III.2

377 124 3
                                    

Di bagian atas ponsel muncul keterangan kalau Jack sedang mengetik. Tapi kemudian keterangan tersebut lenyap dan Jack juga. Kurasa dia juga jadi tak yakin kalau dia mengenal Ryan dengan sangat baik. Atau, dia hanya malas berdebat dengan Darcy--yang seringkali memang hanya membuang-buang waktu.

Cassie bersandar di kursinya. "Kukira akan terjadi perdebatan sengit." Kekecewaan terpancar jelas dalam nada bicaranya. "Selama ini belum pernah ada yang menang berbicara melawan Darcy. Kukira Jack akan menjadi yang pertama."

Aku mengangkat bahu, kemudian meletakkan ponsel dan beralih memeriksa beberapa lembar amplop yang harus kami antar. Bisnis berjalan sangat baik akhir-akhir ini. "Keputusan yang bijak," komentarku. Aku sendiri tidak terlalu tertarik menyaksikan perdebatan siapa-siapa. Menjalani hidupku sendiri saja sudah cukup sibuk.

Tiba-tiba Cassie menegakkan tubuh. Matanya terarah ke layar ponselnya sementara raut wajahnya berubah serius. "Mereka beralih membicarakan Hayden sekarang," katanya.

Aku turut menyimak pembicaraan di grup. Mengejutkan betapa manusia selalu memiliki bahan untuk membicarakan orang lain. Sayangnya, seringkali bukan membahas hal yang bagus. Kasus Hayden Carter terjadi kurang lebih tiga minggu yang lalu. Tapi mereka masih suka membicarakannya tanpa henti, seolah-olah peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan, menurutku, itu sangat tidak adil bagi Hayden.

Cassie, tentu saja, sependapat denganku.

Kendati sekelas, aku sendiri hanya pernah berinteraksi beberapa kali dengan Hayden. Tapi Cassie cukup dekat dengannya lantaran mereka tinggal di lingkungan yang sama. Tidak hanya itu. Mereka juga senasib, dalam artian sama-sama dibesarkan oleh sosok ayah yang tidak-seharusnya-menjadi-ayah. Bedanya, ayah Cassie hanya melakukan kekerasan verbal sedangkan ayah Hayden melakukan kekerasan verbal dan fisik. Sementara itu, ibunya sudah lama pergi--atau lebih tepatnya kabur--meninggalkan mereka berdua, sama halnya seperti ibu Cassie.

Kehidupan Hayden boleh dibilang merupakan salah satu jenis kehidupan terburuk yang bisa dijalani oleh seseorang. Boleh dibilang, dia itu paket-lengkap-kemiskinan. Ayahnya pengangguran yang suka mabuk-mabukan serta memukuli Hayden dan adik perempuannya yang baru berusia sepuluh tahun. Sedangkan, untuk biaya hidup sehari-hari, Hayden harus mengandalkan upah minimum dari pekerjaan paruh waktu serta tunjangan dari pemerintah--yang jumlahnya sangat tidak seberapa.

Itu benar-benar jenis kehidupan yang sanggup membuat siapa pun menyerah. Cassie bilang seperti neraka tak berujung.

Tapi, hebatnya, Hayden bertahan.

Aku tak tahu apa alasannya bertahan. Atau apa yang membuatnya sanggup bertahan. Menurut Cassie, adiknyalah yang menjadi sumber kekuatan Hayden. Pemuda itu sangat menyayangi adiknya dan bertekad membawa gadis cilik itu ke ibukota demi kehidupan yang lebih baik. Masalahnya, dia harus berumur paling tidak delapan belas tahun untuk mendapat izin hidup sendiri tanpa orangtua. Itu juga alasan Cassie masih 'terperangkap' bersama ayahnya.

Tiga minggu yang lalu, terjadi peristiwa yang menjadi titik balik dalam kehidupan Hayden. Ayahnya tewas setelah meminum obat tidur dengan alkohol. Hasil penyelidikan menyatakan kematian pria paruh baya itu sebagai kecelakaan biasa, dan dengan demikian babak baru dalam hidup Hayden pun dimulai. Namun, dunia ditempati oleh sekumpulan manusia yang cenderung mengevaluasi perbuatan orang lain sesuka hati mereka. Dan, itulah asal muasal munculnya gosip yang merugikan Hayden.

"Aku masih yakin kalau dia membunuh ayahnya," tulis Darcy di grup.

Aku tak yakin siapa yang pertama kali menyebarkan gosip itu. Tapi, seperti gosip pada umumnya, tidak ada yang peduli untuk mencari tahu kebenarannya. Mereka tak peduli jika Hayden benar-benar membunuh ayahnya atau tidak. Mereka hanya senang punya sesuatu untuk dibicarakan tentang orang lain. Sama halnya seperti orang-orang yang senang menonton perseteruanku dengan mendiang Sean. Bagi mereka, itu adalah hiburan yang sangat menyenangkan, apalagi karena tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun.

