Pacaran Setelah Menikah

249 16 0
                                    

Momen sederhana yang sulit aku lupakan, meski hanya dalam semalam.

Kenangannya tak akan lekang oleh waktu, selamanya akan membekas dalam hati.

***

Berlari di bawah hujan dengan tawa yang menghiasi. Rintik hujan seakan kelopak bunga mawar merah yang berjatuhan. Sungguh indah bukan? Sudah selayaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Hujan tak jadi penghalang, malah diubahnya menjadi momen manis.

“Maaf ya, niatnya mau ngajak pacaran malah nyusahin kamu.”

“Astaga, pacaran apaan? Lagian juga udah nikah, mau pacaran gimana?”

Aina tak menyadari, jika malam ini dia sudah tertawa lepas tanpa beban semenjak keluar bersama Azlan. Banyak hal yang baru dia ketahui dari suaminya.

Persepsinya selama beberapa hari terakhir terpatahkan. Dia pikir suaminya orang yang anti sosial, dengan ego yang tinggi dan tidak mau mengalah.

Namun nyatanya, suaminya itu bisa langsung bicara to the point dengan apa yang dia rasakan sekarang.

Ada juga kadar kekonyolannya, sedikit.

“Mangkanya Om, jangan kerja mulu. Pacaran lah sekali-kali, nikmati hidup.”

“Nikmati hidup nggak harus dengan pacaran, Ay.”

Sepertinya suasana hati suaminya sedang tidak beres, buktinya dia tidak mempermasalahkan panggilan yang tidak dia sukai.

“Setidaknya dengan pacaran hidup jadi lebih berwarna, Mas. Kita bisa punya teman yang akan selalu perhatian dan nyanyangin kita.”

Tapi, tidak seperti aku yang menjadi kelabu karena pacaran, hufh!

Dia sangat menyayangkan hubungan pacarannya yang tidak sehat dulu. Memang waktu itu rasanya sangat bahagia sekali. Seakan dunia itu miliknya bersama kekasihnya. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa bahagia itu memudar berganti rasa jenuh dan khawatir akan bom waktu yang bisa sewaktu-waktu meledak.

“Kamu salah Ay. Kalau ada cara yang halal kenapa harus memilih cara yang haram untuk menyalurkan perasaan kepada seseorang. Kamu pasti sudah paham bagaimana hukumnya pacaran. Lagian Ay, lebih indah pacaran setelah menikah. Kamu nggak percaya?” tanya Azlan melihat Aina yang termangu menatapnya.

Aina bukannya tidak tahu ke mana arah pembicaraan Azlan, tetapi hatinya kini tertohok dengan kenyataan yang telah dia buat sendiri. Semakin dia menemukan hal yang ingin membuatnya bertahan dengan Azlan, semakin pula dirinya merasa tak pantas untuk pria sebaik Azlan.

Azlan terlalu baik untuknya.

“Enaknya kalau pacaran setelah menikah itu, malah mendatangkan pahala. Aku nyentuh kamu dapat pahala, apalagi peluk pahalanya nanti lebih besar. Kemarilah!” Azlan merentangkan kedua tangannya, membiarkan Aina memeluknya untuk pertama kali.

Rupanya ada maksud yang terselubung dari ucapan Azlan dari tadi. Modus. Namun, Aina tak menolak.

“Are you oke?” tanya Azlan memecahkan kesunyian yang sempat terjadi, sepertinya dia mengetahui apa yang sedang dirasakan Aina.

Tangannya mengelus lembut punggung Aina, semakin membuat Aina kesusahan untuk menahan gejolak hati yang tiba-tiba terasa tidak baik.

“Yes, I’m oke,” jawab Aina lemah.

“Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Azlan lagi dengan lembut.

"Di kampus baik-baik aja, kan?"

Jujur, siapa pun pasti tak akan kuat, jika ada seseorang yang bertanya demikian saat hati sedang tidak baik-baik saja. Pertahanan Aina pun langsung luruh tak terbendung lagi. Apalagi ada hujan yang masih membersamai, semakin membuat hatinya terenyuh mendengar suara rintikannya.

“Boleh aku tau masalah kamu? Tapi kalau itu sulit lebih baik simpan dulu sampai kamu bersedia berbagi denganku.”

Justru sikapmu yang semakin membuatku tak tega memberitahumu, Mas. Kenyataan ini pasti akan menyakitimu. Dan, aku tak tega melukai orang sebaik kamu.


"Apa Mas mau menerimaku yang banyak kekurangan ini?” tanyanya di sela-sela tangis.

Azlan melepaskan pelukannya dan berganti menangkup wajah Aina, menghapus jejak air mata di pipi Aina.

“Apa mencinta seseorang harus punya alasan?”

Aina diam, merasa sulit untuk mencerna perkataan pria yang sedang tersenyum manis kepadanya. Pikirannya kembali tertuju kepada pesan ancaman yang sempat Rendy kirim kembali padanya barusan, sewaktu makan nasi goreng di pinggir trotoar. "Besok, terhitung dua belas jam dari sekarang. Batas terakhirmu. Baiklah, aku anggap sekarang kamu sedang memberikan salam perpisahan kepada SUAMIMU TERCINTA. Katakan padanya untuk siapkan mental yang kuat. Wkwkwk."

Dan, sekarang pria itu tengah duduk di salah satu sudut ruang yang tak jauh darinya.

Rendy tak mengiriminya pesan lagi, tetapi dia terus menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Seolah lewat sana dia sedang memberitahu Aina, agar berhati-hati dengan keputusan terakhirnya. Karena hal itu akan berhubungan dengan kehancuran dirinya.

“Udah jangan nangis lagi. Lihat! Maskara kamu luntur.”

Ucapan terakhir Azlan membuat pikiran Aina langsung buyar. Antara malu, sedih, dan takut melebur menjadi satu.

“Nggak ada tisu,” keluhnya tidak menemukan keberadaan barang yang dia cari.

“Ya udah pakek ini aja,” ucap Azlan merelakan kaos putihnya yang masih dipakai untuk menghapus riasan Aina yang luntur gara-gara menangis.

Aina menerimanya karena keadaan mendesak. Perlahan dia tarik ujung kaos putih yang masih melekat di tubuh suaminya.

“Lain kali nggak perlu make-up kalau mau keluar, sebenernya itu udah dari tadi pas kehujanan. Tapi aku takut kamu malu. Lagian siapa suruh nangis, jadinya makin parah, kan!”

Aina buru-buru membersihkan hingga sekiranya sudah tidak ada bekas hitam lagi di bawah matanya. Wajahnya memerah menahan malu. Sungguh hebat suaminya, bisa membuat perasaannya tersentuh dan malu dalam satu waktu.

Awas saja nanti kamu.

Bersambung ...

 

Jangan lupa tinggalkan jejak dan kesan!

Ig: @efa_fujianty

Insecure TerinfrastrukturWhere stories live. Discover now