XVII.1

186 109 3
                                    

Tak dapat dipungkiri, memang ada alasannya kenapa Jack bukan tipe orang yang mudah dirundung. Dia benar-benar tidak terlihat seperti orang yang dapat diperlakukan semena-mena begitu saja. Persis seperti Scar.

Scar masih menatap Jack. "Apa kau dapat menyimpan rahasia?"

Jack mengedikkan bahu dengan raut tidak peduli. "Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Tapi kalian tidak punya pilihan, kan? Dan lagi, aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum menjawab pertanyaan kalian."

Ini pertaruhan yang sulit. Kami tidak punya bayangan apakah Jack bahkan sebenarnya memiliki informasi berharga, dan kami tidak bisa mengambil risiko ada orang lain yang tahu soal si Pembawa Pesan.

Yang paling berbahaya, bagaimana jika ternyata dialah Pembawa Pesan?

"Kau pernah kehilangan orang yang kau cintai?" tiba-tiba Scar bertanya.

Sebelah alis Jack terangkat tinggi. Dia pasti tidak menyangka Scar akan menanyakan itu. Yah, aku juga. Aku menatap gadis itu dengan bingung. Apa dia sungguh-sungguh akan membeberkan fakta kalau dia saudari Mike?

"Kelihatannya belum pernah," tebak Scar, barangkali lantaran Jack tidak langsung menjawab.

Jack mengangkat sebelah tangan. "Tunggu. Apa hubungannya pertanyaanmu dengan pertanyaanku?"

"Tentu saja ada hubungannya. Aku kekasih Ryan."

Kini aku pun membelalak, terkejut. Apa-apaan dengan perubahan skenario ini? Kenapa tiba-tiba dia berbohong dan mengaku-aku sebagai kekasih Ryan? Dia bahkan tidak tahu apa pun tentang Ryan.

Jack melongo selama sepersekian detik. Dia bersandar di kursinya dengan raut wajah syok. "Astaga," ucapnya. "Kau--kau kekasih Ryan? Astaga. Dia memiliki kekasih? Mustahil! Dia tak pernah mengatakan apa pun padaku."

"Kami memang memilih untuk merahasiakannya. Rencananya, setelah lulus dia akan ke ibu kota untuk menemuiku." Scar menunduk, memasang ekspresi tersipu-sipu di wajahnya dengan sempurna. "Selama ini, kami berpacaran jarak jauh. Namun, tiba-tiba dia berhenti membalas pesan-pesanku. Dia menghilang, seolah ditelan bumi. Aku tak dapat menghubunginya sama sekali. Kemudian, aku memberanikan diri menghubungi saudarinya dan baru tahu apa yang terjadi."

"Kau pikir aku akan percaya?"

"Kau juga tak bisa membuktikan kalau aku berbohong," balas Scar dengan penuh percaya diri. "Ryan dan aku saling mencintai. Kami sudah merencanakan masa depan kami bersama-sama, tapi tiba-tiba saja dia berakhir menjadi pembunuh. Masalahnya, aku tahu betul orang seperti apa Ryan. Dia memang tidak terlalu sering mengekspresikan perasaannya tapi dia takkan pernah membunuh orang."

"Benar. Ryan bukan pembunuh," tukas Jack, nada bicaranya melunak.

"Itu sebabnya aku datang ke sini," lanjut Scar. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus tahu kenapa Ryan berakhir menjadi pembunuh."

"Apa itu ada hubungannya dengan surat yang tadi kau sebutkan?" tanya Jack, matanya berpaling padaku. "Dari mana kalian tahu soal surat itu?"

Aku bertukar pandang dengan Scar. Rupanya memang ada surat.

"Ryan sempat menyinggungnya," kata Scar, melanjutkan kebohongannya dengan lancar. "Tapi dia tak mengatakan apa isinya. Jadi kupikir barangkali ada orang lain yang tahu soal itu."

"Dan kau pikir orang itu adalah aku?"

Scar membalas tatapan Jack tanpa berkedip. "Kau satu-satunya orang yang dia percaya di kota ini. Jika dia menceritakan atau menunjukkan surat itu pada seseorang di sini, orang itu pasti kau, Jack."

Jack menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. "Baiklah. Memang benar, dia mendapat surat aneh beberapa minggu sebelum peristiwa naas itu terjadi. Surat itu diketik rapi di kertas HVS dan isinya benar-benar aneh. Bahkan nama pengirimnya aneh. Pembawa Pesan--itu namanya."

"Pembawa Pesan?" Scar mengerutkan kening, seolah ini pertama kalinya dia mendengar nama itu. "Lalu, apa isi suratnya?"

"Yah, aku tidak ingat lagi apa persisnya. Pengirim surat itu memberitahu Ryan soal perselingkuhan yang dilakukan kakak iparnya dengan seorang wanita. Dia juga 'menyarankan' Ryan untuk melakukan sesuatu tentang itu."

