Bab 21 : Masih Sempat nya

101 13 0
                                    

Hening, satu kata yg menggambarkan keadaan saat ini, suasana nya nampak sepi, sudah berulang kali Gei menghubungi keluarga bunda nya lewat ponsel milik bunda nya namun satu pun tidak ada yg bisa di hubungi.
    
"Apa yg akan kita lakukan untuk semua barang-barang ini?" tanya Revan melihat barang-barang yg sudah mereka benahi dan di masukkan ke dalam beberapa tempat yg berbeda.
    
"Gei kau tak ingin menjelaskan sesuatu padaku, aku tau kau menyembunyikan banyak sekali rahasia, termasuk soal ayah mu, waktu di rumah sakit, aku tak sengaja mendengar, apa yg kau maksud dengan kau yg bisa melihat ayah mu tapi tidak bisa menggapai nya? sebenarnya siapa ayah mu?" tanya Revan tiba-tiba
     
Gei terdiam, "Aku tidak bisa menjelaskan nya padamu, jika kau mau, tanyakan saja pada ibu, atau mungkin pada kakek"
    
"Baiklah terserah mu saja, aku harap jawaban yg ku dapatkan nanti tidak membuat mu marah padaku"
    
Gei hanya diam, mencoba mencerna ucapan Revan, sebelum akhirnya lamunan nya bubar karena mendengar suara dari arah pintu.
     
Tiga kali pintu di ketuk, Gei segera bangkit dan membuka pintu.
     
Seorang pria paruh baya bersama seorang wanita di sebelah nya, bisa di bilang mereka itu adalah pasutri tetangga sebelah.
    
"Silahkan duduk pak, bu" ucap Gei mempersilakan.
     
Dia sudah menyediakan dua gelas teh untuk keduanya, "Kami turut berduka atas kepergian beliau ya nak, semoga kamu tabah menjalani kehidupan selanjut nya" ucap wanita itu dengan nada lembut
     
Gei mengangguk sebagai balasan nya.
    
"Tapi kamu benar-benar akan menjual rumah ini? karna ini satu-satunya peninggalan suami bu Nita" lanjut nya
    
"Iya bu, setelah itu aku juga akan pergi ke luar pulau, aku juga akan melunasi beberapa hutang yg di tinggalkan oleh bunda" jawab Gei tegar
    
"Lalu untuk barang-barang ini?"
    
"Sebagian akan aku bawa, dan sebagian lagi akan aku berikan kepada yg membutuhkan, dan aku harap bapak dan ibu memberikan harga yg sesuai untuk rumah ini, karena aku tidak tau bagaimana cara lain untuk melunasi beberapa hutang itu" papar Gei sopan  
     
Keduanya manggut-manggut mengerti, "Kami tau nak, kami juga sudah menyiapkan uang nya, dan kalau boleh tau, setelah ini kamu akan tinggal bersama siapa?" tanya pria itu
    
"Bersama kerabat bunda, mereka tidak bisa datang kemari untuk pemakaman karena kondisi yg sama, tidak ada uang untuk membeli tiket pesawat"
     
Keduanya hanya percaya saja, sejauh ini memang mereka sedikit dekat dengan Gei dan bundanya karena mereka itu tetangga dekat.
    
"Dia siapa?" tanya nya menatap Revan sekilas
    
"Dia sepupu saya bu, namanya Revan"
     
Revan mengangguk tersenyum singkat, "Ohh..jadi dia yg mewakili keluarga bunda mu untuk datang ke pemakaman tadi?" tanya nya lagi
     
Gei mengangguk, pria paruh baya itu mengeluarkan uang cas langsung untuk membeli rumah ini.
    
Setelah berbincang lama untuk memastikan semuanya pas dan sesuai, keduanya segera pamit.
     
Gei sudah memesan taxi untuk membawa barang-barang yg sudah Gei masukkan kedalam kardus.
   
Beberapa berkas-berkas sudah Gei simpan dalam ransel, begitu juga laptop dan semua alat elektronik yg masih berguna, mungkin sebagian akan dia jual.
   
"Apa yg kau lakukan?" tanya Revan begitu penasaran dengan Gei yg hanya fokus ke ponsel nya saja
    
"Memesan tiket" jawab Gei singkat
    
"Apa kita akan naik pesawat lagi?" tanya Revan bersemangat, dia begitu suka melihat pemandangan dari udara.

