scar mengikutiku menaiki tangga menuju atap. Area yang cukup luas tersebut tidak dilengkapi meja ataupun kursi, tapi itu bukan masalah bagi para murid yang berniat nongkrong di sana, termasuk kami. Scar langsung menghempaskan tubuh di lantai yang ditutupi debu, duduk dengan kaki bersila, bersandar di tembok beton setinggi setengah meter yang mengeliling area atap. Dia membuka kotak bento yang kuberikan dan langsung menyantap makan siangnya dengan penuh semangat.

The MessengerWhere stories live. Discover now