18: I guess is a yes?

53 16 1
                                    

Jae melihat angka-angka yang terus berganti seiring dengan pergerakan naik benda yang dirasakannya. Hari ini ia harus visite ke salah satu ruangan vip. Ruangan yang biasanya terletak di lantai paling atas itu berisi orang-orang berduit, dan salah satu pasiennya dirawat di lantai di sana.

"Dokter, apa Dokter tahu siapa orang yang akan kita kunjungi?" tanya Daeho.

"Tidak."

"Mau kuberi tahu?"

"Kau tidak perlu repot-repot bicara. Aku tidak mau tahu."

Jae melihat jam tangannya. Yang ia pedulikan sekarang adalah jam makan siang yang sebentar lagi tiba.

"Dokter yakin? Pasien kita ini pengusaha makanan terkenal."

Daeho dengan sengaja menyenggol bahu dokter seniornya.

Jae menunjukkan mata malas melihat tingkah Daeho yang terus-terusan menyenggol bahunya. "Kau tidak akan berhenti sampai aku mengangguk 'kan?"

Daeho mengangguk cepat. Jae menghela napas kasar. "Baiklah, cepat katakan."

Lift berhenti. Jae dan Daeho keluar dari lift. Di sepanjang menuju ruang rawat, Daeho tidak berhenti berbicara mengenai pasien yang akan mereka kunjungi. Mulut dokter residen itu seakan-akan tidak lelah karena berbicara super cepat. Kalau dilihat, penampakkan mereka berdua sekarang seperti mata-mata yang memberitahu atasannya suatu berita penting.

"Pasien kita ini adalah petinggi perusahaan makanan. Dia juga punya beberapa toko retail dekat rumah sakit. Pasti Dokter pernah lihat tokonya atau mungkin pernah masuk dan belanja ke sana."

Daeho dengan bersemangat melaporkan semua yang ia tahu tentang pasien vip ini. Benar-benar seperti mata-mata yang memberitahu bosnya.

"Buka pintunya, Daeho."

Jae menunjuk menggunakan dagunya pada mesin pengenal.

Daeho segera menempelkan id card-nya pada bingkai pintu kaca. Mereka berjalan lebih dalam, menuju kamar inap pasien, dan tentu saja masih dengan ocehan Daeho. Tangan Jae sudah bersiap meraih gagang pintu tapi tiba-tiba saja pergerakannya terhenti.

"Selain sukses dia juga penyayang kel—"

"Daeho," panggil Jae tiba-tiba. Badannya berbalik untuk menatap dokter residennya. Daeho berhenti. Hampir menabrak tubuh dokter di depannya.

"Kau di sini sebagai penggemarnya atau sebagai dokter residenku?"

Daeho terdiam seketika. Kalimat yang keluar dari mulut Dokter Park Jaehyung hanya ada satu arti, yaitu kesal. Daeho sadar dokter di hadapannya kini sedang kesal.

"Aku hanya mencoba memberi informasi," jawab Daeho hati-hati.

"Aku butuh informasi medisnya bukan informasi pribadi," kata Jae dengan tatapan tajam mengarah pada sosok di belakangnya.

"Baik. Aku berhenti bicara."

Daeho menipiskan bibirnya sebagai tanda menutup mulutnya.

Setelah memastikan Daeho tak berbicara lagi tangan Jae mulai meraih gagang dan menekannya ke bawah, membuat pintu terbuka dan memperlihatkan isinya.

Ruangan yang sedang mereka berdua masuki ini merupakan ruangan mewah. Kasur jaga, sofa, televisi, kulkas kecil, dan tentu saja ranjang pasien yang terlihat lebih besar dari ranjang di kamar inap lain.

Perawatan di lantai ini terkadang didahulukan oleh petinggi rumah sakit dengan alasan keuntungan tentunya. Pasien yang menyewa ruang inap di lantai ini adalah orang berduit, biasanya konglomerat atau pejabat. Kali ini pasien Jae adalah konglomerat, seperti yang diceritakan Daeho.

Days Gone ByWhere stories live. Discover now