Gei mengangguk saja,  mereka baru saja selesai dari pemukiman kumuh dimana mereka membagikan beberapa barang itu kepada yg membutuhkan.
     
Beberapa alat masak seperti kompor dan juga blender, dan yg lainnya juga sudah dia bagikan.
    
Dia tak peduli dengan kerabat bunda nya itu, jika mereka suatu saat mencari bunda nya, mungkin Gei juga akan menghabisi mereka, karena bisa-bisa nya mereka tak bisa di hubungi di saat-saat seperti ini.
    
"Setelah ini kita kemana dik?" tanya supir taxi
    
"Ke panti asuhan X, di jalan kemangi nomer 023" balas Gei
    
Supir tersebut mengangguk, terkadang dia masih bingung dengan sikap kedua customer nya, mereka terlihat dingin dan kaku tapi mereka baru saja berbagi untuk para fakir miskin, bukan kah seharusnya mereka tersenyum saat berbagi, atau apa mereka tidak iklas?
         
Gei sudah sampai, tak ada gunanya dia menyimpan uang sebanyak itu, karena tidak akan di perlukan di immortal world, jadi dia akan menyumbangkan semuanya kepada panti asuhan
    
Tentu kehadiran mereka di sambut baik, setelah menyuruh anak-anak itu berterima pada Gei, Gei untuk pertama kalinya tersenyum kecil, anak-anak di hadapan nya masih punya semangat hidup setelah kehilangan kedua orang tuanya, sementara dia masih memiliki keduanya, hanya saja bingung harus mengungkapkan dengan perasaan apa.
  
Gei juga sudah membayar hutan nya pada Klaren karena sudah menyuruh nya untuk membeli tiket pesawat, jadi yg akan mereka lakukan untuk yg terakhir ini hanya lah satu, pergi kembali ke immortal world.
         
Meski begitu keduanya masih menyempatkan untuk berpamitan kepada tetangga, sekaligus memberikan sesuatu.
    
"Apa ini?" tanya sosok wanita parah baya itu heran.
     
Sebuah kertas pernyataan, "Aku tidak tau, ada beberapa kerabat yg belum aku hubungi, mereka tidak bisa di hubungi, kalau mereka kembali, dan menanyakan tentang bunda, katakan saja yg sebenarnya dan berikan ini, karna rumah sudah di jual, mungkin siapa tau mereka ingin mengambil alih rumah, katakan kalau rumah ini sudah di jual, dan hasil penjualan rumah ini, sudah aku gunakan untuk melunasi hutang, dan sisanya aku sumbangkan ke panti asuhan" papar Gei
     
Kedua pasutri itu terdiam cengo, mereka kira, uang sebanyak itu akan merubah hidup mereka di luar pulau bersama keluarga nya yg lain tapi?
    
"Kenapa menyumbangkan semuanya, kenapa tidak untuk kamu saja, atau untuk biaya sekolah mu?"
     
Gei tersenyum kecil, "Aku tidak punya hak untuk rumah ini, karena aku bukan anak kandung dari bunda"
     
Untuk kedua kalinya mereka terkejut,
    
"Mereka di panti asuhan lebih butuh dari pada diriku, jadi terimakasih selama ini sudah membantu aku dan juga bunda, kami akan pergi" pamit Gei menyalim keduanya sopan, di susul oleh Revan juga.
    
"Niat mu sangat baik nak, semoga kamu baik-baik saja di kemudian hari" pesan pria itu tersenyum cerah
     
Gei mengangguk, keduanya berpamitan dan akan di antar oleh Klaren dan juga ayah nya ke bandara.
    
Satu koper hitam dan dua ransel di punggung masing-masing.
    
"Apa kau melaporkan ini semua kepada ibu?" tanya Gei dengan tatapan dingin nya,
     
Revan menunduk, dia tak mau menjawab, "Jawab ya atau tidak, hanya itu yg aku minta, kau sudah bisa melakukan telepati bukan? jangan berbohong" lanjut Gei  
    
"Ya" jawab Revan pasrah
     
Gei segera masuk ke dalam mobil, dia berterimakasih pada Revan, setelah dia sampai nanti, dia tak perlu menjelaskan lagi pada ibu nya, yg perlu dia lakukan adalah mencari dimana Silva.
   
"Gei..!" panggil Klaren
    
"Hmmm...!" Gei berdehem singkat, Klaren nampak sedih kali ini, sama seperti saat dia pergi untuk yg pertama kalinya.
    
"Kalian benar-benar akan pergi?"
    
"Yah..!" jawab Gei seadanya.
    
"Kamu pasti balik lagi kan, satu bulan sekali kek"
    
"Entah lah," balas Gei sedikit bimbang, lagi pula untuk apa dia kembali lagi kalau tujuan nya untuk kembali sudah pergi?
   
Klaren kembali duduk seperti semula, memandang jalanan di depan nya, keadaan mobil hening untuk beberapa saat.
    
"Ren..!" kini giliran Gei yg memanggil, Klaren menoleh ke belakang masih dengan tatapan sendu nya.
    
"Apa?"
    
"Vampire itu jahat atau baik?" pertanyaan Gei sukses membuat Klaren mengerjab cepat, Revan mendelik aneh, dan Zaki hanya tersenyum kecil.
  
"Hmmm sesuai yg aku baca, vampire itu ngk jahat, dan juga ngk baik"
    
"Netral maksud nya?" potong Gei
    
"Bisa di bilang gitu, tapi vampire bisa aja jadi jahat kalau ada yg mau mengusik kehidupan nya, atau mengganggu orang terdekat nya, selain itu, mereka bisa baik juga" balas Klaren seadanya.
    
"Kamu percaya vampire itu ada?"
     
Klaren terdiam, "Antara percaya dan tidak" jawab nya ragu.
    
"Udah percaya aja" saran Gei
    
"Kenapa harus percaya?" 
    
"Yaudah kalo gitu jangan percaya" balas Gei tersenyum kecil, Klaren langsung mendengus kesal, Gei ternyata sedang menjahili nya
    
"Kamu dari dulu jahil nya ngk pernah hilang yah"
    
"Siapa yg bilang?"
    
"Aku lah"
    
"Bilang apa?"
    
"Ya itu, bilang kalo kejahilan kamu itu ngk akan pernah hilang, kayak sekarang ini contoh nya" sindir Klaren
    
"Terus siapa yg ngutang ngk di bayar?"
    
"Yeeeee giliran aja, cuman ngutang lima ribu rupiah aja masa ngk iklas sih" sungut Klaren cemberut
    
"Namanya utang itu harus di bayar"
    
"Iya aku bayar, tapi pake apa, aku ngk bawa uang lima ribuan, kamu emang ada kembalian nya"
    
"Cukup jaga diri kamu aja Ren, utang kamu udah lunas" ucapan Gei langsung membuat mulut Klaren terbungkam, matanya berkaca-kaca.
   
"Gei curang ank" ucap Klaren memalingkan wajahnya yg sudah basah karena menangis haru.
 
"Nangis, cengeng banget" Zaki terkekeh-kekeh melihat Klaren seperti sekarang.
    
"Jangan nangis, nanti air matanya habis, terus siapa yg nangis di bandara nanti" seru Gei dengan senyuman rapuh.
    
Klaren tambah terhisak, "Ge..Gei jahat, ngk ma..ma..u tem..enan sama Gei" isak nya tergagap
    
"Yakin ngk mau, yaudah aku ngk usah datang lagi"
    
"Huaaaaa..Gei Iya deh kamu memang selalu di takdir kan menjadi pemenang!" tangis Klaren pecah, bukan nya suasana sedih, malah menjadi lucu karena Zaki puas menertawakan putrinya.
    
"Kenapa menangis?" tanya Revan yg dari tadi bingung
    
"Kamu juga jahat" teriak Klaren
    
"Loh aku kenapa?" Revan tambah heran saja.
    
"Bilang aja ngk mau dia pergi" sindir Zaki cekikikan membuat Klaren tambah menangis dan juga malu-malu.
    
"Aku janji, aku kesini lagi nanti, kalau kamu mau, dia juga bisa ikut kok" ucap Gei dengan senyuman kecil.
     
Klaren tersenyum cerah, "Lain kali bawa oleh-oleh" ucap Klaren di sambut tawa oleh Zaki karena anak itu masih sempat nya membicarakan oleh-oleh sementara dia masih menangis seperti itu.

QUEEN IMMORTAL WORLDWhere stories live. Discover now