30. SISI GELAP ALVIN.

129 15 0
                                    

Kini 2 remaja yang masih menggunakan seragam sekolah lengkap sedang asik bermain di taman, mereka berlari ke sana ke mari di pinggir danau sembari menangkap satu sama lain.

"Vin, udah ah capek," keluh Rea memegangi dadanya.

"E-eh lupa, yaudah ayo istirahat dulu," ajak Alvin kemudian cowok itu menggendong pacarnya ke kursi panjang yang tersedia.

"Nih diminum,"

Rea sedikit bingung dengan ucapan yang baru dituturkan oleh pacarnya tadi.

"Maksudnya lupa?"

"Hmmm, aku udah tau kok,"

"H-hah?"

Alvin tersenyum lalu berkata. "Aku tau kamu punya asma,"

"E-enggak, lagian kamu tau dari mana kalo aku punya penyakit kayak gitu,"

"Jangan ngelak lagi, Re. Kesehatan kamu lebih penting, tau dari mananya aku itu udah urusan lalu, yaudah sekarang minum dulu gih."

Rea meminum air putih yang Alvin tawarkan tanpa memperdulikan ucapan cowok itu, lalu berusaha menenangkan dirinya kembali.

"Gimana, udah enakan?" Tanya Alvin ragu.

"Udah kok, kita di sini sampe sore ya, pengin liat senja," tutur Rea memandang langit dengan sendu.

"Asal itu perintah dari tuan putri, pasti Alvin turutin,"

"Kamu ini ada-ada aja," Rea mencubit perut pacarnya dengan gemas.

"Biarin, namanya juga sayang." Ejek Alvin.

Atensi mata Rea beralih ke pedagang cilok yang berjualan di seberang taman berharap pacarnya akan peka.

"Kamu mau?" Tanya Alvin singkat.

"E-enggak kok,"

"Yaudah, kamu sini dulu biar aku yang beliin."

Cowok itu beranjak meninggalkan Rea dan menyebrangi jalan dengan hati-hati, Rea hanya bisa tersenyum malu, kemudian dengan senang hati menunggu.

"Itu siapa, bang?" Tanya pedagang.

"Pacar saya," jawab Alvin apa adanya.

"Mening pisan,"

"Jangan ngelirik-ngelirik lo!"

"Yang beberapa minggu lalu kecelakaan, ya?"

"I-iya, kok tau?"

"Kan saya jualan di sini, masih inget sama detail mukamu,"

"Hmm, iya juga sih,"

"Udah sembuh dia? Cepet banget, padahal lukanya parah loh,"

"Mukjizat tuhan kali, bang,"

"Syukurlah... yaudah nih jadi sepuluh ribu," ujar pedagang tersebut lalu menjulurkan cilok yang sudah ia bungkus.

"Makasih, bang. Kalo gitu saya duluan."

"Mana ciloknya?" Tanya Rea dengan wajah masam.

"Ini nyonya, maaf lama. Tadi abangnya ngajak ngobrol," Alvin menyerahkan satu plastik cilok untuk Rea dan satu lagi untuknya.

"Pedes gak?"

"Gak boleh pedes-pedes, inget kata bang Eja."

Rea kembali mengerucutkan bibirnya lalu berkata. "Udah nunggu lama, malah gak pedes, kan hambar,"

"Ututu lucu banget sih, ini juga demi kebaikan kamu kok," ujar Alvin mencubit pipi Rea dengan gemas.

"Hmm, iya iya..."

Alvin Anggara.Where stories live. Discover now