XIII.1

229 110 0
                                    

Liam Anderson menjadi orang pertama dalam daftar yang kami selidiki.

Apakah memalukan jika aku bilang kalau aku tidak tahu-menahu soal teman-teman sekolahku? Maksudku, aku tahu Liam. Aku tahu dia murid kelas sebelas sepertiku. Dan aku tahu di mana saja dia biasanya terlihat--lebih karena dia kerap nongkrong di tempat yang itu-itu saja. Sama halnya seperti aku tahu kalau dia juga korban perundungan, meski bukan yang paling parah.

Tapi hanya itu.

Aku tidak tahu di mana dia tinggal. Apa pekerjaan orangtuanya. Orang seperti apa dia. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Penyebabnya? Semata-mata lantaran aku tidak peduli. Jujur saja, satu-satunya orang yang kupedulikan di SMA Gateway memang hanya Cassie. Selain itu, aku juga tidak melihat alasan kenapa aku harus mengetahui soal mereka. Apalagi aku yakin kalau kami semua tidak akan berteman lagi setelah lulus SMA. Yah, aku sering melihat di film-film tentang orang-orang yang bersahabat puluhan tahun sejak zaman sekolah, hingga memiliki anak. Terlihat keren, tapi itu omong kosong. Terutama bagi bocah miskin yang kehidupannya tidak terlalu menyenangkan seperti sebagian besar dari kami di sini.

Tidak ada siapa pun yang mau tetap menjalin persahabatan dengan orang-orang yang mengingatkan mereka pada masa lalunya yang buruk. Itu masalahnya.

Aku dan Cassie bukan pengecualian.

Kami sudah sepakat, begitu lulus SMA dan berhasil pergi ke ibu kota, kami akan mengganti nomor ponsel kami. Itu adalah cara simbolis kami untuk memutuskan hubungan dengan Gateaway City.

Sebut saja kami melarikan diri. Memang kurang lebihnya seperti itu.

Tapi, jujur saja, siapa yang tidak ingin melarikan diri dari kota ini? Tempat di mana semua orang saling mengenal satu sama lain hingga mustahil bagimu untuk dinilai sebagai dirimu sendiri, bukannya dari latar belakang keluargamu. Contohnya Cassie. Siapa yang peduli orang seperti apa dia? Yang mereka pedulikan hanyalah status ayahnya. Dan itulah yang mereka gunakan untuk mendeskripsikan Cassie.

"Jadi, itu orangnya?" Scar menggerakkan kepala ke arah pemuda berkacamata yang sedang duduk membaca buku di bawah pohon. Itu memang satu dari sedikit tempat nongkrong favorit Liam. Tempat itu terlindung dari sinar matahari dan dia bisa bersandar di batang pohon (yang menurutku sebenarnya pasti lebih terasa keras daripada nyaman). Letaknya juga relatif jauh dari tempat berkumpulnya para bajingan SMA Gateaway.

Dengan kacamata tebal serta headset yang selalu terpasang di telinga ke mana pun dia pergi (kecuali saat di kelas), penampilannya kerap dinilai culun oleh sebagian besar murid SMA Gateaway. Itu juga alasan dia dijadikan target perundungan. Karena dia itu culun. Alasan yang sangat konyol, tapi para perundung di sekolah kami memang selalu merasa kalau mereka itu keren.

"Yeah. Tidak terlihat seperti orang yang dapat merencanakan semua itu, kan?"

Dengusan mencemooh langsung keluar dari bibir Scar. Mata hazel-nya menatapku tajam. "Kau pikir sosok Pembawa Pesan memang harus terlihat seperti orang yang bisa melakukan hal-hal keji, begitu? Penampilan dapat sangat, sangat menipu, Joseph. Tidak semua orang yang terlihat baik memang baik. Dan sebaliknya, tidak semua orang yang terlihat sebagai pembuat masalah memang benar bajingan. Faktanya, dia bisa saja terlihat sama biasanya seperti kau dan aku. Jadi, jangan fokus pada mencari orang yang menurutmu 'akan cocok' menjadi Pembawa Pesan. Fokuslah pada faktanya."

Cassie pernah mengatakan sesuatu yang kurang lebih sama. Sebagian besar pembunuh adalah orang yang kelihatan biasa-biasa saja. Betapa banyak hal yang membuatku teringat padanya. Setiap kali itu pula hatiku akan menjadi terasa berat, seolah ditimpa oleh berton-ton batu, sebab setiap kali itu pulalah aku akan teringat kembali akan kemungkinannya yang kecil untuk bertahan hidup.

Sejujurnya, aku benar-benar tak bisa membayangkan kehidupan tanpa sosok Cassie di dalamnya. Dan itu lucu. Aku baru bersahabat dengannya selama delapan tahun terakhir. Itu berarti aku sempat menjalani beberapa tahun awal dalam hidupku tanpanya. Namun anehnya, aku sudah tidak ingat lagi bagaimana hidupku berjalan sebelum ada Cassie di dalamnya. Aku sudah begitu terbiasa dengan hadirnya Cassie sehingga ketidakhadirannya terasa janggal.

