Jarak pandang yang terbatas oleh hujan membuat sopir tidak terlalu awas. Merasa tidak ada rintangan di jalan, pedal gas diinjak setengah, melaju mobil itu menghantam rel kereta sampai bergetar sasis mobil bagian belakang. Beruntung Dolphy dan supirnya mengenakan sabuk pengaman, tubuh mereka dikunci tetap di atas kursi; tidak dengan Ilman. Ia terlempar, menghantam atap mobil kemudian tersungkur ke depan sampai jidatnya hampir mencium persneling.

"Maaf, Den! Batang rel nya tidak kelihatan, sumpah!" ucap supir Dolphy ketakutan.

Ilman tertawa, berusaha menenangkan si Bapak karena sebetulnya memang dia tidak apa-apa. Yah, tidak bisa disalahkan juga—siapapun tidak akan menyangka kalau akan ada rel melintang karena sekeliling mereka hanya ada belukar saja. Betul, kawan, jalur rel itu tertutup rumput dan belukar, pastilah jalur kereta zaman dulu yang sekarang sudah tidak lagi digunakan.

Kejadian itu membuat si supir benar-benar pelan memacu mobil sekarang. Rumah pertama baru terlihat setelah satu jam dari belokan awal. Karena hujan sudah berhenti, Dolphy turun dari mobil untuk menanyakan arah ke seorang ibu-ibu yang kebetulan sedang duduk di halaman. Iya, lurus saja terus sepuluh kilometer lagi sampai di Dusun Bambu.

Papan besar dari kayu menjadi penanda arah kalau Dusun Bambu tidak bisa ditempuh menggunakan mobil. Papan itu menunjuk ke arah setapak dari tanjakan sebuah tebing. Lebar jalannya hanya dua meter—jadilah Dolphy dan Ilman meninggalkan mobil beserta supirnya di pinggir jalan untuk lanjut dengan berjalan kaki.

"Kau tahu rumahnya yang mana?" tanya Ilman begitu melihat Dolphy hanya celingak-celinguk memperhatikan satu persatu barisan rumah yang mereka lewati.

Dolphy tersenyum lebar, senyum menyebalkan yang biasa muncul kalau dia ingin menyombongkan sesuatu. "Pasti kau berpikir kalau aku sedang bingung, ya kan?" dia mengulurkan selembar foto ukuran saku kepada Ilman. "Saat Naufal bilang cari tahu tentang Emilia dan dua temannya, bagiku itu bukan hanya perintah; tantangan—ya, aku selalu anggap penyelidikan macam itu sebagai tantangan. Mindset macam ini membuatku selalu totalitas, Man. Jangankan alamat rumahnya, foto rumahnya pun aku bisa dapat!" Dolphy mengetuk foto yang dimaksud dengan jari.

Ilman terkekeh. Rumah kayu dalam foto yang dia genggam, sama persis dengan rumah di sebelah kiri mereka sekarang. Halaman luas tanah lempung, tangga semen dua meter, tercermin sempurna seolah foto itu baru diambil satu jam yang lalu. "Beruntung kita punya orang pintar macam kau ya. Kalau kau bodoh, bisa sulit kerja kita."

Oh, pujian itu bikin hidung Dolphy kembang kempis. Pundak Ilman ditepuk-tepuk keras seiring langkah mereka menyusuri halaman rumah Gilda. Sepasang sandal warna putih di anak tangga pertama merupakan tanda bagi mereka kalau itulah batas suci pintu depan. Berkutat melepas sepatu, naik kemudian mengucap salam dan mengetuk pintu.

Seorang gadis yang menyambut. Rambut sebahu, miring kepalanya menatap heran dua orang tamu yang tidak dikenal. "Maaf, siapa ya? Ada keperluan dengan saya?"

Ilman, apabila pertama bertamu pastilah wajahnya yang polos langsung mengembangkan senyuman—tidak kali ini. Dia heran dengan pertanyaan itu. Tentu saja, kawan. Bukankah gadis ini yang kemarin hujan-hujanan meneriaki mereka lewat pagar?!

"Kau tidak ingat kami?"

Menggeleng lawan bicara mereka. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Tidak pakai basa-basi, Ilman langsung to the point. "Kau kan yang kemarin mendatangi sekolah kami, teriak-teriak di bawah hujan, meminta kami main Mario sekali lagi, lalu—"

"Woah, woah, mendatangi sekolah? Aku bahkan tidak kenal kalian!" mulai menekuk wajah empunya rumah. "Maaf, kurasa kalian salah orang. Rumah ketua RT ada di ujung jalan—kurasa beliau bisa bantu kalau kalian sedang cari orang."

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now