Belum Berubah

169 11 0
                                    

Bolehkah aku memilih awal cerita seperti apa dalam hidupku?
Lalu menulis jalannya sendiri seperti mauku. Dan, menentukan bagaimana akhir yang aku inginkan.

Tunggu!

Bukankah kematian akhir dari kehidupan.

Maka, ijinkan aku menutup mata dengan cara yang indah. Setelah menyerukan nama-Mu.

🍁🍁🍁

“Ayah, Aka kangen sama Ayah.”

Azlan tertawa mendengarkan ungkapan hati Dzakka secara berulang-ulang. Bisa mengendong anak ini kembali membuat hatinya menjadi tenang. Tidak ada yang ingin dia ungkapkan selain rasa bahagia bisa melepas rindu dengan Dzakka, yang telah dia anggap seperti anak sendiri. Mungkin kemarin dia masih tidak terpikirkan jika dia masih memiliki kesempatan untuk mengendong Dzakka. Dan, akhirnya kekhawatirannya tidak terjadi.

Sayup dia masih mendengar suara tangis dari dalam rumah. Ya, itu tangisan kebahagiaan setelah lama tidak bertemu. Azlan lebih memilih menepi, karena takut hatinya tergoyahkan kembali.

Tak berselang lama, sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah dan langsung parkir. Azlan pun sudah tahu siapa yang akan turun dari mobil itu.

“Assalamualaikum.”

“Wa alaikumsalam, bagaimana perjalanannya tadi, Kak?” tanyanya, lalu menyalami tangan Jovan dan juga seorang wanita yang berjalan di belakangnya berganti.

“Alhamdulillah, lancar. Eh, Dzakka itu tidur?”

“Iya, Kak. Pasti dia capek, tadi habis lari-lari ngejar kelinci.”

Dahi Jovan mengerut. “Kelinci siapa?" Perasaan sebulan yang lalu masih tidak ada tanda-tanda keberadaan kelinci di rumah orang tuanya.

“Sebelum ke sini aku memang sengaja beliin buat Dzakka, dia dulu pernah bilang pengen punya boneka kelinci. Kayak yang di kartun yang sering dia tonton. Aku nggak tau nyarinya harus ke mana. Jadi ya, beliin yang beneran aja sekalian.”

Jovan mengangguk-angguk. “Trobosan baru yang bisa diterima,” ucap Jovan sambil menahan tawa.

Jovan pun masuk bersama Rena meninggalkan Azlan yang masih berdiri di tempat semula, demi menetralisir rasa malunya sebelum dia ikut masuk.

***

Suara tawa kini berganti memenuhi rumah yang sebelumnya hanya kesunyian yang menemani. Raut kebahagiaan terpancar di setiap wajah yang ada di sana. Tak terkecuali Aina yang masih dilanda rasa gugup.

“Kok, masih di sini? Ayo, ini sudah lewat waktunya makan siang. Kamu pasti bisa, kok,” ucap Rena memberi Aina semangat, seolah dia tahu apa yang sedang dirasakan oleh Aina.

“Iya, Mbak.”

Dirinya pun ikut berjalan di belakang Rena dengan membawa sepiring yang penuh dengan telur mata sapi. Rena langsung duduk di kursi samping Jovan. Menyisakan satu kursi yang berada di samping Azlan. Dengan berat hati dia harus duduk di sana.

“Wah, bau masakannya aja udah wangi, pasti rasanya enak.” Wajah Papa berbinar saat dirinya sudah menghidangkan masakan yang dimasak dirinya.

Insecure TerinfrastrukturWhere stories live. Discover now