Melihatnya Lagi

153 11 0
                                    

Boleh saja aku gagal untuk yang kedua kalinya

Namun, yang ketiga kalinya aku tak akan egois

Kebahagianmu prioritasku saat ini

Asal kamu bahagia

Aku tak apa menderita menahan rasa tak tersampaikan


🐊🐊🐊

"Bagaimana keadaan Pak Pram, Le? Kamu ke sana kok, nggak ajak Mama. Mama kan, juga mau jenguk beliau.”

“Sudah mendingan kok, Ma. Mungkin besok siang sudah bisa pulang. Kata Mama Riyanti, Papa habis jatoh dari tempat tidur. Alhamdulillah, efeknya nggak begitu parah.”

Plak!

Azlan mengelus lengannya yang terasa panas setelah mendapatkan sapaan dari telapak tangan mamanya.

“Orang jatoh, kok, malah alhamdulillah,” protes mamanya.

“Kan, nggak sampai parah, gitu maksudnya, Ma.”

“Terus kalau udah parah baru kamu mau bilang kasihan? Gitu maksud kamu?”

Azlan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ma.” Mamanya menoleh hanya untuk mendapati wajah lesunya. “Mama kan, orang yang paling lama hidup di sampingku. Sejak aku berada dalam kandungan sampai terlahir ke dunia, Mama yang selalu ada untukku. Lalu merawatku dan membesarkanku sampai aku besar seperti sekarang.” 

“Terus ... nggak usah muter-muter.”

Azlan mencebik di belakang punggung mamanya.

“Nah, selama Mama hidup denganku, sifatku buruk ya, Ma? Sampai Aina dulu lebih memilih pergi dariku dengan cara seperti itu.”

Mama meletakkan pisaunya yang sedang dia gunakan untuk memotong sayuran.

“Mmm ... sedikit. Tapi entahlah, Mama nggak tau harus ngomong apa kalau menyangkut tentang keluarga itu. Pak Pram itu teman baik papamu. Pak Pram dulu sering memberikan nasehat yang mampu membuat semangat papamu kembali berkobar. Dia yang menjadi tempat curhat papamu selama kamu ada di Jepang.

“Papamu berencana menjodohkanmu dengan Aina dulu, karena dia merasa ada kecocokan antara sifatmu sama Aina. Kalian sama-sama keras kepala, berpendirian teguh, dan satu lagi. Susah dikasih tahu. Kata Papa, mungkin kalau sifatnya sama, bakalan bisa nyambung. Lagian dulu Aina kelihatannya seperti wanita baik-baik. Kayak nggak pernah neko-neko gitu. Nggak tahunya.”

Mamanya menghembuskan nafas pasrah. Azlan mendekat dan merengkuh tubuh mamanya dari belakang.

“Tumben, ada apa? Pasti ada maunya,” tebak mamanya tepat sasaran.

“Mama kalau ngelakuin sesuatu pasti ada alasannya, kan? Seperti Papa dulu, jodohin aku sama Aina pasti ada alasannya.”

“Terus kenapa?”

“Aina juga pasti punya alasan ninggalin aku.”

Kini berganti mamanya menangkup wajah Azlan. “Nak, ada apa? Kamu kenapa? Kamu dari awal sudah tahu kan, kenyataannya bagaimana? Kenyataan yang telah kamu lihat tak akan berubah. Ikhlaskan kepergian istrimu, dia berhak mendapatkan keridhoan dari suaminya. Dan, itu kamu orangnya. Meski Mama juga sangat kecewa dengan istrimu yang memilih pergi dengan cara seperti ini. Tapi Mama nggak punya hak untuk ngelarang kamu doain mendiang istrimu sendiri.”

“Tapi, bagaimana kalau Aina masih hidup?”

***


Seminggu telah berlalu dan Azlan belum juga mendapatkan jawaban atas apa yang membebani pikirannya akhir-akhir ini. Tentang nasib pernikahannya yang kandas tanpa ada rekam jejak. Dipaksakan untuk berhenti, meski belum siap melepaskan.

Hari ini merupakan hari di mana dirinya akan menyambangi seseorang yang seharusnya ada dalam rekam jejak hidupnya.

“Mas, ayo buruan! Nanti keburu nggak dapet kursi,” ajak Jessy begitu semangat.

Adiknya ini begitu antusias menerima ajakannya, untuk menghadiri acara bedah buku disalah satu mall besar di Surabaya. Jelas sekali adiknya begitu antusias, orang penulisnya You-Lita. Penulis novel yang sedang menjadi idaman Jessy sekarang.

Acaranya cukup ramai dan benar kata Jessy, sekarang kursinya sudah hampir dipenuhi lautan manusia. Dan, mereka berdua hanya kebagian di kursi paling belakang.

Seorang wanita berhijab yang menjadi moderator untuk acara ini, mempersilahkan seseorang yang memiliki nama pena You-Lita untuk naik ke atas panggung. Seketika ruangan menjadi heboh, dengan teriakan-teriakan para pengunjung lainnya. Tak terkecuali Azlan dan Jessy yang sama-sama bungkam.

You-Lita alias Lita yang sejatinya orang yang sama yaitu Aina, tersenyum. Wajahnya berseri-seri di bawah sorot lampu. Tanpa terasa bibir Azlan ikut tersenyum, hanya dengan memandangi wajah yang dia rindukan. Meski dari jarak yang cukup jauh. Namun, hal itu tak mengurangi rasa bahagianya.

Senangnya melihat dia baik-baik saja.

Memang begini adanya, dia ikut merasa bahagia saat wajah itu bisa kembali ceria ke sediakala.

Berbeda dengan Jessy yang dibuat syok bukan main. Mulutnya terperangah dan matanya membulat sempurna. Kini dia seakan sedang menatap wajah seseorang yang telah bangkit dari tidur panjangnya. Tidak bisa dipercaya. Mungkinkah ada mayat hidup atau zombie yang secantik itu?

“You-Lita itu Mbak Aina, Mas?” tanya Jessy heboh sendiri di antara pengunjung yang lainnya, yang kini sudah diam mendengarkan pembicara di depan.

Yang ditanya hanya mengendikan bahu, membuat Jessy kesal karena rasa penasarannya tak bisa terpenuhi.

“Jangan-jangan, Mas udah tahu semuanya?” tebak Jessy lagi.

“Aku tidak tahu.”

Aku harus mencari tahu apa alasannya lebih dulu. Barulah, setelah aku tahu. Aku bisa mengambil langkah selanjutnya.

Mengikuti kata Jovan adalah pilihannya untuk sekarang.

Untuk saat ini, dirinya hanya bisa menjadi penonton untuk seseorang yang semestinya berdiri di sampingnya.

“Kak You, kisah “Edward si Pujangga Merindu”, apakah Anda dedikasikan untuk orang yang spesial? Sebab, banyak pembaca yang sangat menikmati cerita ini? Menurut saya sendiri, jika tulisan tidak ditulis dari hati, rasanya pembaca akan sulit menerima maksud dari penulisnya. Nah, merurut Kak You sendiri bagaimana? Benarkah cerita ini memiliki alasan istimewa?” tanya sang moderator di akhiri gelak tawa yang menggoda.

Pertanyaan itu sangat mewakilkan perasaan Azlan saat ini. Dirinya memang penasaran, tentang alasan kenapa Aina lebih memilih menulis tentang kisah hidupnya. Apa yang wanita itu tahu tentang dirinya? Sejauh mana wanita itu mengenalnya?

Meski nyatanya, yang dituliskan hanya segelintir kisah yang sudah banyak orang tahu. Rupanya dirinya memang pintar menyimpan sebuah rahasia, meski hanya dihadapan manusia-Nya saja.

Aina saja tak bisa mengenal dirinya begitu dalam, lalu apa kabar dirinya? Sampai saat ini pun, dirinya masih belum bisa memprediksi bagaimana pola pikir wanita itu. Waktu yang mereka berdua lalui terlalu singkat, saking singkatnya seperti sekedipan mata saja.

Azlan semakin tak sabar menunggu Aina yang belum juga menjawab pertanyaan moderator tadi. Wajahnya memerah menahan malu, dengan begitu Azlan sudah mengetahui jawabannya.

Pastinya kisah itu, kisah tentangku. Akulah orang spesialnya, kan? 

Itu versinya. Dan, semoga benar.

Bersambung ... 



Jangan lupa tinggalkan jejak!

Insecure TerinfrastrukturWhere stories live. Discover now