"Berarti, sebelum mendapat surat-surat itu, Ryan tidak tahu sama sekali soal perselingkuhan itu?" tanyaku, memastikan.

Jack mengangguk. "Benar. Pembawa Pesan-lah yang memberitahunya. Ryan sangat menyayangi kayak perempuannya, jadi mengetahui itu sangat mengganggu pikirannya. Dia terus memikirkan apa yang harus dia lakukan, sebab dia tahu kakaknya akan sangat terluka jika sampai tahu soal itu. Awalnya, dia berencana menemui kakak iparnya dan memintanya memutuskan hubungan dengan wanita selingkuhannya. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya, tapi sepertinya rencananya gagal."

"Kenapa kau menyimpulkan begitu?" tanya Scar.

"Sebab dia terus mengatakan padaku kalau dia membenci kakak iparnya. Dia bahkan mempertimbangkan untuk meminta kakaknya menceraikan suaminya, tapi mengurungkan niat sebab tahu kakaknya tak akan setuju. Pasangan itu memiliki dua anak dan kakak Ryan hanya ibu rumah tangga biasa. Jika mereka bercerai, hak asuh anak mereka pasti jatuh ke tangan sang suami."

"Jika dia membenci kakak iparnya, kenapa dia berakhir membunuh wanita selingkuhannya?" tanyaku, bingung.

"Sebab itu yang disarankan Pembawa Pesan." Jack kembali menghela napas. Matanya memancarkan kesedihan. "Menurutnya, akan jauh lebih berguna jika menghentikan 'akar permasalahannya'. Dalam kasus ini, wanita jalang itu. Pembawa Pesan tidak menyebutkan soal membunuh, tapi itulah yang muncul di pikiran Ryan. Aku sudah mencoba meluruskan pikirannya. Maksudku, itu benar-benar hanya omongan dari orang gila yang tidak perlu didengarkan, apalagi diikuti. Membunuh wanita itu hanya akan membuatnya berada dalam masalah. Aku sudah memperingatkannya berulang kali, sungguh."

"Tapi dia tidak mendengarkan," kata Scar pelan. "Pada akhirnya, dia memilih untuk mengikuti anjuran Pembawa Pesan."

"Jadi itu sebabnya kau berkata begitu di grup obrolan," kataku. "Sebab kau tahu kalau memang ada seseorang yang mendorong Ryan untuk menjadi pembunuh."

Jack mengangguk. "Aku sengaja melakukannya. Aku ingin tahu apakah Pembawa Pesan itu juga melakukan hal yang sama kepada orang lain. Kukira jika aku berkata begitu, akan ada beberapa kisah lain yang bermunculan. Tapi rupanya tidak ada, jadi aku pun tidak mengungkitnya lagi."

"Kenapa tidak mengatakannya kepada pihak berwajib?" tanya Scar.

"Karena aku tidak punya bukti," sahut Jack, frustrasi. "Aku tidak memegang surat-surat itu. Tanpa bukti, siapa yang akan memercayai kata-kataku?"

Masuk akal. Bahkan kami pun tidak menceritakan perihal Pembawa Pesan kepada orang lain karena beberapa alasan. Masalahnya, semua ini memang terlalu tidak masuk akal. Bagaimana bisa ada orang gila yang berkeliaran, mengirimkan surat-surat yang menghasut penerimanya untuk membunuh orang? Itu benar-benar gila.

"Kau punya ide di mana kira-kira seluruh surat itu?" tanya Scar.

Jack menggeleng. "Ryan yang menyimpannya. Aku sudah mencoba mencari di lokernya, tapi tidak ada. Mungkin juga dia sudah membuangnya. Entahlah. Untuk apa dia menyimpan barang seperti itu?"

Tidak. Aku yakin dia masih menyimpannya. Aku yakin sebelum dia mengambil keputusan mengerikan itu, dia membaca surat itu berulang-ulang, meresapi tiap kata, barangkali hingga dia hafal di luar kepala apa isi surat itu. Aku yakin setelah membacanya entah keberapa kali, Ryan meyakini apa yang tertulis di dalamnya sebagai kebenaran. Dan itulah yang pada akhirnya membuat dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita tersebut.

Jadi, besar kemungkinan surat-surat itu masih tersimpan di suatu tempat.

Setelah aku mengutarakan teoriku pada Jack dan Scar, mereka berdua sontak mengerutkan kening tapi tak menyuarakan bantahan, jadi kupikir mereka setuju.

"Tempat di mana dia bisa membaca surat itu berulang kali," gumam Scar.

"Bukankah tempat yang paling cocok adalah rumahnya?" usul Jack.

"Atau tasnya," kataku. "Dia tidak membawa tasnya sewaktu menikam korban, kan? Jadi polisi tidak menyita tasnya sebagai salah satu barang bukti."

"Itu berarti," kata Scar, memandangi kami bergantian, "kita harus mengunjungi rumahnya."

The MessengerWhere stories live. Discover now