"Apa saja informasi yang sudah kau dapatkan tentang dia?" tanya Scar.

Aku menatap layar ponsel yang menampilkan informasi tentang Liam di situs sekolah. "Dia anak tunggal dan orangtuanya bekerja di kantor pemerintah. Selain alamat dan tanggal lahir, hanya itu informasi yang tersedia."

"Kita memerlukan informasi lebih banyak daripada yang tersedia di situs sekolah," komentar Scar, berdecak tidak sabar. "Kau pernah bilang ada orang-orang yang bersedia memberikan informasi tanpa ditanya. Di mana kita bisa menemukan mereka?"

Orang-orang seperti itu sebenarnya banyak tersebar di berbagai grup obrolan. Namun, Scar belum terdaftar di grup apa pun. Sedangkan grup obrolan yang kuikuti sedang sepi belakangan ini. Meskipun, tidak mungkin juga untuk tiba-tiba muncul dan menanyakan soal Liam. Itu akan tampak sangat mencurigakan.

"Kau perlu bergabung dalam beberapa grup obrolan," jelasku, dan sebelah alisnya sontak terangkat tinggi.

"Grup obrolan? Apa itu?"

"Grup-grup yang dibentuk oleh klub ekstrakurikuler. Aku tidak tahu bagaimana di ibu kota, tapi di sini kita diharuskan untuk mengikuti klub. Minimal tiga. Cukup merepotkan," jelasku, berbicara lebih banyak daripada yang kuinginkan.

Tanpa alasan yang jelas, berbicara dengan Scar terasa nyaman. Hampir sama nyamannya seperti berbicara dengan Cassie. Selama ini, aku selalu harus menyembunyikan diriku di balik tameng sewaktu berhadapan dengan orang lain. Namun, anehnya, bersama Scar aku dapat menjadi diriku sendiri. Aku tidak merasakan perlunya bersembunyi di balik tameng apa pun. Dan ini tidak wajar. Aku tidak pernah membayangkan ada orang lain yang bisa memberiku perasaan nyaman yang sama seperti yang diberikan Cassie.

"Minimal tiga?" ulangnya pelan, mengembuskan napas panjang sambil berkacak pinggang. "Astaga. Benar-benar merepotkan. Aku paling benci yang namanya kegiatan ekstrakurikuler. Hanya membuang-buang waktu."

Tanpa sadar, aku mendengus setuju. Faktanya, berbagai kegiatan ekstrakurikuler itu memang tidak memberikan tambahan manfaat apa pun bagi kami selain memberi ruang tambahan untuk bergosip--melalui berbagai grup obrolan yang terbentuk--terutama bagi orang-orang seperti Darcy yang selalu memerlukan wadah untuk membesar-besarkan apa saja.

"Jadi, sepertinya kita hanya bisa mengorek informasi langsung dari orangnya."

"Itu cara paling efisien saat ini," aku mengiakan.

Scar mengembalikan perhatiannya ke Liam yang masih menunduk, dengan tekun membaca buku di pangkuannya. Entahlah buku apa yang dia baca. Tidak sepertiku yang tidak terlalu suka membaca, Cassie sangat suka membaca. Dia melahap bacaan apa pun setiap kali mendapat kesempatan. Dia bahkan suka membaca instruksi cara memasak pada bungkus mi instan impor dari Korea yang beberapa kali dia beli saat sedang diskon besar-besaran. Itulah kenapa salah satu tempat nongkrong favorit Cassie adalah perpustakaan kota. Dia bisa berada di sana hingga perpustakaan tutup, yaitu jam sembilan malam.

Bagi beberapa orang, rumah mungkin menjadi tempat yang nyaman dan hangat. Tempat untuk melepas penat setelah seharian beraktivitas. Tempat di mana kau bisa menjadi dirimu sendiri dan tidak perlu memasang 'topeng' yang kau gunakan seharian. Namun, bukan seperti itu deskripsi rumah bagiku dan Cassie. Bagi kami, rumah hanyalah sekadar tempat untuk tidur, sebab kami tak mungkin tidur di jalanan atau sebagainya. Terlebih bagi Cassie, pulang ke rumah selalu memberinya perasaan berat yang menyesakkan--begitulah yang dia deskripsikan--lantaran harus melihat sosok sang ayah yang seringnya tengah mabuk-mabukan.

Jadi, perpustakaan pun menjadi salah satu tempat pelarian bagi Cassie. Ayahnya memang tidak mewajibkan Cassie pulang sebelum jam tertentu, tapi tentu saja Cassie tidak mungkin nongkrong di kafe atau semacamnya. Jadi paling tidak perpustakaan memberinya tempat untuk menghabiskan beberapa jam sebelum harus pulang ke rumah.

The MessengerWhere stories live. Discover now