Kim Jinseok - Part 04

25 9 5
                                    

Hellow, Moodies!

Ada Jinseok part 4 yang bakal temenin waktu kalian.

Happy reading :)

.

.

Jinseok datang ke ruko lebih awal. Memulai harinya dengan niat membantu tukang untuk merenovasi ruko barunya. Telinga Jinseok menangkap lirik lagu terakhir My Universe pada Spotify dan hampir memencet tombol next untuk lagu berikutnya, ketika sebuah feeling menyuruhnya menekan tombol stop dan segera menoleh pada getaran bayang-bayang seorang Nenek naik sekuter listrik merah jambu.

"Berudara sejuk dan segar, hamparan lautan biru...." Nenek menyanyikan apa yang disebut Mars kota Pujeon begitu kencang. Nadanya naik turun tak berirama, bahkan Jinseok baru mendengar melodi itu dari mulutnya. Itu seperti lagu wajib yang dikumandangkan tiap upacara kemerdekaan.

Hati Nenek sedang berbunga-bunga, letupan suaranya mampu membuat Jinseok ternganga. Jinseok mendadak turun dari tangga besi yang Ia pijaki setelah rampung memasang plakat bernama JINSHING SHOP, sebagai tanda bahwa itu toko pancing milik Jinseok yang akan segera launching dalam waktu dekat. Satu orang tukang utama membantu Jinseok mengecat ulang bagian tembok dalam. Jinseok tak bisa menutupi kecerahan hatinya setelah proses dealing yang cukup panjang dengan Nenek Shin. Kini statusnya sah sebagai pemilik ruko tersebut. Jinseok sudah tak sabar melakukan potong pita untuk usaha barunya.

"Nenek! Apa yang kau lakukan?" teriak Jinseok sambil menyelipkan palu pada sabuk peralatannya.

"Kau tak lihat aku sedang apa? Sekuterku baru." Nenek menghentikan laju setirnya tepat di depan Jinseok dan menepuk pelan dasbor mesin berkekuatan 2000watt itu. "Beri salam pada Jessica."

"Je—jessica?"

"Uang yang kau berikan, sebagian kubelikan sekuter demi mengenang almarhum suamiku. Kenapa? Tidak boleh?"

Dia menukar peninggalan suaminya dengan sebuah sekuter merah jambu, luar biasa. Pikiran geli tercetus dalam benak Jinseok, tapi itu tidak diucapkan. Bisa-bisa nanti rukonya minta dikembalikan jika Nenek berpikir yang ia lakukan adalah salah.

"Sejak kapan Nenek bisa naik sekuter? Punya surat ijin? Bisa celaka nanti."

Kedua tangan Nenek terayun pelan, "Jessica, Jessica...ini bukan sekuter sembarangan. Tak perlu surat ijin dan tak ada orang yang berani menabrakku di tengah jalan."

"Jelas saja, siapa berani menilang nenek nenek naik sekuter, yang ada mereka memberi jalan setara dengan ambulan lewat."

Nenek tak menggubris sama sekali, "Jinseok, letakkan itu semua, ayo berkendara bersama," ajaknya sumringah.

"Tidak, Nek. Aku harus menuntaskan pekerjaanku, ini hari pertama renovasi toko, deadline-nya tiga hari lagi."

"Kehilangan waktu sehari bersamaku bukan hal sulit, bisa dikerjakan tukang, kuajak kau lihat pemandangan."

Jinseok menarik diri tampak enggan. Dia memulai lagi pekerjaannya, naik ke tangga besi, mencabut palu untuk dipukulkan pada paku yang menancap di dinding. Menghindari biang masalah adalah jalan terbaik, pikirnya.

"Oh, ayo....ayolaah. Kau tidak mau menikmati indahnya Pujeon dari dataran tinggi, dicuaca seelok ini, hm? Nanti, kalau cucuku datang, bisa kupinjamkan sekuter ini untuk kalian berdua, ya?"

"Tidak, Nek. Aku tidak mau, itu berbahaya. Lain kali saja, naiklah Taksi agar lebih aman."

Nenek turun dari Jessica. Dengan muka masam bukan main, dia menggoyang-goyangkan tangga. Dari atas, Jinseok turun tergesah."Apaan-apaan! Aku bisa jatuh."

Born Over HorizonWhere stories live. Discover now