V.2

234 122 6
                                    

Mataku mengerjap. Ini benar-benar kejutan. Jadi ini rupanya yang dia tanyakan ke orang-orang? Apa yang ingin dia ketahui tentang Michael? Dan kenapa dia berkeliling menanyakan Michael Ahn? Berbagai pertanyaan berputar-putar di benakku sampai aku tidak sadar kalau aku belum menjawab pertanyaannya.

"Kau kenal dia atau tidak?" ulangnya, kali ini nadanya sedikit tidak sabaran.

"Yah, aku tahu dia, tapi kami tidak dekat."

Gadis itu menunduk, mencoret sesuatu di buku catatannya, kemudian mendongak. "Menurutmu, orang seperti apa dia?"

Sungguh pertanyaan yang membingungkan. Orang seperti apa Michael? Apa maksud dari pertanyaan itu? Aku tidak pernah benar-benar memikirkan itu, dan kami berdua juga tidak dekat sama sekali, jadi sejujurnya aku tidak tahu apa jawabannya.

Aku berdeham. Tanpa alasan yang jelas, tenggorokanku tiba-tiba terasa gatal. "Dia orang yang ... biasa-biasa saja. Entahlah. Sudah kubilang kan, kami tidak dekat."

Scar menatapku dengan sorot yang tidak dapat kutebak. "Biasa-biasa saja?" Kukira dia akan mengatakan sesuatu yang bernada sinis atau semacamnya--itu akan sangat cocok dengan raut wajahnya saat ini--tapi dia hanya mengangkat bahu, kemudian melanjutkan, "Baiklah. Apa dia pernah membuat keributan di sekolah? Atau di luar sekolah?"

"Maksudmu keributan seperti apa?"

"Kekerasan. Pencurian. Hal-hal semacam itu."

Tidak perlu dekat dengan Michael untuk menjawabnya. "Setahuku tidak. Dia termasuk murid baik-baik yang tidak pernah membuat masalah." Lebih tepatnya, dia itu nyaris dianggap seperti tidak ada.

Keningku berkerut selagi mengamati Scarlett mencatatnya dalam buku catatan. Dia tidak segan-segan menunjukkan kalau dia memang menyelidiki Michael Ahn, dan aku tidak mengerti untuk apa dia melakukan itu. Apa gunanya menyelidiki kehidupan seseorang yang sudah mati?

"Lalu, apakah ada orang yang suka mencari masalah dengannya?" Gadis itu terdiam sejenak. "Contohnya, apakah ada orang yang merundungnya?"

"Untuk apa sebenarnya kau menanyakan itu?" aku balas bertanya, nada bicaraku lebih gusar dari yang kuinginkan. Masalahnya, berbagai pertanyaannya mulai membuatku tak nyaman, dan aku tak mengerti kenapa bahkan aku harus menjawabnya.

Scar mengangkat kepala dari buku catatannya untuk menemui pandanganku. "Kau orang pertama yang menanyakan itu," sahutnya, terdengar cukup sinis di telingaku. "Jawabannya, karena aku perlu tahu orang seperti apa dia. Aku harus tahu kenapa dia berakhir sebagai pembunuh. Dan aku harus tahu kenapa dia mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara seperti itu."

Dari cara bicaranya, aku mendapat kesan dia mengenal Michael. Entahlah apa hubungan mereka dan bagaimana caranya mereka bisa saling mengenal. Yang jelas, apa yang dia lakukan ini aneh. Untuk apa bersusah-payah mencari tahu semua itu? Kami semua juga terkejut dengan tewasnya Sean serta kasus bunuh diri Michael. Namun tidak ada yang repot-repot berusaha menyelidikinya seperti ini. Tidak ada yang peduli untuk tahu apa yang sebenarnya mendasari perbuatan Michael, semata-mata karena tidak ada manfaatnya bagi kami.

Mataku memicing menatapnya. "Aku tidak tahu kenapa semua itu penting bagimu. Yang jelas, akan sulit untuk mencari tahu jawabannya, di saat satu-satunya orang yang memiliki jawabannya sudah tidak ada."

Scar mengangguk. "Memang. Aku juga tahu kalau hanya Michael yang tahu apa alasan di balik tindakan bodohnya. Tapi setidaknya aku perlu berusaha untuk memahami latar belakang yang mendasari keputusannya."

"Dan kau yakin akan memahaminya dengan cara berkeliling menanyakan berbagai pertanyaan ini? Tidak terdengar seperti cara yang efisien bagiku. Aku yakin kau tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari tadi." Gadis itu tidak membantah, berarti tebakanku benar. "Tidak banyak orang yang mau membicarakan orang yang sudah mati, apalagi kalau orang itu Sean dan Michael. Kau harus bertanya pada orang yang tepat. Misalnya, orang-orang yang memang suka berbagi informasi bahkan tanpa ditanya."

Masih menatapku, Scar menaikkan sebelah alis. "Di mana aku bisa menemukan orang-orang semacam itu?"

"Yah, aku bisa memberitahumu, tapi tidak sekarang," jawabku, memperbaiki letak ransel di pundakku. "Kelas berikutnya akan segera dimulai."

"Kalau begitu, berikan aku nomor ponselmu," tukas Scar, mengangsurkan ponselnya ke arahku.

Memberikan nomor ponselku kepada sembarang orang bukan hal yang dengan senang hati kulakukan. Bukannya aku paranoid atau apa. Aku hanya lebih suka memberikan nomorku kepada orang-orang yang memang berada dalam lingkaran pertemananku--sejauh ini hanya Cassie--atau murid yang mengelola grup obrolan lantaran itu memang diharuskan. Aku bahkan menggunakan nomor berbeda untuk transaksi pekerjaanku. Akan tetapi, aku merasa gadis di hadapanku ini bukan orang yang akan menyerah begitu saja jika tidak mendapatkan apa yang dia mau. Jadi daripada dia menyusahkanku nanti, lebih baik memberinya apa yang dia mau.

Tepat setelah aku mengembalikan ponselnya, beberapa murid tiba-tiba berlari kencang melewati kami dengan ekspresi penuh ketakutan. Mereka berlari ke arah pintu keluar, tapi pintu itu anehnya tak dapat dibuka, jadi mereka mulai menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak panik. Aku bertukar pandang dengan Scar, tapi gadis itu terlihat sama bingungnya denganku. Akhirnya aku menghampiri salah seorang murid yang berdiri di dekat dinding dan bertanya, "Ada apa?"

"Ian--Ian Davis... di kafetaria...," balasnya, terbata-bata. Matanya memancarkan ketakutan dan sekujur tubuhnya gemetaran.

Ian Davis? Aku mengenali pemilik nama itu sebagai bocah kaya dari kelas sepuluh. Dia terkenal sebagai 'sapi perah' para murid senior di SMA ini. Apa terjadi sesuatu dengannya? Aku meletakkan kedua tangan pada pundak pemuda di depanku. "Tenangkan dirimu dan jelaskan kepadaku pelan-pelan. Apa yang terjadi dengan Ian Davis?"

Orang yang kutanya menjawab dengan raut wajah dipenuhi kengerian, "Dia... dia menembaki orang-orang di kafetaria."

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang