Sikap Manis Membawa Luka

247 17 0
                                    

Kepedulianmu, 

meski kamu tengah kecewa padaku, 

yang berhasil membuatku sulit menghapus namamu ...

dari hatiku.

***


Seakan paket yang komplit, kehabisan uang, pulang kejebak hujan, dan sampai di rumah Aina tak dibukakan pintu gerbang. Mobil Azlan sudah terparkir sejak dia sampai, tetapi kondisi rumah masih seperti tak berpenghuni. Gelap. Tak ada satu pun lampu yang dinyalakan.

Meski udara dingin sejak tadi sudah menyiksa, dirinya tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Sesekali hidungnya membuang ingus yang sedari tadi setia menemani.

Waktu terus berlalu, perutnya semakin melilit karena belum terisi sejak siang tadi. Terakhir waktu makan bersama Azlan, pas sarapan pagi tadi. Itu pun tak begitu banyak, karena nafsunya yang jadi berantakan gara-gara sikap dingin Azlan-suaminya.

Masih di kondisi yang sama, gelap gulita. Pintu rumahnya terbuka, tetapi dikunci kembali oleh Azlan dari luar. Ada rasa takut ketika melihat wajah Azlan yang terlihat sangat datar saat membukakan pintu gerbang untuknya.

Tidak ada sepatah kata, pintu gerbang di buka lebar setelahnya memberikan jaket tebal yang ada bulu halus di bagian lehernya. Lalu suaminya kembali lagi, tetapi tidak masuk ke dalam rumah. Melainkan masuk ke dalam mobil dan detik berikutnya mobil itu sudah menyala.

Dia mundur memberi ruang kepada Azlan untuk bisa mengeluarkan mobilnya.

Jujur, dia bingung sekarang. Ingin bertanya, tetapi rasa malu dan takut masih mendominasi. Dia harus apa sekarang? Pasalnya pintu rumah dikunci dengan keadaan gelap gulita dan dia tidak mempunyai kunci cadanga. Karena kunci yang biasanya dia pegang terjatuh di depan kampus tadi pagi. Sewaktu melerai Azlan dan Rendy yang sedang berkelahi.

“Mas!” panggilnya saat Azlan menghentikan mobil tepat di sampingnya.

“Masuklah!” perintah Azlan di balik kaca pintu mobil yang terbuka separuh.

Ada rasa ragu saat tangannya memegang hendel pintu. Namun, melihat wajah Azlan yang masih saja tidak bersahabat, dia lebih menuruti pria yang telah menjadi suaminya itu.

Mobil kini melaju dengan cepat membelah jalanan yang mulai sepi dari kendaraan. Hati Aina kini diselimuti penyesalan karena telah menuruti perintah dari suaminya. Entah Azlan akan membawanya ke mana, yang jelas dia sudah diselimuti rasa takut. Pikirannya mulai dipenuhi hal-hal yang berbau ekstrem.

Bagaimana jika Azlan akan membawanya ke tempat yang sepi, lalu membunuhnya. Atau, membuangnya ke hutan dan pergi meninggalkannya. Atau, mendorongnya ke laut untuk dijadikan makanan hiu. Bisa juga, menjualnya ke perdagangan manusia karena sudah terlanjur kecewa kepadanya.

Tangannya yang berkeringat memilin ujung baju sedari tadi untuk mengurangi rasa cemasnya.

Mobil berhenti di depan rumah yang sangat tidak asing baginya. Azlan turun terlebih dahulu, tetapi dia tidak ada keinginan untuk masuk ke dalam rumah yang sudah biasa dia kunjungi. Dia berdiri di depan mobil, membiarkan tubuhnya tersorot lampu mobil yang masih menyala.

Azlan melambaikan tangan kepada Aina, memberi perintah agar dia turun. Bertepatan dengan pintu mobil ditutup mesin mobil yang semula masih menyala langsung mati.

“Kenapa berdiri di sini, ayo masuk Mas!” ajaknya setenang mungkin, meski hatinya masih diselimuti ketakutan.

“Ay!”

Aina yang sebelumnya menatap pintu rumah yang masih tertutup rapat langsung menoleh, menatap suaminya yang sedang menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

“Sementara tetaplah di sini. Sampaikan salamku kepada Papa sama Mama. Aku pulang.”

Aina masih berdiri di gerbang yang terbuka separuh, menatap mobil suaminya yang berjalan semakin menjauh dan hilang di balik tikungan.

Air matanya langsung menetes tanpa bisa dia tahan lagi. Suaminya kini telah mengantarkannya pulang ke tempat yang seharusnya tidak pernah dia tinggalkan. Karena baru sebentar dia pergi, lalu sekarang dipaksa dikembalikan.

Perhatian dari Azlan untuk yang terakhir kali sungguh sangat menyiksanya. Di dalam rasa kecewanya dia masih memikirkan kesehatan Aina yang sangat sensitif dengan udara dingin. Hati nuraninya masih ada untuk seseorang yang sudah mengecewakannya. Apalagi terbilang seorang Aina merupakan orang baru yang memasuki kehidupan Azlan. Sungguh besar hatinya, mampu bisa tetap bersikap baik kepadanya.

Tubuhnya terduduk di atas paving yang dingin. Otaknya tak bisa lagi berpikir secara waras. Dia tidak bisa mengerti dengan apa yang diinginkan Azlan. Apakah Azlan benar-benar memulangkannya, mengembalikannya kepada kedua orang tuanya? Bukankah tadi Azlan bilang sementara. Pasti Azlan akan datang kembali untuk menjemputnya, kan?

Dia harus yakin.

Tangannya terangkat memegang perut yang mulai buncit, di dalamnya tengah bersemi buah cinta dengan Rendy dulu. Terhitung sudah empat bulan usianya. Entah sudah berapa kali dia berusaha melenyapkan benih itu, tetapi selalu gagal dan semakin bertumbuh sekarang.

Miris rasanya, selama Azlan menikah dengannya, suaminya itu tidak pernah sekalipun memaksanya untuk melakukan kewajiban sebagai sepasang suami istri. Dia selalu bilang, akan tetap menunggu jika dirinya dan Azlan sendiri sudah saling menginginkan. Dia tetap menunggu hingga benih-benih cinta mulai bertaburan di pernikahan mereka.

Namun, sayangnya dia memang telah mengandung anak pria lain, bahkan dia tega menyembunyikan sedari jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan.

Ketakutannya kini kepada penghuni rumah yang tengah terlelap dalam tidurnya, di mana dia sekarang berdiri di depan pintu rumah mereka—orang tua Aina. Kemarahan besar sudah tergambar jelas di matanya yang masih basah dari air mata.

Bersambung ...


Jangan lupa tinggalkan jejak!


Terima kasih.



Insecure TerinfrastrukturWhere stories live. Discover now