Salah Satu di Antara Kebetulan-kebetulan

200 17 0
                                    

Meski aku ingin, akan aku tahan

Walaupun sosokmu masih bertakhta, tak akan aku paksakan.

Aku terlalu hina mengharapkanmu. 

***


“Kamu kenal dengan orang itu, Lit?” tanya Bella yang duduk di jok depan dengan memangku Dzakka yang sudah tidur.

Astagfirullah! Bagaimana dia bisa melupakan keberadaan Dzakka yang menunggunya minta disuapi barusan. Sedangkan dirinya malah memilih pergi untuk melihat seorang pria.

Ibu macam apa dirinya? Ah! Entahlah! Rasanya ingin memaki diri sendiri yang tak pernah becus mengurus sesuatu. Bahkan anaknya sendiri.

Bukankah Lita sudah menekankan jika tak ingin lagi kembali ke masa lalu. Lalu kenapa sesulit ini Lita menahan kakinya untuk tidak melangkah melihat masa lalu. Lita tahu bagaimana konsekuensi yang akan dia dapatkan saat membuka luka lama yang telah bertahun-tahun berusaha dia obati. Perih dan sesak.

Namun, rasanya tak ada kapok-kapoknya jika terus-terusan terjerembap dalam kubangan yang sama sejak beberapa tahun terakhir.

“Kakak kelasku dulu, Ning?” alibinya, berusaha bersikap normal demi menyembunyikan suaranya yang berubah parau.

Bella ber-oh-ria. “Eh, tunggu! Kamu yakin Lit, orang tadi nggak bakalan cerita apa-apa ke orang tuamu?”

Hati Lita terasa tertimpa beban berat saat Bella menyinggung masalah orang tuanya. Meski ada rasa kecewa yang selama ini menyelimuti hatinya, tetapi tidak bisa dipungkiri, terselip rindu di sudut hatinya.

“Nggak mungkinlah, Ning. Dia nggak kenal sama orang tuaku.”

Mobil berhenti di lampu merah. Aina kembali menoleh ke belakang demi mendapati sosok pria yang dia temui barusan. Di balik kaca yang buram karena di penuhi air hujan, dia masih mendapati tubuh pria itu yang berdiri di tempat sebelumnya. Namun, yang membuat berbeda, kini telah datang wanita yang memang pria itu tunggu kedatangannya.

Tak bisa dipungkiri, hatinya mendadak perih meski dia telah berusaha untuk menahannya. Satu bulir bening luruh, buru-buru dia mengalihkan pandangan yang memang sudah membawa sesak dari awal. Dia sudah meyakinkan jika dia telah ikhlas, tetapi kenapa malah muncul rasa perih saat melihat kebersamaan mereka kembali.

“Lit, baju kamu basah? Mau ganti punyaku dulu, di jok belakang kebetulan ada baju yang belum aku keluarin kemarin. Masih bersih, kok. Bisa kamu pakek daripada kamu masuk angin.”

“Nggak perlu Ning, masih aman, kok. Semenjak melahirkan, Alhamdulillah tubuhku semakin kuat. Nggak gampang flu kayak pas masih perawan.”

“Eh, bisa gitu, ya?”

“Bisa, Ning.”

***


Sebulan telah berlalu setelah pertemuan Lita dengan seorang pria di sebuah taman di malam minggu. Malam itu merupakan kenekatannya untuk menemui luka, bahkan menyapanya. Meski kaku tak semanis dulu.

Dulu pria itu bukanlah yang dia harapkan hadirnya, tetapi hadirnya berhasil perlahan-lahan menyelusup ke dalam ruang hatinya. Melalui celah yang belum pernah pria lain lakukan.

Pria itu tak menunjukkan kebahagiaan yang semu seperti Rendy—mantannya yang telah meninggal. Arti dari kesederhanaan meski hidupnya bisa dibilang sudah mampu untuk bermewah-mewahan.

Pria itu mampu membuat kebahagiaan yang tercipta dari hal sederhana, tetapi kenangannya justru sulit dilupakan hingga sekarang.

Sejujurnya ada rasa yang ingin menguar saat pria itu berhasil mengenali dirinya, meski di bawah minimnya cahaya, di antara hujan, dan di balik masker yang dia gunakan.

Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang