"Lo ngatain gue? Berani lo?!"

Kepala Nabila mendongak, menantang cowok bernama Junior yang sangat menjengkelkan ini. "Ngapain juga gue takut sama orang macam lo? Sampah kampus!"

"Lo jangan macem-macem sama gue!" desis Junior. Tangannya mencengkeram erat rahang Nabila hingga gadis itu mengernyit menahan sakit. "Pincang aja songong banget lo." Ditendangnya satu tongkat Nabila hingga tubuh Nabila oleng dan berakhir jatuh. Lututnya tergores semen hingga menimbulkan lecet dan merebakkan warna merah.

"Cabut, guys!"

Ketiga cowok itu berderap pergi meninggalkan Nabila yang tergolek sembari menahan semua emosi. Dadanya terasa akan meledak karena luapan kesal yang tak bisa tersalurkan. Nabila menatap nanar pada dua buah tongkatnya yang berada sedikit jauh dari posisinya. Sedikit menyeret tubuhnya, Nabila meraih tongkat itu. Pipinya terasa basah. Namun, Nabila segera mengusap cairan yang sialnya mampu membuat sembab wajahnya itu.

"Nggak, nggak. Nabila, lo gak boleh cengeng. Lo gak boleh nangis." Meski kalimatnya terdengar seperti larangan keras supaya tidak menangis, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Air mata Nabila kian menderas. "Stop, Nabila! Jangan lemah begini. Ingat, Dirta gak suka liat lo nangis. Ayo, kuat. Lo bisa."

Nabila mencoba kembali berdiri. Gadis itu sempat terjatuh beberapa kali sampai memekik karena tubuhnya harus berbenturan dengan kerasnya paving blok. Buku dan pena sudah siap kembali dan kini saatnya Nabila memulai usahanya mengumpulkan tanda tangan dari awal lagi.

"Jangan nangis, Bil. Aku sakit setiap liat cairan itu lolos dari pelupuk mata kamu. Kamu itu salah satu alasan aku menjadi kuat, jadi jangan lemah, ya? Nabilaku kuat. Nabilaku hebat."

Adalah sepenggal kalimat yang masih terasa hangat di dalam kepala Nabila. Kini kalimat itu menjadi pecutan untuk Nabila saat ia merasa dunianya sedang tidak baik-baik saja.

🌼🌼🌼

Nabila berteriak kencang di dalam hati saat tahu yang menjemput hari ini bukanlah papa, tapi sopir keluarga. Ini artinya Nabila bisa mampir tanpa perlu meminta izin seperti hari-hari kemarin. Nabila hanya perlu mewanti-wanti sopirnya untuk tutup mulut.

"Bapak tunggu di sini dulu, ya."

"Perlu saya bantu, Non?"

"Gak usah, Pak," jawab Nabila. Nabila mulai membuka pintu mobil dan keluar dari sana.

Sesuai rencana, Nabila hari ini mendatangi rumahnya yang dulu. Rumah yang dihuni sejak dirinya kecil hingga beranjak remaja. Namun, setelah apa yang menimpanya sang papa memutuskan untuk keluar dari rumah tersebut.

Berdiri di depan gerbang, rumah itu masih tampak sama. Halamannya bersih terawat karena rumah ini memang sudah dipasrahkan pada salah satu pekerja kepercayaan keluarga. Mata Nabila bergerak memindai rumah di sebelahnya. Kontras dengan kondisi rumahnya, rumah itu terlihat hampa dan cukup tak terawat. Lampu di bagian terasnya menyala terang meski hari belum berganti gelap. Hal ini semakin mempertegas dugaan Nabila bahwa memang rumah itu tidak berpenghuni.

Tanpa sadar Nabila menjatuhkan air mata. Melintas di depannya kenangan saat ia sedang bermain bersama Dirta. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan tangis bersama. Tampak Dirta yang usil menjahili Nabila hingga Nabila berteriak kencang sebelum berakhir menangis. Dirta memang sudah sejak kecil senang sekali menjahilinya bahkan masih terus berlanjut ketika mereka beranjak remaja.

Halusinasi Nabila buyar saat terasa tetesan air mengenai tubuhnya. Disusul dengan suara sopir yang menyerukan namanya. Dengan hati yang teriris-iris karena masih belum menemukan kabar soal Dirta, Nabila berjalan kembali menuju mobil.

DisabiloveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora