XIV.2

204 111 0
                                    

Scar memandangi layar ponselku selama beberapa saat, kemudian mengangguk paham. "Ah. Karena dia gendut? Yang benar saja! Para perundung brengsek itu juga bukannya memiliki tubuh atau wajah yang paling sempurna. Hak apa yang mereka miliki untuk merundung orang lain hanya karena mereka kelebihan beberapa kilogram?"

Sebenarnya, Tom bukan hanya kelebihan beberapa kilogram. Dia kelebihan paling tidak dua puluh kilogram. Namun Scar benar. Para bajingan brengsek itu tak punya hak untuk mengomentari berat badan Tom. Yang lebih konyol adalah, mereka tidak hanya mengusik orang yang kelebihan berat badan seperti Tom, tapi juga beberapa murid yang terlalu kurus. Ian Davis contohnya, yang berlawanan dari Tom, terlihat lebih ringan paling tidak sepuluh kilogram daripada seharusnya. Ian memang memiliki eating disorder--fakta yang malah dijadikan bahan untuk mengolok-oloknya.

Orang-orang yang memang bertujuan mencari kekuranganmu akan selalu menemukannya. Itu masalahnya.

"Ayahnya mengelola restoran burger yang letaknya tak jauh dari sini. Cukup populer. Harganya murah dan rasanya enak." Aku melirik jam di layar ponsel. "Seharusnya kita bisa menemuinya di sana. Tom selalu membantu di sana setelah pulang sekolah."

Restoran burger milik ayah Tom tidak memiliki halaman parkir, jadi aku meninggalkan mobilku di parkiran kedai kopi, kemudian bersama Scar berjalan kaki menuju ke sana. Matahari sore bersinar terik tapi tidak terlalu panas lantaran angin semilir juga bertiup. Cuaca yang tidak terlalu buruk untuk berjalan kaki.

Aku sering berjalan kaki bersama Cassie. Biasanya setiap akhir minggu. Aku akan memarkir mobil di taman dekat rumahnya, kemudian menjemputnya dan kami akan berjalan--ke mana pun kaki kami melangkah--sambil mengobrol. Itu merupakan hal sederhana, yang saat itu terasa seperti hal menyenangkan yang biasa-biasa saja. Kukira hal itu akan terus berlangsung, bahkan hingga kami dewasa. Namun, siapa sangka kalau sekarang bahkan ada kemungkinan kalau aku takkan pernah mendengar suaranya lagi?

Ada banyak hal yang sering tidak kita syukuri. Hal-hal umum dalam keseharian kita, yang terasa biasa-biasa saja, tapi sebenarnya istimewa dan belum tentu akan berlangsung selamanya. Masalahnya, kita baru menyadari betapa istimewanya hal-hal tersebut, justru pada saat kita terancam akan kehilangan itu semua.

"Ada satu hal yang membuatku ragu kalau Tom adalah Pembawa Pesan," kataku, memulai pembicaraan setelah kami saling berdiam diri.

"Apa itu?"

"Tom berteman dengan Mike. Tidak terlalu dekat, tapi aku pernah melihat mereka berbincang beberapa kali."

"Benarkah?" Sambil berjalan, Scar bersedekap. "Berbincang beberapa kali bukan berarti teman. Bahkan jika memang benar mereka berteman, bukan berarti Tom tidak akan memanfaatkan Mike demi mencapai tujuannya. Dan jangan lupa, dia juga tidak melakukan apa-apa sewaktu Sean mengusik Mike dengan begitu buruknya."

"Memang, sih. Tapi menurutku akan lebih masuk akal kalau Pembawa Pesan bukan orang yang pernah berinteraksi dengan Mike. Bukankah itu akan membuat prosesnya menjadi lebih mudah? Bagaimana bisa kau dengan sengaja mendorong temanmu untuk menjadi pembunuh? Itu tidak masuk akal."

Scar berhenti melangkah, kemudian mendongak, melempar tatapan tajam padaku. "Benar, itu memang tidak masuk akal. Tapi Pembawa Pesan memang gila, makanya dia melakukan semua ini. Ingat, Joseph, kita harus mempertimbangkan seluruh kemungkinan pelaku, bukannya mencoret nama seseorang hanya karena berpikir mereka tidak cocok menjadi Pembawa Pesan."

Sekitar dua bulan yang lalu, ada seekor kucing liar yang berkeliaran di sekitar rumahku. Ada luka yang mengelilingi lehernya, dan terlihat jelas kalau itu luka yang diakibatkan oleh ulah manusia. Aku ingin menolong kucing tersebut, tapi dia selalu menjauh setiap kali kudekati. Dia bahkan tidak mau mendekat ketika aku membawakan makan. Kelihatannya dia takut aku akan menjahatinya juga.

Scar membuatku teringat akan kucing itu.

Tanpa alasan yang jelas, aku merasa kalau dia memandang dunia seperti medan perang. Dia terlihat seperti orang yang menolak untuk memercayai orang lain demi alasan apa pun. Barangkali satu-satunya alasan dia mau bekerja sama denganku hanyalah lantaran kami berada di kapal yang sama. Jika bukan karena itu, berani taruhan hingga hari ini dia pasti masih berkeliling sendirian tanpaku.

Kami tiba di restoran milik ayah Tom. Aku mendorong pintu dan melangkah masuk, Scar mengikuti di belakang. Seperti biasa, restoran itu ramai dipadati pengunjung. Sebagian makan di tempat, sisanya berdiri di depan meja konter, menunggu pesanan mereka disiapkan. Aku melambaikan tangan ke arah lelaki yang duduk di balik meja kasir. Salah satu keuntungan tumbuh besar di kota kecil seperti ini adalah, seluruh penduduknya saling mengenal satu sama lain. Ayah Tom balas melambai. Rambutnya sudah memutih seluruhnya, padahal usianya baru menginjak awal empat puluhan. Kesulitan menjadi orangtua tunggal barangkali menjadi salah satu penyebabnya.

Ibu Tom meninggal sepuluh tahun silam akibat kanker. Sejak itu, ayahnya memutuskan untuk membesarkan Tom seorang diri. Bukan hal yang mudah, apalagi karena dia harus membagi waktu untuk mengelola restoran miliknya. Untungnya, Tom tahu betul pengorbanan yang dilakukan sang ayah. Makanya dia berusaha tidak merepotkan ayahnya dan sebisa mungkin tidak membuat masalah di mana pun dia berada.

Itu juga yang tidak cocok dengan keseluruhan teori tentang Pembawa Pesan. Logikanya, Tom tidak mungkin membuat masalah dengan mengirimkan surat-surat aneh itu. Tapi, seperti kata Scar, kami harus mempertimbangkan segala kemungkinan.

"Tom ada di dalam, Sir?" tanyaku.

Ayah Tom menggerakkan kepala ke arah pintu tertutup bertuliskan 'HANYA KARYAWAN' di sebelahnya. "Masuk saja. Dia ada di dapur."

Seperti kata ayahnya, kami menemukan Tom di dapur, bersama dua wanita paruh baya, sedang sibuk mencuci berbagai perabot dapur. Salah satunya menyadari kehadiran kami, lalu mengatakan sesuatu pada Tom. Pemuda itu berbalik, dan ketika melihat kami, raut bingung seketika menghiasi wajahnya yang bulat.

"Joseph?" sapanya, menghampiri kami sembari mengelap tangannya di celemek putih yang melingkari pinggangnya. Matanya menatap Scar sekilas. Bukan tatapan siapa-orang-asing-ini seperti yang diberikan Liam. "Ada apa? Tumben kau mencariku ke sini."

Aku berdeham. "Ini Scar," kataku, dan Scar mengulurkan tangan ke Tom. "Kami ingin menanyakan sesuatu."

Mata Tom mengamati Scar selagi menyambut uluran tangan gadis itu. "Kau anak baru itu, kan?" Persis seperti dugaanku; dia tahu siapa Scar.

Scar mengangguk. "Kami takkan menyita waktumu terlalu lama, Tom," katanya dengan nada bersahabat yang sama seperti yang dia gunakan sewaktu berbicara dengan Liam. "Seberapa dekat kau dengan Michael Ahn?"

Kini sebelah alis Tom terangkat tinggi. "Mike? Tidak terlalu dekat. Kenapa kau menanyakan dia?"

Scar mengulangi kebohongannya terkait menjadi pekerja paruh waktu dari perusahaan asuransi, sementara Tom mendengarkan dengan mulut menganga. Dia tidak terlihat curiga sedikit pun kalau Scar tengah berbohong. Bahkan aku menyadari ada sorot kekaguman yang sekilas terpancar dari matanya.

"Wow," komentarnya setelah Scar selesai menjelaskan. Dia menyugar rambut cokelatnya yang basah oleh keringat. "Sayang sekali, tapi sepertinya aku tidak terlalu bisa membantu. Aku memang pernah berbicara dengan Mike beberapa kali, tapi kami hanya membicarakan hal-hal umum seperti pelajaran sekolah. Aku juga tidak pernah bertemu dengannya di luar sekolah."

Scar menolak untuk menyerah begitu saja. "Tapi kau pasti pernah menyadari sesuatu yang aneh. Tolong kau coba ingat-ingat dulu. Mungkin dia pernah mengatakan sesuatu yang aneh atau tidak biasa?"

Tom memejamkan mata sejenak. "Masalahnya, dia itu hampir tidak pernah bersuara," ucapnya pelan. Dia membuka mata dan menatap kami bergantian. "Dia takut pada Sean. Itu sebabnya, seburuk apa pun perlakuan yang didapatnya, Mike tidak pernah mengatakan apa pun. Dia selalu hanya menerimanya dengan pasrah. Seakan itu memang sudah takdirnya."

"Omong kosong," tukas Scar. "Kalau dia takut pada Sean, kenapa dia berakhir menembaknya?"

Tom menghela napas dengan raut prihatin. "Entahlah. Barangkali ketakutannya menjalani hidup sebagai pecundang jauh lebih besar daripada rasa takutnya kepada Sean? Bajingan itu benar-benar membuat hidup Mike dan yang lainnya menderita, kau tahu. Jadi, yah, dia hanya mendapatkan apa yang memang pantas dia terima."

The MessengerWhere stories live. Discover now