Di seberangku, Cassie mengepalkan tangan dengan geram. "Suatu hari nanti, aku akan merobek mulut cewek sialan itu," ujarnya berapi-api. Cassie memang selalu berpikir kalau Darcy-lah orang pertama yang mencetuskan teori itu.

"Dengar, Cassie," aku mengingatkan dia, "kita tidak boleh membuat masalah. Demi masa depan yang lebih baik. Ingat?"

Mata birunya yang mengunci tatapanku memancarkan kekesalan. Aku tahu selama ini dia sudah menahan diri dari melakukan banyak hal buruk--yang sebenarnya berhak untuk dia lakukan. Kehidupan SMA Cassie tidak bisa dibilang mulus sama sekali. Status ayahnya sebagai mantan narapidana menjadi penyebab utamanya. Itu juga penyebab Cassie tidak punya banyak teman, meski sebenarnya tidak ada hubungan antara status sang ayah dengan dia. Memangnya kenapa kalau dia anak mantan narapidana?

Yah, masalahnya, kebanyakan orang memang suka menonjolkan keburukan orang lain.

Mendiang Gemma contohnya. Dia salah satu yang kerap mengejek Cassie lantaran status sang ayah. Cassie bisa saja memberinya pelajaran. Tapi sahabatku itu menahan diri sebab dia tahu kepala sekolah tidak akan berpihak pada orang-orang seperti kami. Selain itu, dia memerlukan surat referensi dari sekolah kami untuk melamar pekerjaan serta mendaftar di universitas saat pergi ke ibukota nanti. Itulah sebabnya Cassie selalu berhasil menahan amarahnya. Demi masa depan yang lebih baik. Itu mantra yang selalu dia ucapkan setiap kali amarahnya mulai tersulut. Sejauh ini, mantra itu selalu berhasil.

Cassie mengembuskan napas keras-keras, kemudian bersandar sambil bersedekap. Itu pertanda dia kembali berhasil menahan emosinya. "Ini tidak adil bagi Hayden. Kematian ayahnya murni kecelakaan biasa yang tidak ada hubungannya dengan dia. Tapi mereka memperlakukan dia seakan-akan dialah dalangnya. Mereka menganggap Hayden pembunuh, di saat Hayden adalah korban," ocehnya.

Kecelakaan biasa yang tidak ada hubungannya dengan Hayden. Kalau boleh jujur, aku pun memiliki kecurigaan kalau Hayden memang membunuh ayahnya. Hanya saja, aku tidak berpikir begini tanpa dasar. Aku pernah melihat Hayden menjatuhkan strip obat tidur yang sama dengan obat tidur yang menjadi penyebab kematian ayahnya. Tentu saja ada banyak alasan kenapa Hayden bisa sampai memiliki obat tersebut dalam tasnya. Barangkali itu memang miliknya, dan sang ayah-lah yang meminum obat itu tanpa sepengetahuan Hayden. Bisa saja. Namun, entah kenapa aku lebih condong pada kemungkinan kalau Hayden memang terlibat dalam kematian ayahnya. Bagaimanapun, dialah yang paling diuntungkan jika ayahnya mati.

Mata biru Cassie menatapku dengan sorot menyelidik. "Joseph," katanya, "kenapa kau hanya diam? Jangan-jangan, kau juga beranggapan begitu?"

Aku berdeham, sedikit gugup karena ucapannya benar. Aku tidak tahu apa ini lantaran kami sudah cukup lama bersahabat atau apa, tapi sering kali Cassie memang dapat menebak isi kepalaku. Meskipun kami selalu saling menghargai pendapat satu sama lain, namun rasanya tidak pernah nyaman ketika dia memergokiku memiliki perbedaan pendapat dengannya. Rasanya seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang ibumu.

"Yah, paling tidak kecurigaanku ada dasarnya," ujarku, membela diri.

Setelah aku menceritakan tentang strip obat tidur yang terjatuh dari tas Hayden, Cassie memutar bola mata. Seolah aku baru saja menceritakan omong-kosong-paling-konyol-sedunia. "Hanya karena dia membawa-bawa obat tidur dalam tasnya, bukan berarti dia mencampurkan itu ke dalam minuman ayahnya," katanya.

Aku mengangkat bahu. "Yeah. Aku tahu. Makanya aku tidak mengatakan apa-apa soal itu," balasku. Sejujurnya, bahkan kalau memang benar dia membunuh ayahnya, aku tidak berhak menghakimi perbuatannya. Masalahnya, aku tahu hidup seperti apa yang dia jalani. Bukan berarti aku menyetujui aksi pembunuhan. Aku hanya merasa tidak berada pada posisi untuk menilai benar atau salahnya jalan yang dia tempuh.

Lagi pula, bukankah fakta kalau dia pembunuh atau bukan tidak ada hubungannya denganku?

The MessengerWhere stories live. Discover now