Sifat yang Sesungguhnya

238 19 0
                                    

Penyesalan terberatku, saat aku mulai kehilangan sosok dirimu.

Meskipun aku masih berada di sisimu.

***

Tangan Aina berkeringat menunggu kedatangan seseorang. Dia berdiri dengan cemas di ambang pintu. Tak lama lampu mobil mulai menyorot masuk ke halaman rumah. Dan, selanjutnya mobil milik suaminya sudah terparkir di garasi. Dia semakin bingung, bagaimana dia harus bersikap saat bertemu dengan suaminya.

Bersikap biasakah? Seakan tidak terjadi apa-apa. Atau dia harus menangis, meminta maaf sekaligus membuat suaminya iba. Atau ... harus memilih mundur dan mengakui kesalahannya?

Sepertinya aku harus mengemis belas kasihannya.


"Assalamualaikum.” Azlan berjalan ke arahnya sambil tersenyum simpul.

Dia pun langsung menjawab salam dan mencium tangan suaminya. Tersenyum ceria seperti biasanya, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Ya, mungkin ini yang terbaik baginya, untuk saat ini dia tidak akan mengungkit masalah yang dialaminya di depan suaminya.

Diam, pilihan yang terbaik untuknya saat ini.

Seperti biasa, Aina langsung melayani suaminya. Menyiapkan makan malam hasil eksperimennya tadi sore. Jangan ditanyakan bagaimana rasanya. Yang tahu hanya Azlan, karena Aina tidak berani mencoba.

Semangkuk soto sudah berada di depan mata Azlan. Pilihan menu makanan yang tepat dipilih Aina, sebab sore tadi hujan turun. Kuah sotonya yang masih mengepul sangat cocok untuk menghangatkan badan.

Azlan tersenyum dipaksakan saat Aina duduk di depannya, kebiasaan setiap hari menemaninya makan. Melihat kuah kuning yang begitu pekat, menelan ludahnya secara kasar. 

Bukan berarti dia sudah tidak sabar ingin menyantap makanan spesial buatan istrinya. Melainkan dia ragu, sebab aroma kunyitnya yang mampu mengalahkan jamu gendong milik mbak Sri. Yang biasanya melintas di depan kompleks tiap pagi.

Satu suapan, Alhamdulillah lancar dia telan. Pelan namun pasti, satu mangkuk sudah habis berkat bantuan senyuman dari istrinya.

“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Azlan, melihat raut muka istrinya yang tidak tenang sedari tadi, seakan dia sedang mengkhawatirkan sesuatu.

Biasanya wanita di depannya ini tidak akan pernah kehabisan kata-kata. Selalu saja ada yang ingin dia ceritakan. Berbeda dengan kali ini yang lebih banyak diam.

Aina dengan cepat menggeleng.

“Baiklah, terima kasih.”

Akhirnya Azlan bisa bernafas sedikit lega, sebab istrinya melupakan kebiasaan setiap harinya yang akan memaksanya untuk menambah porsi makan. Semenjak istrinya memasak, berat badannya jadi naik.

Padahal sebelumnya wanita manja itu paling anti dengan dapur, tetapi sekarang sepertinya istrinya sudah berdamai dengan penghuni di sana.

Jika untuk masakan istrinya bisa dibilang lebih baik masakan dirinya sendiri, tetapi kalau soal kopi entah kenapa racikan dari istrinya memiliki ciri khas tersendiri. Dan, dia suka.

Azlan menepuk sofa di sebelahnya saat Aina selesai menaruh secangkir kopi panas di depannya. Tak seperti biasanya yang langsung antusias, wanita berambut sebahu itu masih mematung menatap dirinya.

“Kenapa?” tanya Azlan penuh curiga melihat sikap istrinya yang semakin aneh.

Aina menggeleng lagi. Dia menuruti perkataan suaminya, lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan televisi.

Pilihannya tadi adalah diam untuk tidak membicarakan masalah yang sedang dia hadapi, karena dia ingin menyelesaikannya sendiri terlebih dahulu. Namun, kenapa keputusannya membuat dirinya kesulitan untuk berbicara, mendadak berubah seperti orang bisu.

“Ay.”

“Hm.”

Aina cukup terkejut dan langsung tersadar dari lamunannya. Dia sampai tidak sadar jika suaminya menatapnya dari tadi.

“Nggak ada yang mau kamu jelasin?”

Lagi-lagi menggeleng sebagai jawaban. Mulut dan batinnya sedang berperang sekarang. Ingin berkata jujur, tetapi takut. Namun, lebih mengkhawatirkan lagi jika tidak jujur. Jika suatu saat suaminya tahu, dia pasti akan langsung murka.

Embusan nafas Azlan terdengar pasrah.

“Baiklah, mungkin aku yang harus bertanya lebih dulu.”

Azlan menyerahkan ponsel ke Aina. Tatapan sendunya berubah mengintimidasi. Aina dibuat tak bisa berkutik olehnya. Jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Merasa takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sedikit gemetar dia menerima ponsel dari Azlan.

“Bukalah dan lihat!”

Dalam hati Aina menjerit minta tolong. Dia tidak suka situasi menegangkan seperti ini. Seakan dia telah ketahuan.

Tunggu!

Apa suaminya sudah mengetahui video dirinya yang telah tersebar?

Melihat mata Azlan yang seakan mampu mengulitinya hidup-hidup, membuatnya ingin enyah dari muka bumi ini sekarang juga.

“Bukalah." Perintah Azlan lagi, mulai tak sabar.

Astaga!

Ponsel milik Azlan langsung jatuh ke lantai, nasibnya sudah sama seperti milik Sofia tadi pagi.

Bagaimana ini? Kenapa bisa? Dia harus bagaimana?

“Melihat ekspresimu, sepertinya aku tidak perlu nanya lagi tentang kebenaran dalam video itu.”

Detik berikutnya Aina langsung menangis dan menjatuhkan tubuhnya di depan suaminya. Dia bersimpuh memohon ampun dan bersedia menerima segala konsekuensinya.

“Mas Maaf, aku salah, aku mengaku salah telah berbohong kepadamu. Ini terjadi sudah lama, sebelum kita menikah. Seseorang berhasil menjebakku dan memanfaatkan vidio itu agar aku tidak bisa terlepas dari jeratannya. Aku berani bersumpah demi Allah, bahkan sebulan sebelum menikah aku sudah tidak lagi berhubungan dengan pria itu.”

Azlan diam membuat Aina semakin frustrasi. Harapannya kini hancur. Suaminya berdiri dari posisi duduknya.

"Siapa pria itu, apa dia? Pria yang kamu temui di tempat karaoke kapan hari?"

Azlan mengepalkan tangannya, mengerti siapa dalang di balik semua ini. Lalu meninggalkan Aina yang masih menangis.

Sikap tenang suaminya berhasil mengecohkannya. Seakan tidak ada apa-apa saat baru pertama kali suaminya sampai di rumah. Suaminya terlalu pintar menyimpan rasa kecewa, membuatnya hanyut dalam suasana diam yang hanya berlangsung dalam empat jam.

Hancur sudah perjuangannya. Semuanya sirna.

Bersambung ...

Jangan lupa tinggalkan jejak!

Terima kasih 🥰

Insecure TerinfrastrukturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang