Park Jisten K. - End

25 9 0
                                    

fin.

fin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


___

Akhirnya kita sampai di bab terakhir Jisten K. Aku mau ngucapin makasih banyak buat temen2 yang udh baca cerita ini. Semoga kedepannya aku dan tmn2 yang lain bisa menghasilkan banyak karya yang lebih luar biasa lagi.

Jgn pernah capek nungguin kita comeback dgn judul baru 🤭

Karena kami selalu belajar dan mengevaluasi setiap karya yang telah di publish.

Kalian baik, baik banget. Udah sampai di bab ini aja kalian udh luar biasa. Pasti banyak hal2 lain yang mesti kalian kerjain. Tapi dengan sangat loyal kalian meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.

Semoga Moodies selalu sehat, bahagia, dan selalu bersama WM sampai nanti kita punya buku fisik. Aamiin

Tysm 💜 ocin

___

Jisten berharap segalanya kembali berjalan normal.

Setelah belajar dan menyelesaikan beberapa tugas, ia pun segera menutup mata untuk tidur dan berhenti memikirkan si wanita penari kontemporer.

Namun sebenarnya sulit bagi Jisten untuk bisa melupakan keindahan Lee Na Won. Rasanya penampilan wanita itu begitu bersahabat hingga detail dari tariannya tidak bisa Jisten lupakan.

Kalau ditanya atas dasar apa Jisten demikian, ia sendiri tidak tahu.

Kedua matanya mulai tertutup rapat. Semua terasa gelap, hening dan tubuh Jisten mulai terbaring nyaman.

Kali ini berbeda dari sebelumnya. Selendang tipis yang menutup mata Jisten perlahan terbuka. Ada suara violin dan piano yang saling bersahutan dan dipadukan dengan musik hip-hop. Terdengar aneh memang, tapi ini mirip dengan musik orkestra hip-hop yang Jisten dengar saat menonton konser orkestra JMX di Wrocław, Polandia, ketika ia diajak oleh salah satu teman kampusnya untuk berlibur dan menyaksikan konser di sana.

Tubuh Jisten terbawa kesana kemari mengikuti irama violin tersebut, ia bahkan melakukan rolling lalu kembali berdiri, melompat dan berputar melemparkan selendang tersebut. Semuanya terasa nyata.

Semakin ia meloncat, melempar selendang dan berputar, semua orang yang ia yakini adalah penonton disana bersorak takjub mengagumi Jisten.

Sedikit lagi, sedikit lagi ini akan berakhir. Jisten tahu suara violin ini telah berada di bagian akhir melodinya. Namun belum sempat suara violin itu berakhir, secepat itu pula suara lonceng berbunyi nyaring hingga nyaris membuat Jisten tidak bisa mendengar apapun karena telinganya berdengung.

Ia pun sontak duduk di atas kasur dengan peluh yang membanjiri tubuhnya serta nafas yang tersengal. Tidak tahu apa yang terjadi namun satu hal yang pasti bahwa Jisten kehabisan oksigen, wajahnya pucat, peluhnya membasahi tubuh.

Yang bisa Jisten tangkap dari seluruh mimpinya tadi adalah, suara lonceng tersebut berasal dari miliknya. Ia sangat yakin lonceng itu adalah lonceng kecil seperti gantungan kunci yang selalu tergantung di tas favorit yang sering ia bawa.

Buru-buru Jisten turun dari kasur mencari dengan gagabah lonceng tersebut yang terletak tepat di gantungan belakang pintu kamar, tas nya ada di sana.

Karena Jisten tahu dimana letak lonceng itu, ia pun segera melepaskannya dari tas selempang yang selalu ia bawa. Bahkan tas itu juga ia bawa saat ia kembali ke Seoul beberapa waktu lalu.

Jisten meraihnya lalu merasa aneh hingga membuat ia tidak bisa berkata-kata sebab ketika Jisten mengguncang lonceng tersebut untuk memastikan suara yang ia dengar di mimpinya tadi, ia nyaris membeku di tempat ketika sadar bahwa lonceng itu tidak mengeluarkan bunyi apapun.

Kedua mata Jisten memerah panik, ada apa dengan lonceng ini. Jisten sangat yakin bahwa lonceng itu berbunyi, ia bahkan mendengarnya di alam mimpi bahkan suaranya keras sekali.

"A-apa jangan-jangan..." Jisten merasa was-was dan tidak yakin, namun ia dapat menyadari sesuatu seraya menutup mata dengan dahi mengkerut.

Otaknya memutar segala kejadian yang ada di mimpinya. Bahkan sekarang lebih jelas dibandingkan mimpi tadi dan mimpi beberapa waktu lalu. Bahwa lelaki dengan selendang dan baju putih yang sedang menari di atas panggung tersebut adalah dirinya. Park Jisten Kurt, ya lelaki itu adalah dirinya.

Dan Jisten menyadari satu hal lain ketika semuanya terasa seperti kilas balik di dalam kepalanya bahwa lonceng yang saat ini ia genggam kuat tidak lagi berbunyi sejak ia turun dari pesawat di bandara Incheon. Bahkan saat seseorang menabraknya ketika ia mengambil tas dari kabin dan juga saat pria bernama Jung Hanseok menabraknya di depan toko bunga. Lonceng itu tidak berbunyi.

Lalu Jisten kembali teringat akan ucapan Hanseok mengenai déjà vu yang di alaminya beberapa minggu yang lalu saat pria itu mengatakan bahwa Jisten tak hanya seorang penari tetapi juga penyanyi yang hebat.

Kini Jisten jadi semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari dunia yang ia tinggali saat ini.

Jisten segera membuka mata dan menghirup oksigen serakus mungkin.

Ia menyadari dengan pasti bahwa ini bukanlah dunianya, lalu tak lama kemudian seluruh penerangan di kota Leuven mendadak padam dan lenyap dalam keheningan. fin

ocinda

Born Over HorizonWhere stories live. Discover now